Ombudsman RI : Tumpang Tindih Lahan dan Aturan Ganggu Kelangsungan Industri Sawit
loading...
A
A
A
JAKARTA -
Status lahan perkebunan sawit yang tidak jelas akibat tumpang tindih dengan kawasan hutan telah mengganggu keberlangsungan usaha perkebunan kelapa sawit. Pemerintah perlu melakukan afirmasi status kepemilikan lahan untuk mendukung kebijakan perkebunan sawit berkelanjutan.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengungkapkan hal tersebut dalam penyampaian hasil kajian sistemik di Gedung Ombudsman RI pada Senin (18/11/2024). ‘’Pada aspek perizinan, Ombudsman RI menemukan adanya ketidakpastian layanan dalam tumpang tindih Hak Atas Tanah (HAT) lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan dan tidak adanya kepastian penyelesaian inventarisasi SK Datin terhadap lahan perkebunan sawit,’’ kata Yeka Hendra. SK Datin merupakan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memuat data dan informasi kegiatan usaha di kawasan hutan tanpa perizinan bidang perkebunan.
Ombudsman RI menemukan luasan Irisan overlay tumpang tindih lahan perkebunan sawit dengan kawasan hutan adalah seluas 3.222.350 hektare, dengan subjek hukum sejumlah 3.235. Subjek hukum terdiri dari 2.172 perusahaan kelapa sawit dan 1.063 koperasi/poktan (sawit rakyat). Konflik status kepemilikan lahan antara perkebunan kelapa sawit dan kawasan hutan mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi petani dan perusahaan.
Sejauh ini, perkembangan penyelesaian tumpang tindih lahan ini telah diselesaikan melalui mekanisme Pasal 110A Undang Undang Cipta Kerja. Dimana, sejumlah 115 subjek hukum yang terdiri dari 83 unit (+ 336.539 hektare) dengan SK penetapan batas pelepasan kawasan hutan, dan 32 unit (+ 96.174 hektare) telah keluar SK pelepasan kawasan hutan.
Adapun, proses penyelesaian melalui mekanisme Pasal 110B UU Cipta Kerja telah dilakukan. Sebanyak 53 subjek hukum telah diberikan denda administratif. Dimana, 25 subjek hukum telah membayar dan 28 subjek hukum belum membayar. Selain itu, perkembangan penyelesaian untuk perkebunan sawit rakyat yang dilakukan melalui skema PP 24/2021 adalah 31 subjek hukum dengan telah diterbitkan SK Persetujuan Perhutanan Sosial dengan luas 11.067 hektare.
Data di atas menunjukkan masih banyak masalah tumpang tindih lahan sawit, hanya sebagian kecil saja yang sudah diselesaikan, yakni sebanyak 199 subjek hukum. Sementara yang masih belum diselesaikan jumlahnya 3.036 subjek hukum atau 93,84%. Ombudsman menemukan fakta di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah, bahwa banyak perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah memiliki Hak Atas Tanah (HAT), namun masih dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. Hal ini berdampak pada terhambatnya dalam memperoleh bantuan pemerintah maupun program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Ombudsman menyebut penyelesaian tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan bisa dilakukan dengan mengutamakan kepemilikan lahan yang telah diterbitkan bukti kepemilikan HAT dan pengakuan hukum lainnya. Pemerintah perlu melakukan perbaikan tata kelola industri kelapa sawit pada aspek lahan melalui dua hal. Pertama, pengakuan hak atas tanah yang telah sah diterbitkan oleh kementerian yang membidangi urusan agraria dan pertanahan. Kedua, percepatan penyelesaian tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan sekaligus melakukan pengukuhan kawasan hutan. Pengakuan hak atas tanah yang sah dilakukan dengan cara melepaskan persil tanah tersebut dari kawasan hutan.
Sedangkan, pada aspek tata niaga, Ombudsman RI menemukan potensi maladministrasi berupa ketidakjelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME). Yeka mengatakan bahwa masalah perizinan PKS disebabkan kurangnya koordinasi antar-kementerian dalam menentukan kewenangan dan standar perizinan PKS mengkibatkan tumpang tindih aturan.
Persaingan usaha yang tidak sehat antar PKS bermula dari adanya dualisme izin pendirian PKS yang diampu oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian. Kementerian Pertanian mengampu perizinan PKS yang terintegrasi dengan kebun, sedangkan Kementerian Perindustrian mengampu perizinan PKS tanpa kebun. Dualisme izin tersebut berdampak terhadap adanya perbedaan syarat pendirian PKS, sehingga pada akhirnya memicu permasalahan terkait, dualisme harga TBS (tandan buah segar), ketidakpastian rantai pasok TBS, ketidapastian jaminan jumlah pasokan TBS dan standar kualitas TBS.
Status lahan perkebunan sawit yang tidak jelas akibat tumpang tindih dengan kawasan hutan telah mengganggu keberlangsungan usaha perkebunan kelapa sawit. Pemerintah perlu melakukan afirmasi status kepemilikan lahan untuk mendukung kebijakan perkebunan sawit berkelanjutan.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengungkapkan hal tersebut dalam penyampaian hasil kajian sistemik di Gedung Ombudsman RI pada Senin (18/11/2024). ‘’Pada aspek perizinan, Ombudsman RI menemukan adanya ketidakpastian layanan dalam tumpang tindih Hak Atas Tanah (HAT) lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan dan tidak adanya kepastian penyelesaian inventarisasi SK Datin terhadap lahan perkebunan sawit,’’ kata Yeka Hendra. SK Datin merupakan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memuat data dan informasi kegiatan usaha di kawasan hutan tanpa perizinan bidang perkebunan.
Ombudsman RI menemukan luasan Irisan overlay tumpang tindih lahan perkebunan sawit dengan kawasan hutan adalah seluas 3.222.350 hektare, dengan subjek hukum sejumlah 3.235. Subjek hukum terdiri dari 2.172 perusahaan kelapa sawit dan 1.063 koperasi/poktan (sawit rakyat). Konflik status kepemilikan lahan antara perkebunan kelapa sawit dan kawasan hutan mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi petani dan perusahaan.
Sejauh ini, perkembangan penyelesaian tumpang tindih lahan ini telah diselesaikan melalui mekanisme Pasal 110A Undang Undang Cipta Kerja. Dimana, sejumlah 115 subjek hukum yang terdiri dari 83 unit (+ 336.539 hektare) dengan SK penetapan batas pelepasan kawasan hutan, dan 32 unit (+ 96.174 hektare) telah keluar SK pelepasan kawasan hutan.
Adapun, proses penyelesaian melalui mekanisme Pasal 110B UU Cipta Kerja telah dilakukan. Sebanyak 53 subjek hukum telah diberikan denda administratif. Dimana, 25 subjek hukum telah membayar dan 28 subjek hukum belum membayar. Selain itu, perkembangan penyelesaian untuk perkebunan sawit rakyat yang dilakukan melalui skema PP 24/2021 adalah 31 subjek hukum dengan telah diterbitkan SK Persetujuan Perhutanan Sosial dengan luas 11.067 hektare.
Data di atas menunjukkan masih banyak masalah tumpang tindih lahan sawit, hanya sebagian kecil saja yang sudah diselesaikan, yakni sebanyak 199 subjek hukum. Sementara yang masih belum diselesaikan jumlahnya 3.036 subjek hukum atau 93,84%. Ombudsman menemukan fakta di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah, bahwa banyak perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah memiliki Hak Atas Tanah (HAT), namun masih dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. Hal ini berdampak pada terhambatnya dalam memperoleh bantuan pemerintah maupun program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Ombudsman menyebut penyelesaian tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan bisa dilakukan dengan mengutamakan kepemilikan lahan yang telah diterbitkan bukti kepemilikan HAT dan pengakuan hukum lainnya. Pemerintah perlu melakukan perbaikan tata kelola industri kelapa sawit pada aspek lahan melalui dua hal. Pertama, pengakuan hak atas tanah yang telah sah diterbitkan oleh kementerian yang membidangi urusan agraria dan pertanahan. Kedua, percepatan penyelesaian tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan sekaligus melakukan pengukuhan kawasan hutan. Pengakuan hak atas tanah yang sah dilakukan dengan cara melepaskan persil tanah tersebut dari kawasan hutan.
Sedangkan, pada aspek tata niaga, Ombudsman RI menemukan potensi maladministrasi berupa ketidakjelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME). Yeka mengatakan bahwa masalah perizinan PKS disebabkan kurangnya koordinasi antar-kementerian dalam menentukan kewenangan dan standar perizinan PKS mengkibatkan tumpang tindih aturan.
Persaingan usaha yang tidak sehat antar PKS bermula dari adanya dualisme izin pendirian PKS yang diampu oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian. Kementerian Pertanian mengampu perizinan PKS yang terintegrasi dengan kebun, sedangkan Kementerian Perindustrian mengampu perizinan PKS tanpa kebun. Dualisme izin tersebut berdampak terhadap adanya perbedaan syarat pendirian PKS, sehingga pada akhirnya memicu permasalahan terkait, dualisme harga TBS (tandan buah segar), ketidakpastian rantai pasok TBS, ketidapastian jaminan jumlah pasokan TBS dan standar kualitas TBS.