Jumlah Perusahaan Raksasa AS yang Terancam dengan Kehadiran AI Melonjak 473,5%
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sebuah survei mengungkapkan semakin banyak perusahaan raksasa AS (Amerika Serikat) yang menganggap kehadiran kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) sebagai salah satu faktor risiko. Menurut laporan dari firma riset Arize AI, jumlah perusahaan Fortune 500 yang menyebutkan AI sebagai risiko mencapai 281.
Jumlah tersebut mewakili 56,2% dari perusahaan dan mengalami peningkatan hingga 473,5% dari tahun sebelumnya, ketika hanya 49 perusahaan yang menandai risiko AI.
"Laporan tahunan Fortune 500 memperjelas satu hal, yakni bahwa dampak AI generatif dirasakan pada beragam industri, bahkan mereka yang belum merangkul teknologi," kata laporan tersebut.
"Mengingat bahwa sebagian besar menilai AI adalah sebagai faktor risiko, namun ada peluang nyata bagi perusahaan untuk menonjol dengan inovasi mereka dalam konteks tentang bagaimana mereka menggunakan AI generatif," bebernya.
Faktanya, lonjakan peringatan juga bertepatan dengan ledakan kesadaran dan minat pada AI setelah rilis ChatGPT oleh OpenAI pada akhir 2022. Jumlah perusahaan yang menggunakan AI melonjak 152% menjadi 323.
Saat ini AI sepenuhnya berada dalam radar perusahaan Amerika , baik itu sebagai risiko dan peluang menjadi fokus utamanya. Dimana perusahaan juga melihat potensi serta secara bersamaan ada juga penurunan dengan adanya AI.
Tetapi bagi perusahaan tertentu, mereka lebih khawatir dengan AI daripada yang lainnya. Salah satu yang paling cemas adalah industri media dan hiburan, dimana 91,7% perusahaan Fortune 500 di sektor itu memperingatkan tentang risiko AI, menurut Arise.
Hal itu karena AI telah berdampak baik langsung dan tidak melalui industri tadi, membuat pemain dan perusahaan waspada terhadap teknologi baru.
"Perkembangan teknologi baru, termasuk pengembangan dan penggunaan kecerdasan buatan generatif, berkembang pesat," kata petinggi streaming Netflix dalam laporan tahunannya.
"Jika pesaing kami mendapatkan keuntungan dengan menggunakan teknologi tersebut, kemampuan kami untuk bersaing secara efektif dan hasil operasi kami dapat berdampak buruk," lanjutnya.
Sedangkan raksasa Hollywood, Disney mengatakan, aturan yang mengatur teknologi baru seperti AI generatif "tidak stabil," dan pada akhirnya dapat memengaruhi aliran pendapatan terkait penggunaan kekayaan intelektual dan bagaimana ia menciptakan produk hiburan.
Arise mengatakan, 86,4% perusahaan perangkat lunak dan teknologi, 70% telekomunikasi, 65,1% perusahaan perawatan kesehatan, 62,7% keuangan, dan 60% pengecer juga memperingatkan soal risiko AI.
Sebaliknya, hanya 18,8% perusahaan otomotif yang menandai risiko AI, bersama dengan 37,3% perusahaan energi dan 39,7% produsen.
Peringatan juga datang dari perusahaan yang memasukkan AI ke dalam produk mereka. Motorola mengatakan "AI mungkin tidak selalu beroperasi sebagaimana mestinya dan kumpulan data mungkin tidak mencukupi atau berisi informasi ilegal, bias, berbahaya atau menyinggung, yang dapat berdampak negatif pada hasil operasi, reputasi bisnis, atau penerimaan pelanggan terhadap penawaran AI kami."
Salesforce merujuk ke AI dan platform Customer 360, yang memberikan informasi tentang pelanggan, "Jika kami mengaktifkan atau menawarkan solusi yang menarik kontroversi karena dampak yang dirasakan atau aktual terhadap hak asasi manusia, privasi, pekerjaan, atau dalam konteks sosial lainnya. Kami mungkin akan diawasi pemerintah, atau hadirnya peraturan yang baru, rusaknya brand atau reputasi, kerugian kompetitif atau tanggung jawab hukum."
AI juga diperingatkan memiliki risiko dalam hal keamanan siber dan kebocoran data. Faktanya, konferensi keamanan Def Con baru-baru ini menyoroti pentingnya AI dalam keamanan siber.
Sementara itu, sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Hospitality Market and Management pada bulan Juni menemukan konsumen kurang tertarik untuk membeli suatu barang jika diberi label dengan istilah "AI".
Konsumen perlu diyakinkan terkait manfaat AI dalam produk tertentu, menurut Dogan Gursoy, profesor manajemen perhotelan di Carson College of Business Washington State University dan salah satu penulis studi tersebut.
"Banyak orang mempertanyakan, 'Mengapa saya membutuhkan AI di pembuat kopi saya, atau mengapa saya membutuhkan AI di lemari es atau penyedot debu saya?'" katanya kepada Fortune awal bulan ini.
Jumlah tersebut mewakili 56,2% dari perusahaan dan mengalami peningkatan hingga 473,5% dari tahun sebelumnya, ketika hanya 49 perusahaan yang menandai risiko AI.
"Laporan tahunan Fortune 500 memperjelas satu hal, yakni bahwa dampak AI generatif dirasakan pada beragam industri, bahkan mereka yang belum merangkul teknologi," kata laporan tersebut.
"Mengingat bahwa sebagian besar menilai AI adalah sebagai faktor risiko, namun ada peluang nyata bagi perusahaan untuk menonjol dengan inovasi mereka dalam konteks tentang bagaimana mereka menggunakan AI generatif," bebernya.
Faktanya, lonjakan peringatan juga bertepatan dengan ledakan kesadaran dan minat pada AI setelah rilis ChatGPT oleh OpenAI pada akhir 2022. Jumlah perusahaan yang menggunakan AI melonjak 152% menjadi 323.
Saat ini AI sepenuhnya berada dalam radar perusahaan Amerika , baik itu sebagai risiko dan peluang menjadi fokus utamanya. Dimana perusahaan juga melihat potensi serta secara bersamaan ada juga penurunan dengan adanya AI.
Tetapi bagi perusahaan tertentu, mereka lebih khawatir dengan AI daripada yang lainnya. Salah satu yang paling cemas adalah industri media dan hiburan, dimana 91,7% perusahaan Fortune 500 di sektor itu memperingatkan tentang risiko AI, menurut Arise.
Hal itu karena AI telah berdampak baik langsung dan tidak melalui industri tadi, membuat pemain dan perusahaan waspada terhadap teknologi baru.
"Perkembangan teknologi baru, termasuk pengembangan dan penggunaan kecerdasan buatan generatif, berkembang pesat," kata petinggi streaming Netflix dalam laporan tahunannya.
"Jika pesaing kami mendapatkan keuntungan dengan menggunakan teknologi tersebut, kemampuan kami untuk bersaing secara efektif dan hasil operasi kami dapat berdampak buruk," lanjutnya.
Sedangkan raksasa Hollywood, Disney mengatakan, aturan yang mengatur teknologi baru seperti AI generatif "tidak stabil," dan pada akhirnya dapat memengaruhi aliran pendapatan terkait penggunaan kekayaan intelektual dan bagaimana ia menciptakan produk hiburan.
Arise mengatakan, 86,4% perusahaan perangkat lunak dan teknologi, 70% telekomunikasi, 65,1% perusahaan perawatan kesehatan, 62,7% keuangan, dan 60% pengecer juga memperingatkan soal risiko AI.
Sebaliknya, hanya 18,8% perusahaan otomotif yang menandai risiko AI, bersama dengan 37,3% perusahaan energi dan 39,7% produsen.
Peringatan juga datang dari perusahaan yang memasukkan AI ke dalam produk mereka. Motorola mengatakan "AI mungkin tidak selalu beroperasi sebagaimana mestinya dan kumpulan data mungkin tidak mencukupi atau berisi informasi ilegal, bias, berbahaya atau menyinggung, yang dapat berdampak negatif pada hasil operasi, reputasi bisnis, atau penerimaan pelanggan terhadap penawaran AI kami."
Salesforce merujuk ke AI dan platform Customer 360, yang memberikan informasi tentang pelanggan, "Jika kami mengaktifkan atau menawarkan solusi yang menarik kontroversi karena dampak yang dirasakan atau aktual terhadap hak asasi manusia, privasi, pekerjaan, atau dalam konteks sosial lainnya. Kami mungkin akan diawasi pemerintah, atau hadirnya peraturan yang baru, rusaknya brand atau reputasi, kerugian kompetitif atau tanggung jawab hukum."
AI juga diperingatkan memiliki risiko dalam hal keamanan siber dan kebocoran data. Faktanya, konferensi keamanan Def Con baru-baru ini menyoroti pentingnya AI dalam keamanan siber.
Sementara itu, sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Hospitality Market and Management pada bulan Juni menemukan konsumen kurang tertarik untuk membeli suatu barang jika diberi label dengan istilah "AI".
Konsumen perlu diyakinkan terkait manfaat AI dalam produk tertentu, menurut Dogan Gursoy, profesor manajemen perhotelan di Carson College of Business Washington State University dan salah satu penulis studi tersebut.
"Banyak orang mempertanyakan, 'Mengapa saya membutuhkan AI di pembuat kopi saya, atau mengapa saya membutuhkan AI di lemari es atau penyedot debu saya?'" katanya kepada Fortune awal bulan ini.
(akr)