Fleksibilitas Skema Kontrak Migas Akan Berlaku Tahun Ini

Minggu, 12 Januari 2020 - 16:43 WIB
Fleksibilitas Skema Kontrak Migas Akan Berlaku Tahun Ini
Fleksibilitas Skema Kontrak Migas Akan Berlaku Tahun Ini
A A A
JAKARTA - Pemerintah memutuskan memberikan keleluasaan bagi investor hulu minyak dan gas bumi (migas) untuk memilih skema bagi hasil cost recovery (Production Sharing Contract/PSC), ataupun gross split pada lelang wilayah kerja tahun ini. Fleksibilitas kontrak tersebut diharapkan mampu meningkatkan investasi di sektor hulu migas.

"Sudah bisa dua skema kontrak migas tapi kami lagi benahi dulu terkait cost recovery. Kami benahi yang kiranya kurang pas," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, di Jakarta, Minggu (12/1/2020).

Menurut dia, evaluasi terhadap mekanisme cost recovery dilakukan sebelum lelang perdana wilayah kerja migas pada 2020 ditawarkan kepada calon investor. Rencananya lelang wilayah kerja migas tahap pertama tahun ini akan dilaksanakan pada kuartal I/2020.

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Djoko Siswanto, mengatakan kajian skema diberlakukannya skema kontrak cost recovery sedang di evaluasi oleh tim dari Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, Badan Geologi Kementerian ESDM, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Pihaknya berharap kehadiran skema kontrak cost recovery dapat meningkatkan minat mengikuti lelang wilayah kerja migas tahun ini.

Tidak hanya itu, opsi fleksibilitas kontrak yang ditawarkan pemerintah diharapkan mampu menarik investasi blok-blok migas tahun lalu yang belum laku dilelang. Seperti diketahui lelang wilayah kerja tahap III yang diselenggarakan Kementerian ESDM pada Juli tahun lalu sepi peminat. Bahkan, selama lelang digelar hanya ada empat perusahaan yang mengakses dokumen lelang.

"Tahun kemarin kan, kami pakai gross split. Jadi tahun ini sedang kita kaji. Kita minta arahan pimpinan apakah pakai gross split atau cost recovery atau keduanya," jelasnya.

Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA), Louise McKenzie, sebelumnya telah menyambut positif rencana pemerintah memberikan keleluasaan bagi investor hulu migas untuk memilih skema bagi hasil migas.

"Fleksibiltas kontrak merupakan langkah tepat untuk membangun pondasi yang lebih baik bagi investor. Tapi tentunya perlu duduk bersama untuk memahami lebih lanjut terkait rencana tersebut," ujar dia.

Menurut dia, keleluasaan memilih skema bagi hasil tersebut penting diterapkan karena setiap proyek hulu migas memiliki risiko yang berbeda-beda. Meski demikian, pihaknya masih akan mempelajari terkait rencana tersebut bersama Kementerian ESDM supaya sepaham.

"Rencana ini memang sudah kami sarankan sebelumnya. Tapi tentunya kami menunggu kesempatan berdiskusi lebih lanjut sehingga bisa menghasilkan skema kontrak yang tepat," ucapnya.

Pihaknya mengapresiasi berbagai upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi hulu migas, baik itu penyederhanaan aturan dan perizinan, pembukaan data migas dan rencana terkait fleksibilitas kontrak.

Berbagai langkah tersebut diyakini mampu menunjang target pemerintah mewujudkan produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) pada 2030 mendatang. Pasalnya untuk mencapai target tersebut membutuhkan investasi besar.

"Target itu perlu investasi besar dan oleh sebab itu butuh dukungan dari pemerintah. Banyak langkah-langkah yang sudah mulai dijalankan sehingga menciptakan iklim yang lebih baik," kata dia.

Louis mengakui, potensi cadangan migas di Indonesia masih cukup signifikan, bahkan dari berbagai kajian menunjukkan banyak cekungan yang belum dieksplorasi. Sehingga banyak upaya yang bisa di sinergikan antara pemerintah dengan investor.

"Apabila kami bisa bekerjasama pengelolaan risiko secara tepat baik itu terkait kesucian kontrak maupun stabilitas kontrak maka kami dapat bersama-sama membangun sumber daya energi untuk masa depan Indonesia," kata dia.

Pakar energi dari Universitas Tri Sakti sekaligus pendiri ReforMiners Institute, Pri Agung Rakhmanto, menyambut positif fleksibilitas kontrak yang ditawarkan pemerintah. Menurut dia, langkah tersebut dinilai tepat untuk mendorong investasi hulu migas.

Bahkan pemerintah disarankan untuk membuka opsi mengkaji sistem kontrak tax and royalty jika dirasa perlu. "Tax royalty adalah versi asli dari gross split namun lebih sederhana," kata Pri Agung.

Sebagai informasi, sistem kontrak tax and royalty dianggap lebih sederhana karena negara hanya mendapatkan hasil bersih dalam bentuk pajak dan royalti. Sistem tax and royalty dinilai menjadi menarik karena di samping simpel dalam birokrasi pemerintah juga tidak memungut terlalu besar dari royaltinya. Rata-rata royalti hanya sekitar 20% bahkan lebih rendah. Tidak seperti gross split yang base split pemerintah untuk minyak sudah sebesar 57%.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8472 seconds (0.1#10.140)