Trump Menang Pilpres AS, Analis: Ketidakpastian Bayangi Pasar Minyak Nabati
loading...
A
A
A
NUSA DUA - Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS dinilai akan berdampak pada perubahan kebijakan energi yang selanjutnya akan menciptakan ketidakpastian di pasar minyak nabati global. Meski bukan konsumen utama minyak sawit , kebijakan energi AS dinilai tetap berdampak besar pada pasar minyak nabati, termasuk sawit, secara global.
Hal itu diungkapkan oleh analis dari Bloomberg Alvin Tai di acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) ke-20 di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11) lalu. Alvin mengatakan, di AS diesel masih menjadi bahan bakar transportasi kedua terbesar dengan penggunaan mencapai 22%, sementara bahan bakar nabati (biofuel) hanya sekitar 6%. Namun, imbuh dia, tren menunjukkan peningkatan penggunaan renewable diesel dan biodiesel, yang diprediksi melampaui konsumsi diesel berbasis petroleum pada tahun 2024 dengan konsumsi mencapai 4,5 juta barel per hari.
"Ketersediaan bahan baku ini meningkat dari kurang dari 10 juta metrik ton pada 2021 menjadi sekitar 15 juta metrik ton pada 2024. Meskipun ada potensi pertumbuhan lebih lanjut, permintaan biodiesel diperkirakan mencapai 25,7 juta metrik ton per tahun, sehingga banyak pihak yang pesimis terhadap tercapainya proyeksi ini mengingat keterbatasan pasokan bahan baku," ujarnya.
Alvin menjelaskan, saat ini bahan baku biodiesel dan renewable diesel AS sebagian besar berasal dari minyak kedelai, yakni 44%. Selanjutnya, adalah minyak daur ulang dan lemak (33%), minyak jagung (15%), serta minyak kanola (5%). Dengan penerapan kebijakan baru berupa kredit pajak 45Z yang menggunakan jejak karbon sebagai tolok ukur, menempatkan Used Cooking Oil (UCO) pada posisi teratas dan minyak sawit Indonesia dengan nilai karbon tertinggi.
Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengatakan Indonesia juga terus mendorong agenda energi terbarukan yang lebih luas melalui peningkatan pencampuran biodiesel. Dengan mengadopsi B35 pada tahun 2023, Indonesia telah mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan menghemat lebih dari USD7,9 miliar untuk impor bahan bakar fosil.
"Sasaran B50 merupakan perubahan signifikan dalam kebijakan energi, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung pertanian lokal. Namun, perluasan ini dapat berdampak pada ketahanan pangan dan juga pasokan minyak sawit, terutama untuk ekspor," paparnya pada pembukaan IPOC sehari sebelumnya.
Senada dengan Alvin Tai dan Sudaryono, Dorab Mistry yang juga merupakan pembicara pada acara IPOC mengungkapkan hadirnya program biodiesel di berbagai negara sangat mendorong penyerapan minyak nabati dunia. Namun, stagnasi produksi minyak sawit membuat harganya tidak lagi kompetitif, bahkan cenderung mahal, sehingga daya saing menurun. "Terjadi peningkatan produksi minyak nabati, namun stagnasi produksi komoditas kelapa sawit. Stagnasi ini didorong oleh persoalan domestik seperti teknologi, peremajaan, dan bibit," kata dia.
Dalam jangka panjang, lanjutnya, melemahnya harga minyak bumi, tren politik subsidi pemerintah terhadap biofuel tetap menjadi faktor penentu fluktuasi harga minyak nabati. "Dengan kata lain, capricious climate masih akan mewarnai perjalanan minyak nabati di tahun 2025," ungkap Dorab Mistry.
Dia melanjutkan, cuaca di Amerika Selatan juga berpotensi mendorong kenaikan harga, terutama jika ada penundaan kebijakan biofuel. Di sisi lain, harga minyak kedelai diprediksi tetap kuat, didorong oleh tingginya permintaan biodiesel AS serta perubahan insentif dari blenders credit menjadi producers credit. "Permintaan juga diperkirakan semakin meningkat seiring kebijakan terkait Sustainable Aviation Fuel," tambahnya.
Hal itu diungkapkan oleh analis dari Bloomberg Alvin Tai di acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) ke-20 di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11) lalu. Alvin mengatakan, di AS diesel masih menjadi bahan bakar transportasi kedua terbesar dengan penggunaan mencapai 22%, sementara bahan bakar nabati (biofuel) hanya sekitar 6%. Namun, imbuh dia, tren menunjukkan peningkatan penggunaan renewable diesel dan biodiesel, yang diprediksi melampaui konsumsi diesel berbasis petroleum pada tahun 2024 dengan konsumsi mencapai 4,5 juta barel per hari.
"Ketersediaan bahan baku ini meningkat dari kurang dari 10 juta metrik ton pada 2021 menjadi sekitar 15 juta metrik ton pada 2024. Meskipun ada potensi pertumbuhan lebih lanjut, permintaan biodiesel diperkirakan mencapai 25,7 juta metrik ton per tahun, sehingga banyak pihak yang pesimis terhadap tercapainya proyeksi ini mengingat keterbatasan pasokan bahan baku," ujarnya.
Alvin menjelaskan, saat ini bahan baku biodiesel dan renewable diesel AS sebagian besar berasal dari minyak kedelai, yakni 44%. Selanjutnya, adalah minyak daur ulang dan lemak (33%), minyak jagung (15%), serta minyak kanola (5%). Dengan penerapan kebijakan baru berupa kredit pajak 45Z yang menggunakan jejak karbon sebagai tolok ukur, menempatkan Used Cooking Oil (UCO) pada posisi teratas dan minyak sawit Indonesia dengan nilai karbon tertinggi.
Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengatakan Indonesia juga terus mendorong agenda energi terbarukan yang lebih luas melalui peningkatan pencampuran biodiesel. Dengan mengadopsi B35 pada tahun 2023, Indonesia telah mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan menghemat lebih dari USD7,9 miliar untuk impor bahan bakar fosil.
"Sasaran B50 merupakan perubahan signifikan dalam kebijakan energi, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung pertanian lokal. Namun, perluasan ini dapat berdampak pada ketahanan pangan dan juga pasokan minyak sawit, terutama untuk ekspor," paparnya pada pembukaan IPOC sehari sebelumnya.
Senada dengan Alvin Tai dan Sudaryono, Dorab Mistry yang juga merupakan pembicara pada acara IPOC mengungkapkan hadirnya program biodiesel di berbagai negara sangat mendorong penyerapan minyak nabati dunia. Namun, stagnasi produksi minyak sawit membuat harganya tidak lagi kompetitif, bahkan cenderung mahal, sehingga daya saing menurun. "Terjadi peningkatan produksi minyak nabati, namun stagnasi produksi komoditas kelapa sawit. Stagnasi ini didorong oleh persoalan domestik seperti teknologi, peremajaan, dan bibit," kata dia.
Dalam jangka panjang, lanjutnya, melemahnya harga minyak bumi, tren politik subsidi pemerintah terhadap biofuel tetap menjadi faktor penentu fluktuasi harga minyak nabati. "Dengan kata lain, capricious climate masih akan mewarnai perjalanan minyak nabati di tahun 2025," ungkap Dorab Mistry.
Dia melanjutkan, cuaca di Amerika Selatan juga berpotensi mendorong kenaikan harga, terutama jika ada penundaan kebijakan biofuel. Di sisi lain, harga minyak kedelai diprediksi tetap kuat, didorong oleh tingginya permintaan biodiesel AS serta perubahan insentif dari blenders credit menjadi producers credit. "Permintaan juga diperkirakan semakin meningkat seiring kebijakan terkait Sustainable Aviation Fuel," tambahnya.
(fjo)