Dibayangi Ancaman Perang Dagang Baru, Biden dan Xi Jinping Bertemu

Minggu, 17 November 2024 - 07:38 WIB
loading...
Dibayangi Ancaman Perang...
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping. FOTO/Ist
A A A
JAKARTA - Pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping diperkirakan akan menjadi tatap muka terakhir selama masa jabatan Biden. Sementara, Beijing bersiap menghadapi kepemimpinan Presiden terpilih Donald Trump di Washington.

Kedua pemimpin ini menghadiri pertemuan para kepala negara kelompok Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Lima, Peru, yang dimulai pada hari Jumat (15/11). Pertemuan hari Sabtu (16/11) menjadi pertemuan ketiga kalinya bagi keduanya bertemu secara langsung sejak Biden menjabat.

Hubungan antara China dan AS, negara adidaya paling penting di dunia terus memburuk selama masa jabatan pertama Trump sebagai presiden, ketika ia memulai perang dagang dengan Beijing. Namun, hubungan menjadi semakin tegang dalam empat tahun terakhir pemerintahan Biden dengan berbagai masalah mulai dari perang dagang hingga TikTok.

Pada 2023, Meksiko mengambil alih posisi China sebagai mitra dagang terbesar AS untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir seiring memburuknya hubungan ekonomi. Meski begitu, Biden tetap berusaha mempertahankan hubungan stabil dengan Beijing.

Melansir dari Aljazeera, penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengatakan, menjelang pertemuan di Lima, Peru, Xi dan Biden akan mendiskusikan transisi Gedung Putih dan perlunya sikap tenang dari kedua belah pihak dalam periode tersebut.



Dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun ini, Trump telah mengancam akan memberlakukan tarif 60% untuk semua impor China ke AS. Berikut gambaran bagaimana hubungan AS-China terus memburuk di bawah kepemimpinan Biden dan apa yang akan terjadi di bawah kepemimpinan Trump 2.0 .

Trump, pada masa pemerintahan pertama, memulai perang dagang dengan China setelah menyalahkan Beijing atas praktik-praktik perdagangan yang dianggap tidak adil, menurutnya berkontribusi pada defisit perdagangan yang besar dan menguntungkan China. Praktik-praktik tersebut, menurut AS, termasuk kerja paksa, pencurian kekayaan intelektual, dan harga rendah yang tidak adil yang merugikan produsen AS. China pun telah lama membantah tuduhan-tuduhan ini.

Sejak Januari 2018, pemerintahan Trump memberlakukan tarif yang lebih tinggi untuk impor China dengan tarif antara 10-25% di bawah Pasal 301 Undang-Undang Perdagangan. Beijing menuduh Washington melakukan proteksionisme nasionalis dan membalas dengan tarif yang lebih tinggi pada impor AS.

Namun, menjelang akhir masa jabatan pertama Trump, kedua negara menyetujui sebuah kesepakatan yang akan membuat Washington mengurangi tarif pada beberapa barang. Sebagai gantinya, China berkomitmen untuk meningkatkan hak kekayaan intelektual dan juga membeli tambahan barang AS senilai USD200 miliar di atas level tahun 2017 pada akhir 2021.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1822 seconds (0.1#10.140)