Soal Surplus dan Defisit Pangan, Akademisi: Tak Masalah Asal Distribusi Lancar

Sabtu, 02 Mei 2020 - 07:07 WIB
loading...
Soal Surplus dan Defisit Pangan, Akademisi: Tak Masalah Asal Distribusi Lancar
Persoalan surplus dan defisit pangan antar wilayah menjadi perbincangan hangat di tengah pandemi Covid-19. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Simpang siur berbagai pemberitaan tentang wilayah surplus dan defisit pangan saat ini menjadi perbincangan yang seksi di tengah pandemi Covid-19.

Dari sisi pemerintah sendiri menjamin 11 kebutuhan bahan pokok nasional dalam kondisi aman dan terkendali, yakni beras, daging sapi dan ayam, minyak goreng, telur, bawang putih, bawang merah, aneka cabai dan gula.

Tentang hal ini, akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi mengatakan data surplus dan defisit pangan ini perlu diluruskan supaya pemahaman tepat dan tidak simpang siur.

Menurut dia, hal paling penting adalah ini masalah teknis berproduksi dan distribusi antar wilayah karena Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga tidak relevan jika diseret ke ranah politik.

“Indonesia itu negara kepulauan dengan sumber alam berbeda beda. Sejak dulu, sudah puluhan tahun, sudah terbentuk sentra-sentra pangan, tidak merata seluruh Indonesia. Ada daerah yang surplus dan ada juga defisit, namun secara nasional surplus. Karena itu, penataan alur distribusi menjadi penting," kata Prima Gandhi di Bogor, Jumat (1/5/2020).

Menurut pria yang akrab disapa Gandhi ini, arah kebijakan pemerintah sudah tepat membangun pertanian berdasarkan agroekosistem, keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, sehingga diperoleh efisiensi dalam berproduksi, kawasan berskala ekonomi, tidak kecil kecil terpencar-pencar. Hasilnya sudah ada pangan cukup, tapi aspek distribusi supaya efisien guna memasok pangan bagi seluruh penduduk.

"Kini sudah kita lihat bersama, sudah terbentuk sentra pemasok pangan, seperti Pulau Jawa, Sumatera kecuali Kepri dan Babel, Kalimantan kecuali Kaltara, Sulawesi, Bali, NTB itu lumbung beras memasok seluruh wilayah," ungkapnya.

Pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, IPB ini menegaskan dengan luas baku sawah 7,4 juta hektar bisa ditanami dua atau tiga kali setahun cukup memenuhi kebutuhan 2,5 juta ton beras perbulannya. Justru yang menjadi pekerjaan rumah terbesar adalah menyelesaikan sistem distribusi dan sistem logistik ke wilayah kepulauan.

"Infrastruktur hilir ini menjadi perhatian agar pasokan pangan mengalir lancar dan efisien dari wilayah surplus ke wilayah lain," papar Gandhi.

Lebih lanjut Gandhi menyebutkan beberapa wilayah memang tidak mengembangkan bawang merah, karena tidak semua kabupaten cocok dan sesuai, kalaupun dipaksakan dengan teknologi juga tidak kompetitif. Maka kini terbentuklah sentra bawang merah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, NTB, Sulawesi Selatan yang hasilnya ratusan ribu ton perbulan mampu memasok ke seluruh provinsi. Hal yang sama untuk cabai, sapi, gula dan lainnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1157 seconds (0.1#10.140)