Rugikan Penjual Rokok Legal, Kemasan Polos Tanpa Merek Dinilai Diskriminatif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mendorong implementasi kemasan rokok polos tanpa merek dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 yang merupakan kebijakan inisiatif Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menuai kritik.
Dalam aspek hukum, beleid ini dianggap diskriminatif dan kontradiktif terhadap amanat Undang-Undang (UU) serta konstitusi. Kritik ini kian deras setelah ditemukan pasal-pasal tersembunyi dalam peraturan tersebut yang mengindikasikan aspek diskriminatif.
Anggota Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo menyebut, aspek diskriminatif yang disorot adalah adanya peraturan yang dinilai mengabaikan hak-hak hidup masyarakat luas. Dua kebijakan ini berpotensi mendiskriminasi berbagai kelompok masyarakat, termasuk pedagang ritel dan petani tembakau.
Menurut Firman, peraturan tersebut jelas akan berdampak pada kelompok masyarakat kecil, seperti pedagang asongan, dan industri hasil tembakau yang telah berkontribusi besar pada pendapatan negara melalui cukai. Dampak ini terasa signifikan bagi tenaga kerja dan petani tembakau, yang selama ini menggantungkan hidup pada industri ini.
"Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dalam proses pembuatan peraturan, yang seharusnya melibatkan semua stakeholder, termasuk menteri-menteri terkait, tanpa adanya unsur diskriminatif," ujarnya dalam sebuah diskusi publik, dikutip (18/9/2024).
Baca Juga: Indef Sebut Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dibuat Terburu-buru
Menurut dia, Mahkamah Konstitusi (MK) berperan penting dalam menjaga agar kebijakan pemerintah tidak merugikan masyarakat. MK diharapkan dapat memeriksa dan menilai apakah terdapat unsur subjektivitas dalam aturan-aturan baru tersebut.
Jika terdapat ketidakadilan, masyarakat memiliki hak untuk mengajukan gugatan dan meminta peninjauan ulang terhadap regulasi yang dianggap tidak sesuai dengan kaidah perundang-undangan. Apalagi, belakangan banyak suara yang menilai bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembuatan undang-undang yang harus dapat dilaksanakan, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Sementara itu, di tingkat legislatif, DPR RI terus memantau dan mempertimbangkan berbagai keluhan dari pemangku kepentingan terkait. Langkah-langkah yang mungkin diambil termasuk pengajuan judicial review jika ditemukan adanya ketidakadilan dalam peraturan.
"Ini termasuk kemungkinan untuk meninjau kembali atau bahkan membatalkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan umum," kata dia.
Di samping itu, Firman mengkritik RPMK karena bertentangan dengan RUU Komoditas Strategis Nasional (RUU KSN). Ia menyebutkan bahwa RPMK, sebagai turunan dari undang-undang, tidak boleh mengintervensi atau menganulir ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang utama.
Firman mengungkapkan bahwa DPR RI akan mengambil sejumlah langkah untuk memastikan RPMK sesuai dengan ketentuan undang-undang, Ke depan, pihaknya akan memeriksa setiap pasal dalam RPMK untuk memastikan kesesuaiannya dengan RUU KSN dan undang-undang lainnya.
"Jika terdapat kontradiksi yang signifikan, DPR RI akan mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung," jelasnya.
Lebih lanjut, Firman memperingatkan potensi adanya agenda tersembunyi yang dapat merugikan industri lokal melalui dua aturan Kemenkes, terutama dalam kasus rokok kretek, yang merupakan produk unggulan Indonesia. DPR RI mengajak pemerintah untuk mempertimbangkan semua dampak kebijakan terhadap perekonomian dan budaya lokal.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi menyebut proses penyusunan RPMK tidak melibatkan partisipasi yang berarti dari industri. Ia bilang, bahwa undangan untuk public hearing hanya mencakup beberapa asosiasi dan tidak melibatkan kementerian terkait, seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
"Proses yang terburu-buru ini juga dinilai tidak memberikan ruang yang cukup bagi masukan dari pelaku usaha," tegas dia.
Adapun yang dikhawatirkan, para pelaku industri tembakau, lanjut Benny, implementasi kebijakan ini bisa menjadi pintu masuk bagi peningkatan rokok ilegal. Kasus terbaru menunjukkan bahwa rokok ilegal dapat dengan mudah dijual dan didistribusikan meskipun ada penangkapan dan denda.
"Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa regulasi yang ada malah mempermudah peredaran rokok ilegal dan merugikan industri yang mematuhi hukum," tegas dia.
Kekhawatiran serupa pun disampaikan Ketum Asosiasi Penguasa Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey. Ia mengkritik penegakan hukum terkait peredaran rokok ilegal di Indonesia. Menurutnya, kasus terbaru menunjukkan tidak efektinya penegakan hukum, yang berdampak negatif pada industri tembakau yang sah.
Baca Juga: DPR Minta PP 28/2024 dan RPMK Ditinjau Ulang
Roy bercerita, pada 27 Agustus 2024, aparat penegak hukum di Lampung menangkap 72 ribu batang rokok ilegal dan menangkap tiga pedagang besar yang terlibat. Namun, keesokan harinya, ketiga pelaku dibebaskan setelah membayar denda sebesar Rp150 juta.
Roy menilai bahwa kebijakan ini menciptakan ketidakadilan, di mana pelaku usaha yang mematuhi hukum harus menghadapi regulasi yang ketat, sementara pelanggar hukum dapat dengan mudah meloloskan diri dengan membayar denda.
"Jika pelanggaran hukum seperti ini bisa dibayar dengan denda dan terus berlanjut, maka tidak ada gunanya bagi kami yang menjual rokok legal untuk terus mematuhi aturan. Jika yang ilegal lebih banyak dan tidak membayar cukai, bagaimana kami bertahan dengan peraturan yang semakin ketat?" pungkasnya.
Dalam aspek hukum, beleid ini dianggap diskriminatif dan kontradiktif terhadap amanat Undang-Undang (UU) serta konstitusi. Kritik ini kian deras setelah ditemukan pasal-pasal tersembunyi dalam peraturan tersebut yang mengindikasikan aspek diskriminatif.
Anggota Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo menyebut, aspek diskriminatif yang disorot adalah adanya peraturan yang dinilai mengabaikan hak-hak hidup masyarakat luas. Dua kebijakan ini berpotensi mendiskriminasi berbagai kelompok masyarakat, termasuk pedagang ritel dan petani tembakau.
Menurut Firman, peraturan tersebut jelas akan berdampak pada kelompok masyarakat kecil, seperti pedagang asongan, dan industri hasil tembakau yang telah berkontribusi besar pada pendapatan negara melalui cukai. Dampak ini terasa signifikan bagi tenaga kerja dan petani tembakau, yang selama ini menggantungkan hidup pada industri ini.
"Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dalam proses pembuatan peraturan, yang seharusnya melibatkan semua stakeholder, termasuk menteri-menteri terkait, tanpa adanya unsur diskriminatif," ujarnya dalam sebuah diskusi publik, dikutip (18/9/2024).
Baca Juga: Indef Sebut Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dibuat Terburu-buru
Menurut dia, Mahkamah Konstitusi (MK) berperan penting dalam menjaga agar kebijakan pemerintah tidak merugikan masyarakat. MK diharapkan dapat memeriksa dan menilai apakah terdapat unsur subjektivitas dalam aturan-aturan baru tersebut.
Jika terdapat ketidakadilan, masyarakat memiliki hak untuk mengajukan gugatan dan meminta peninjauan ulang terhadap regulasi yang dianggap tidak sesuai dengan kaidah perundang-undangan. Apalagi, belakangan banyak suara yang menilai bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembuatan undang-undang yang harus dapat dilaksanakan, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Sementara itu, di tingkat legislatif, DPR RI terus memantau dan mempertimbangkan berbagai keluhan dari pemangku kepentingan terkait. Langkah-langkah yang mungkin diambil termasuk pengajuan judicial review jika ditemukan adanya ketidakadilan dalam peraturan.
"Ini termasuk kemungkinan untuk meninjau kembali atau bahkan membatalkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan umum," kata dia.
Di samping itu, Firman mengkritik RPMK karena bertentangan dengan RUU Komoditas Strategis Nasional (RUU KSN). Ia menyebutkan bahwa RPMK, sebagai turunan dari undang-undang, tidak boleh mengintervensi atau menganulir ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang utama.
Firman mengungkapkan bahwa DPR RI akan mengambil sejumlah langkah untuk memastikan RPMK sesuai dengan ketentuan undang-undang, Ke depan, pihaknya akan memeriksa setiap pasal dalam RPMK untuk memastikan kesesuaiannya dengan RUU KSN dan undang-undang lainnya.
"Jika terdapat kontradiksi yang signifikan, DPR RI akan mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung," jelasnya.
Lebih lanjut, Firman memperingatkan potensi adanya agenda tersembunyi yang dapat merugikan industri lokal melalui dua aturan Kemenkes, terutama dalam kasus rokok kretek, yang merupakan produk unggulan Indonesia. DPR RI mengajak pemerintah untuk mempertimbangkan semua dampak kebijakan terhadap perekonomian dan budaya lokal.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi menyebut proses penyusunan RPMK tidak melibatkan partisipasi yang berarti dari industri. Ia bilang, bahwa undangan untuk public hearing hanya mencakup beberapa asosiasi dan tidak melibatkan kementerian terkait, seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
"Proses yang terburu-buru ini juga dinilai tidak memberikan ruang yang cukup bagi masukan dari pelaku usaha," tegas dia.
Adapun yang dikhawatirkan, para pelaku industri tembakau, lanjut Benny, implementasi kebijakan ini bisa menjadi pintu masuk bagi peningkatan rokok ilegal. Kasus terbaru menunjukkan bahwa rokok ilegal dapat dengan mudah dijual dan didistribusikan meskipun ada penangkapan dan denda.
"Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa regulasi yang ada malah mempermudah peredaran rokok ilegal dan merugikan industri yang mematuhi hukum," tegas dia.
Kekhawatiran serupa pun disampaikan Ketum Asosiasi Penguasa Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey. Ia mengkritik penegakan hukum terkait peredaran rokok ilegal di Indonesia. Menurutnya, kasus terbaru menunjukkan tidak efektinya penegakan hukum, yang berdampak negatif pada industri tembakau yang sah.
Baca Juga: DPR Minta PP 28/2024 dan RPMK Ditinjau Ulang
Roy bercerita, pada 27 Agustus 2024, aparat penegak hukum di Lampung menangkap 72 ribu batang rokok ilegal dan menangkap tiga pedagang besar yang terlibat. Namun, keesokan harinya, ketiga pelaku dibebaskan setelah membayar denda sebesar Rp150 juta.
Roy menilai bahwa kebijakan ini menciptakan ketidakadilan, di mana pelaku usaha yang mematuhi hukum harus menghadapi regulasi yang ketat, sementara pelanggar hukum dapat dengan mudah meloloskan diri dengan membayar denda.
"Jika pelanggaran hukum seperti ini bisa dibayar dengan denda dan terus berlanjut, maka tidak ada gunanya bagi kami yang menjual rokok legal untuk terus mematuhi aturan. Jika yang ilegal lebih banyak dan tidak membayar cukai, bagaimana kami bertahan dengan peraturan yang semakin ketat?" pungkasnya.
(nng)