Anggota DPR: Garuda Indonesia Butuh Dana Segar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Maskapai Garuda Indonesia ikut terdampak akibat wabah virus corona yang melanda Indonesia. Untuk itu, pemerintah dan manajemen Garuda diminta hati-hati menerapkan solusi dan kebijakan untuk menyelamatkan maskapai kebanggaan Indonesia tersebut.
Hal itu telah disampaikan Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus saat rapat dengar pendapat antara DPR dengan direksi Garuda beberapa waktu lalu. Menurut Deddy, direksi merasa perusahaan kesulitan melangsungkan hidup, karena biaya operasional yang cukup tinggi dan beban utang yang harus dibayar perusahaan.
"Direksi memang bisa menjabarkan strategi perusahaan untuk memotong ongkos produksi, tapi ini efeknya jangka panjang. Garuda Indonesia perlu darah (fresh fund) saat ini untuk menambal biaya operasional harian dan untuk melunasi utang," kata Deddy, Sabtu (2/5/2020).
Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu menyampaikan, berdasarkan keterangan direksi Garuda Indonesia, operasional tertinggi adalah biaya sewa pesawat. Cara yang mungkin ditempuh untuk mengurangi beban itu adalah negosiasi ulang dengan lessor (aircraft leasing company), mengembalikan sebagian pesawat dengan utilisasi rendah, atau menjual pesawat yang tidak cocok untuk pasar Indonesia.
"Lalu bagaimana dengan biaya kelangsungan hidup Garuda sampai akhir tahun ini, ketika operasi masih belum pulih karena pandemi Covid-19? Bagaimana dengan pembayaran utang yang jatuh tempo? Bukankah dua hal ini bisa mematikan Garuda dalam seketika?" ujarnya.
Deddy menjabarkan tiga opsi yang disiapkan direksi untuk melunasi utang yang jatuh tempo awal Juni 2020. Pertama, mencari pinjaman dari bank (terutama bank pelat merah); kedua, memperpanjang jatuh tempo utang; dan ketiga, membayar utang dengan diskon.
Deddy mengatakan, jika melihat dari opsi yang ditawarkan pihak direksi, maka yang paling rasional adalah mencari pinjaman ke bank BUMN untuk membayar beban tersebut.
Namun, imbuh dia, saat memilih opsi mencari pincaman dari bank pelat merah, harus diantisipasi jangan sampai menjadi biaya tinggi bagi Garuda Indonesia dan risiko tinggi bagi bank pelat merah. Selain itu, kata dia, untuk itu masih tetap diperlukan jaminan pemerintah.
"Manajemen Garuda dan Kementerian BUMN harus sangat hati-hati mencari solusi masalah ini. Banyak risiko yang bisa mengganggu likuiditas bank pelat merah, bisa merusak reputasi Garuda bahkan BUMN lain, dan bisa merusak rupiah bahkan kredibilitas negara," tandasnya.
Hal itu telah disampaikan Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus saat rapat dengar pendapat antara DPR dengan direksi Garuda beberapa waktu lalu. Menurut Deddy, direksi merasa perusahaan kesulitan melangsungkan hidup, karena biaya operasional yang cukup tinggi dan beban utang yang harus dibayar perusahaan.
"Direksi memang bisa menjabarkan strategi perusahaan untuk memotong ongkos produksi, tapi ini efeknya jangka panjang. Garuda Indonesia perlu darah (fresh fund) saat ini untuk menambal biaya operasional harian dan untuk melunasi utang," kata Deddy, Sabtu (2/5/2020).
Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu menyampaikan, berdasarkan keterangan direksi Garuda Indonesia, operasional tertinggi adalah biaya sewa pesawat. Cara yang mungkin ditempuh untuk mengurangi beban itu adalah negosiasi ulang dengan lessor (aircraft leasing company), mengembalikan sebagian pesawat dengan utilisasi rendah, atau menjual pesawat yang tidak cocok untuk pasar Indonesia.
"Lalu bagaimana dengan biaya kelangsungan hidup Garuda sampai akhir tahun ini, ketika operasi masih belum pulih karena pandemi Covid-19? Bagaimana dengan pembayaran utang yang jatuh tempo? Bukankah dua hal ini bisa mematikan Garuda dalam seketika?" ujarnya.
Deddy menjabarkan tiga opsi yang disiapkan direksi untuk melunasi utang yang jatuh tempo awal Juni 2020. Pertama, mencari pinjaman dari bank (terutama bank pelat merah); kedua, memperpanjang jatuh tempo utang; dan ketiga, membayar utang dengan diskon.
Deddy mengatakan, jika melihat dari opsi yang ditawarkan pihak direksi, maka yang paling rasional adalah mencari pinjaman ke bank BUMN untuk membayar beban tersebut.
Namun, imbuh dia, saat memilih opsi mencari pincaman dari bank pelat merah, harus diantisipasi jangan sampai menjadi biaya tinggi bagi Garuda Indonesia dan risiko tinggi bagi bank pelat merah. Selain itu, kata dia, untuk itu masih tetap diperlukan jaminan pemerintah.
"Manajemen Garuda dan Kementerian BUMN harus sangat hati-hati mencari solusi masalah ini. Banyak risiko yang bisa mengganggu likuiditas bank pelat merah, bisa merusak reputasi Garuda bahkan BUMN lain, dan bisa merusak rupiah bahkan kredibilitas negara," tandasnya.
(fai)