Krisis Pangan di Indonesia Makin Mengkhawatirkan, Bulog Ungkap Penyebabnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ancaman krisis pangan terus menghantui banyak negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya bahan pangan, namun isu krisis pangan semakin hari makin mengkhawatirkan.
Direktur Utama Bulog, Bayu Krisnamurthi mengungkap, ada beberapa hal yang membuat Indonesia berada di pinggir jurang krisis pangan. Pertama adalah perubahan iklim yang menghambat pertumbuhan tanaman pangan hingga menyebabkan penurunan produksi pertanian.
Kemudian yang kedua adalah karena kondisi tanah di Indonesia yang semakin hari semakin kehilangan tingkat kesuburannya lantaran eksploitasi yang tinggi. Kondisi ini menurut Bayu terjadi di banyak lahan pertanian terutama di Pulau Jawa.
"Masalah terbesar dalam konteks ini adalah kondisi tanah yang kehilangan tingkat kesuburannya. Di tunjukan oleh badan riset bahwa c-organik tanah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur yang berada di ambang batas 2% itu jumlahnya sangat banyak," kata Dirut Bulog , Bayu di Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Selain karena perubahan iklim dan masalah kesuburan tanah, hal lainnya yang menempatkan Indonesia di gerbang krisis pangan adalah semakin berkurangnya jumlah petani. Parahnya lagi, sebagian petani saat ini adalah orang dengan usia tua.
"Jumlah petani semakin menurun dan yang tersisa sebagian besarnya adalah yang berusia tua. Sektor pertanian menjadi hal yang tidak menarik bagi generasi muda. Ini akan menjadi masalah serius juga bagi kita," lanjut Bayu.
Dampak serius perubahan iklim terhadap ketahanan pangan memang semakin terasa. Dalam periode Januari hingga April 2024, Indonesia telah mengalami penurunan produksi tanaman pangan, misalnya beras sebesar 17,74% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Data Bulog mencatat sepanjang tahun 2024 ini produksi beras nasional hanya menyentuh angka 18,55 juta ton. Padahal di paruh pertama tahun 2023 lalu, produktivitas beras nasional mampu mencapai angka yang jauh lebih besar, yakni hingga 22,55 juta ton.
Bayu mengungkapkan, tetap menggunakan cara konvensional dalam produksi beras justru akan menurunkan harga dan menaikan harga pangan. Untuk itu, diperlukan intervensi teknologi untuk menjaga ketahanan pangan.
"Kita sadari jumlah penduduk akan terus bertambah Indonesia. Pertumbuhannya 50 juta jiwa dalam waktu 20-50 tahun kedepan. Kami memproyeksikan di tahun 2050 jumlah produksi beras akan turun hingga 20% dan harga akan naik 20%," ujar Bayu.
"Namun dengan menggunakan teknologi, cukup memberikan prospek yang baik, produktivitas beras menjadi lebih tinggi," jelasnya.
Direktur Utama Bulog, Bayu Krisnamurthi mengungkap, ada beberapa hal yang membuat Indonesia berada di pinggir jurang krisis pangan. Pertama adalah perubahan iklim yang menghambat pertumbuhan tanaman pangan hingga menyebabkan penurunan produksi pertanian.
Kemudian yang kedua adalah karena kondisi tanah di Indonesia yang semakin hari semakin kehilangan tingkat kesuburannya lantaran eksploitasi yang tinggi. Kondisi ini menurut Bayu terjadi di banyak lahan pertanian terutama di Pulau Jawa.
"Masalah terbesar dalam konteks ini adalah kondisi tanah yang kehilangan tingkat kesuburannya. Di tunjukan oleh badan riset bahwa c-organik tanah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur yang berada di ambang batas 2% itu jumlahnya sangat banyak," kata Dirut Bulog , Bayu di Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Selain karena perubahan iklim dan masalah kesuburan tanah, hal lainnya yang menempatkan Indonesia di gerbang krisis pangan adalah semakin berkurangnya jumlah petani. Parahnya lagi, sebagian petani saat ini adalah orang dengan usia tua.
"Jumlah petani semakin menurun dan yang tersisa sebagian besarnya adalah yang berusia tua. Sektor pertanian menjadi hal yang tidak menarik bagi generasi muda. Ini akan menjadi masalah serius juga bagi kita," lanjut Bayu.
Dampak serius perubahan iklim terhadap ketahanan pangan memang semakin terasa. Dalam periode Januari hingga April 2024, Indonesia telah mengalami penurunan produksi tanaman pangan, misalnya beras sebesar 17,74% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Data Bulog mencatat sepanjang tahun 2024 ini produksi beras nasional hanya menyentuh angka 18,55 juta ton. Padahal di paruh pertama tahun 2023 lalu, produktivitas beras nasional mampu mencapai angka yang jauh lebih besar, yakni hingga 22,55 juta ton.
Bayu mengungkapkan, tetap menggunakan cara konvensional dalam produksi beras justru akan menurunkan harga dan menaikan harga pangan. Untuk itu, diperlukan intervensi teknologi untuk menjaga ketahanan pangan.
"Kita sadari jumlah penduduk akan terus bertambah Indonesia. Pertumbuhannya 50 juta jiwa dalam waktu 20-50 tahun kedepan. Kami memproyeksikan di tahun 2050 jumlah produksi beras akan turun hingga 20% dan harga akan naik 20%," ujar Bayu.
"Namun dengan menggunakan teknologi, cukup memberikan prospek yang baik, produktivitas beras menjadi lebih tinggi," jelasnya.
(akr)