5 Pergeseran Besar Perilaku Konsumen di Era Digital
loading...
A
A
A
JAKARTA - Yuswohady
Managing Partner Inventure
“After pandemic, every consumer is digital consumer”. Pandemi Covid-19 membawa berkah luar biasa, karena megabencana itu memaksa seluruh umat manusia untuk “go digital”. Itu sebabnya saya menyebut, “Pandemic is a catalyst for digital adoption.” (Baca: Indonesia Tidak Akan Selamat, Waktu 1,5 Bulan Tidak Cukup Hindari Resesi)
Ya, karena ketika kita makin terbatas ke luar rumah dan berinteraksi secara fisik, maka kita dituntut bekerja, belajar, belanja, hingga beribadah secara online dengan menggunakan perangkat digital.
Apa saja pergeseran besar (megashifts) perilaku konsumen yang bakal terjadi sebagai akibat terakselerasinya adopsi digital ini? Di Inventure kami mengkajinya dan menemukan ada lima megashifts berikut ini.
1. Go Virtual: “Migration from space to screen”
Pandemi telah mempercepat proses migrasi konsumen dari offline (dimensi fisik: “space“) ke online (dimensi digital: “screen”). (Baca juga: Bopong Senjata dan Radar Canggih, Pesawat F-16 TNI AU Semakin Garang)
Oleh pandemi kita dipaksa bekerja secara remote dengan platform seperti Zoom atau Webex. Anak-anak juga tak bisa lagi belajar secara fisik di sekolah dan harus belajar online di situs seperti Ruangguru atau Khan Academy. Berbelanja juga makin banyak dilakukan via e-commerce ketika berbelanja fisik kian dihindari.
Ketika rumah sakit kini menjadi tempat yang berisiko menularkan Covid-19, telemedecine menjadi solusi digital menenteramkan. Bahkan ketika beberapa bulan lalu kita tak bisa ke kampung untuk silaturahmi saat Lebaran, dengan platform digital kita masih bisa melakukannya secara virtual.
Dengan adanya pandemi makin banyak aktivitas hidup kita kini dijalani virtual melalui layar ponsel pintar, laptop, atau tablet. Abad 21 adalah “abad virtual”.
2. Go Digiwhere: “Deepening of digital adoption”
Tak hanya “go virtual”, pandemi mendorong adopsi dan konsumsi digital yang “meluas” dan “mendalam”. Kami menyebutnya fenomena “digiwhere” atau “digital everywhere”.
Karena banyak berada di rumah, masyarakat semakin banyak menggunakan media sosial seperti Facebook dan Instagram. Karena tidak bisa menonton bioskop dan konser musik maka kita kian banyak menghabiskan waktu menikmati layanan streaming seperti dari Netflix atau Spotify. (Baca juga: Memanas, China Usir Kapal Perang AS dari Laut China Selatan)
Dalam hal berbelanja secara daring, kalau dulunya kita berbelanja online ini sesekali saja (occasional) kini kita melakukannya secara reguler (habitual). Kalau sebelumnya kita hanya berbelanja untuk barang-barang nonesensial seperti produk elektronik, baju, atau sepatu, maka kini kita melakukannya untuk barang-barang kebutuhan sehari-hari (daily needs, groceries).
Hal yang paling terlihat adalah penggunaan Zoom untuk melakukan rapat dan berdiskusi. Kalau sebelumnya kita tak pernah menggunakan platform remote working ini, para pekerja kantoran bisa menggunakannya 5-10 kali seharinya.
3. Go Contactless: “The fall of physical touchpoints”
Pandemi menuntut kita untuk melakukan social distancing dan sesedikit mungkin melakukan kontak fisik. Ketika tuntutan aktivitas keseharian harus tetap berjalan, media digital menjadi “solusi sementara”, sekaligus “solusi selamanya”. (Baca juga: Mencekam, Polsek Ciracas Dibakar Gerombolan Orang Tak Dikenal)
Dengan QR-code kita bisa tetap melakukan transaksi dan pembayaran tanpa harus melakukan kontak fisik. Dengan robot dan otomasi berbasis artificial intelligent (AI) pabrik dan kantor-kantor tetap dapat beroperasi tanpa melibatkan tenaga manusia.
Atau, dengan beragam self-service apps, para travellers bisa memenuhi berbagai kebutuhan perjalanan mereka tanpa banyak melakukan kontak fisik dengan banyak orang. Digital memungkinkan konsumen sesedikit mungkin melakukan kontak fisik dengan penyedia produk dan layanan.
4. Go Omni: “Phygital experience is the end game”
Anggapan umum sering mengatakan bahwa dengan adanya migrasi digital besar-besaran akibat pandemi kita akan serta-merta meninggalkan dunia fisikal. Kenyataannya tidak demikian. Di dunia ini tak pernah ada perubahan yang betul-betul ekstrem. Ya, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang piawai beradaptasi.
Orang menyangka bahwa dengan hadirnya platform digital seperti YouTube atau Netflix maka televisi (free-to-air) akan hilang dari muka bumi. Kenyataannya tidak demikian. Televisi tetap eksis bahkan tumbuh walaupun tidak setinggi media digital. End equilibrium-nya, keduanya hadir dan eksis secara beriringan.
Jadi, endgame dari revolusi digital yang kini masif terjadi bukanlah lonceng kematian bagi medium fisikal, tapi terbentuknya ekuilibrium baru di mana fisikal-digital bahu membahu untuk menghasilkan pengalaman terbaik dan ternyaman bagi konsumen. (Baca juga: Gunakan Teknologi tepat Guna, Pelayanan Posyandu Bisa Meningkat)
Apapun industrinya, apakah e-commerce, online learning, entertainment, remote working, atau telemedecine, ujung-ujungnya pengalaman ”phygital” (physical–digital) adalah yang dicari dan diinginkan. Dengan kata lain, omni-experience will be the king.
5. Go Confidential: “Privacy is the new urgency”
Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan berita bocornya 91 juta data pengguna Tokopedia. Bocornya data pengguna ini juga dialami oleh Bhinneka dan Bukalapak pada 2019. Data yang diretas meliputi nama lengkap, tanggal lahir, nomor ponsel, lokasi, hingga jenis kelamin.
Di tengah euforia belanja online yang semakin masif, beberapa kejadian ini sontak membuat tingkat kepercayaan publik pada e-commerce menurun. Kejadian ini juga membuktikan lemahnya pengawasan dan sistem keamanan privasi pengguna.
Ke depan kasusnya tak hanya terjadi di e-commerce. Dengan meluas dan mendalamnya penggunaan platform digital oleh masyarakat—dari media sosial, layanan online streaming, remote working, belajar daring, hingga telemedicine—kasus peretasan akan meluas ke hampir seluruh platform digital yang sehari-hari kita gunakan.
Singkatnya, seiring adanya fenomena “digital everywhere”, perhatian terhadap privacy dan keamanan data pribadi pengguna pun meningkat tajam. Mereka mulai sadar bahwa data pribadi mereka sangat rawan disalahgunakan oleh pemilik platform. (Lihat videonya: Dua Kali Ditangkap Warga, Macan Tutul Jawa Dilepas Liarkan ke Habitatnya)
Kita tahu, di era digital “user data is the new oil”. Pemilik platform akan sejauh mungkin mengolah dan memanfaatkan data konsumen untuk melakukan kustomisasi dan personalisasi layanan ke konsumen. Tapi itu mengandung biaya mahal di sisi konsumen berupa lenyapnya privasi.
Karena itu, bisa dibaca trennya, meluas dan mendalamnya adopsi digital akibat pandemi akan mendorong konsumen semakin peduli terhadap privasi dan keamanan data pribadi: privacy is the urgency.
Managing Partner Inventure
“After pandemic, every consumer is digital consumer”. Pandemi Covid-19 membawa berkah luar biasa, karena megabencana itu memaksa seluruh umat manusia untuk “go digital”. Itu sebabnya saya menyebut, “Pandemic is a catalyst for digital adoption.” (Baca: Indonesia Tidak Akan Selamat, Waktu 1,5 Bulan Tidak Cukup Hindari Resesi)
Ya, karena ketika kita makin terbatas ke luar rumah dan berinteraksi secara fisik, maka kita dituntut bekerja, belajar, belanja, hingga beribadah secara online dengan menggunakan perangkat digital.
Apa saja pergeseran besar (megashifts) perilaku konsumen yang bakal terjadi sebagai akibat terakselerasinya adopsi digital ini? Di Inventure kami mengkajinya dan menemukan ada lima megashifts berikut ini.
1. Go Virtual: “Migration from space to screen”
Pandemi telah mempercepat proses migrasi konsumen dari offline (dimensi fisik: “space“) ke online (dimensi digital: “screen”). (Baca juga: Bopong Senjata dan Radar Canggih, Pesawat F-16 TNI AU Semakin Garang)
Oleh pandemi kita dipaksa bekerja secara remote dengan platform seperti Zoom atau Webex. Anak-anak juga tak bisa lagi belajar secara fisik di sekolah dan harus belajar online di situs seperti Ruangguru atau Khan Academy. Berbelanja juga makin banyak dilakukan via e-commerce ketika berbelanja fisik kian dihindari.
Ketika rumah sakit kini menjadi tempat yang berisiko menularkan Covid-19, telemedecine menjadi solusi digital menenteramkan. Bahkan ketika beberapa bulan lalu kita tak bisa ke kampung untuk silaturahmi saat Lebaran, dengan platform digital kita masih bisa melakukannya secara virtual.
Dengan adanya pandemi makin banyak aktivitas hidup kita kini dijalani virtual melalui layar ponsel pintar, laptop, atau tablet. Abad 21 adalah “abad virtual”.
2. Go Digiwhere: “Deepening of digital adoption”
Tak hanya “go virtual”, pandemi mendorong adopsi dan konsumsi digital yang “meluas” dan “mendalam”. Kami menyebutnya fenomena “digiwhere” atau “digital everywhere”.
Karena banyak berada di rumah, masyarakat semakin banyak menggunakan media sosial seperti Facebook dan Instagram. Karena tidak bisa menonton bioskop dan konser musik maka kita kian banyak menghabiskan waktu menikmati layanan streaming seperti dari Netflix atau Spotify. (Baca juga: Memanas, China Usir Kapal Perang AS dari Laut China Selatan)
Dalam hal berbelanja secara daring, kalau dulunya kita berbelanja online ini sesekali saja (occasional) kini kita melakukannya secara reguler (habitual). Kalau sebelumnya kita hanya berbelanja untuk barang-barang nonesensial seperti produk elektronik, baju, atau sepatu, maka kini kita melakukannya untuk barang-barang kebutuhan sehari-hari (daily needs, groceries).
Hal yang paling terlihat adalah penggunaan Zoom untuk melakukan rapat dan berdiskusi. Kalau sebelumnya kita tak pernah menggunakan platform remote working ini, para pekerja kantoran bisa menggunakannya 5-10 kali seharinya.
3. Go Contactless: “The fall of physical touchpoints”
Pandemi menuntut kita untuk melakukan social distancing dan sesedikit mungkin melakukan kontak fisik. Ketika tuntutan aktivitas keseharian harus tetap berjalan, media digital menjadi “solusi sementara”, sekaligus “solusi selamanya”. (Baca juga: Mencekam, Polsek Ciracas Dibakar Gerombolan Orang Tak Dikenal)
Dengan QR-code kita bisa tetap melakukan transaksi dan pembayaran tanpa harus melakukan kontak fisik. Dengan robot dan otomasi berbasis artificial intelligent (AI) pabrik dan kantor-kantor tetap dapat beroperasi tanpa melibatkan tenaga manusia.
Atau, dengan beragam self-service apps, para travellers bisa memenuhi berbagai kebutuhan perjalanan mereka tanpa banyak melakukan kontak fisik dengan banyak orang. Digital memungkinkan konsumen sesedikit mungkin melakukan kontak fisik dengan penyedia produk dan layanan.
4. Go Omni: “Phygital experience is the end game”
Anggapan umum sering mengatakan bahwa dengan adanya migrasi digital besar-besaran akibat pandemi kita akan serta-merta meninggalkan dunia fisikal. Kenyataannya tidak demikian. Di dunia ini tak pernah ada perubahan yang betul-betul ekstrem. Ya, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang piawai beradaptasi.
Orang menyangka bahwa dengan hadirnya platform digital seperti YouTube atau Netflix maka televisi (free-to-air) akan hilang dari muka bumi. Kenyataannya tidak demikian. Televisi tetap eksis bahkan tumbuh walaupun tidak setinggi media digital. End equilibrium-nya, keduanya hadir dan eksis secara beriringan.
Jadi, endgame dari revolusi digital yang kini masif terjadi bukanlah lonceng kematian bagi medium fisikal, tapi terbentuknya ekuilibrium baru di mana fisikal-digital bahu membahu untuk menghasilkan pengalaman terbaik dan ternyaman bagi konsumen. (Baca juga: Gunakan Teknologi tepat Guna, Pelayanan Posyandu Bisa Meningkat)
Apapun industrinya, apakah e-commerce, online learning, entertainment, remote working, atau telemedecine, ujung-ujungnya pengalaman ”phygital” (physical–digital) adalah yang dicari dan diinginkan. Dengan kata lain, omni-experience will be the king.
5. Go Confidential: “Privacy is the new urgency”
Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan berita bocornya 91 juta data pengguna Tokopedia. Bocornya data pengguna ini juga dialami oleh Bhinneka dan Bukalapak pada 2019. Data yang diretas meliputi nama lengkap, tanggal lahir, nomor ponsel, lokasi, hingga jenis kelamin.
Di tengah euforia belanja online yang semakin masif, beberapa kejadian ini sontak membuat tingkat kepercayaan publik pada e-commerce menurun. Kejadian ini juga membuktikan lemahnya pengawasan dan sistem keamanan privasi pengguna.
Ke depan kasusnya tak hanya terjadi di e-commerce. Dengan meluas dan mendalamnya penggunaan platform digital oleh masyarakat—dari media sosial, layanan online streaming, remote working, belajar daring, hingga telemedicine—kasus peretasan akan meluas ke hampir seluruh platform digital yang sehari-hari kita gunakan.
Singkatnya, seiring adanya fenomena “digital everywhere”, perhatian terhadap privacy dan keamanan data pribadi pengguna pun meningkat tajam. Mereka mulai sadar bahwa data pribadi mereka sangat rawan disalahgunakan oleh pemilik platform. (Lihat videonya: Dua Kali Ditangkap Warga, Macan Tutul Jawa Dilepas Liarkan ke Habitatnya)
Kita tahu, di era digital “user data is the new oil”. Pemilik platform akan sejauh mungkin mengolah dan memanfaatkan data konsumen untuk melakukan kustomisasi dan personalisasi layanan ke konsumen. Tapi itu mengandung biaya mahal di sisi konsumen berupa lenyapnya privasi.
Karena itu, bisa dibaca trennya, meluas dan mendalamnya adopsi digital akibat pandemi akan mendorong konsumen semakin peduli terhadap privasi dan keamanan data pribadi: privacy is the urgency.
(ysw)