Tiga Faktor Ini yang Bikin Pertamina Merugi Rp11 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - PT Pertamina (Persero) tercatat mengalami kerugian sekitar Rp11 triliun pada semester I/2020. Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan, ada tiga penyebab utama kerugian yang dialami Pertamina hingga pertengahan tahun ini.
Pertama, penjualan perusahaan yang mengalami penurunan yang cukup besar akibat pandemi Covid-19. Penurunan penjualan secara signifikan terjadi pada kuartal II/2020.
"Bulan April itu posisi penurunan terdalam. Pandemi Covid-19 ini signifikan sekali penurunan demand menyebabkan revenue sangat terdampak. Jadi berapa pun crude price sangat rendah dan juga karena demand tidak ada, tidak berdampak pada revenue kita," ujarnya pada rapat kerja bersama DPR di Jakarta, Senin (31/8/2020). (Baca: Balikkan Kinerja Jadi Untung, Pertamina Tak Bisa cuma Abrakadabra )
Namun dari sisi sales bulan April ke Mei sudah ada peningkatan. Menurut Emma, dari bulan Mei ke Juni sudah ada peningkatan sekitar 7% dan pada bulan Juli sudah meningkat 5%.
"Ini terlihat tren sudah mulai positif meski dibandingkan posisi Juni 2019 menurun tajam 26% ke April. Terlihat Mei, Juni, Juli sudah ada tren positif terhadap peningkatan sells," jelasnya. (Baca juga: Trump Sebut Shinzo Abe PM Terhebat dalam Sejarah Jepang )
Emma melanjutkan, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga berdampak signifikan di mana pada akhir tahun lalu rupiah berada pada posisi Rp13.900 per dolar AS dan relatif stabil dibanding pada kuartal kedua tahun 2020.
"Memasuki kuartal kedua kurs itu sangat fluktuatif. Pertamina terdampak sekali karena buku kita dalam dolar AS, sementara revenue dalam rupiah. Belanja crude dalam dolar. Jadi dari revenue turun dan selisih kurs kita sangat terdampak sekali," ungkapnya. (Baca juga: Pemakaian Minyak Goreng Tentukan Kesehatan Keluarga Indonesia )
Emma menuturkan, faktor lainnya adalah pelemahan ICP. Di satu sisi hilir berdampak namun sebenarnya tidak karena ada penurunan konsumsi BBM dan juga avtur sementara stok masih banyak.
"Jadi menumpuk barang. Kita tidak enjoy dengan penurunan harga ICP. Sementara kilang kita masih konsumsi harga crude yang lebih mahal, mungkin 2-3 bulan ke belakang," tuturnya.
Pertama, penjualan perusahaan yang mengalami penurunan yang cukup besar akibat pandemi Covid-19. Penurunan penjualan secara signifikan terjadi pada kuartal II/2020.
"Bulan April itu posisi penurunan terdalam. Pandemi Covid-19 ini signifikan sekali penurunan demand menyebabkan revenue sangat terdampak. Jadi berapa pun crude price sangat rendah dan juga karena demand tidak ada, tidak berdampak pada revenue kita," ujarnya pada rapat kerja bersama DPR di Jakarta, Senin (31/8/2020). (Baca: Balikkan Kinerja Jadi Untung, Pertamina Tak Bisa cuma Abrakadabra )
Namun dari sisi sales bulan April ke Mei sudah ada peningkatan. Menurut Emma, dari bulan Mei ke Juni sudah ada peningkatan sekitar 7% dan pada bulan Juli sudah meningkat 5%.
"Ini terlihat tren sudah mulai positif meski dibandingkan posisi Juni 2019 menurun tajam 26% ke April. Terlihat Mei, Juni, Juli sudah ada tren positif terhadap peningkatan sells," jelasnya. (Baca juga: Trump Sebut Shinzo Abe PM Terhebat dalam Sejarah Jepang )
Emma melanjutkan, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga berdampak signifikan di mana pada akhir tahun lalu rupiah berada pada posisi Rp13.900 per dolar AS dan relatif stabil dibanding pada kuartal kedua tahun 2020.
"Memasuki kuartal kedua kurs itu sangat fluktuatif. Pertamina terdampak sekali karena buku kita dalam dolar AS, sementara revenue dalam rupiah. Belanja crude dalam dolar. Jadi dari revenue turun dan selisih kurs kita sangat terdampak sekali," ungkapnya. (Baca juga: Pemakaian Minyak Goreng Tentukan Kesehatan Keluarga Indonesia )
Emma menuturkan, faktor lainnya adalah pelemahan ICP. Di satu sisi hilir berdampak namun sebenarnya tidak karena ada penurunan konsumsi BBM dan juga avtur sementara stok masih banyak.
"Jadi menumpuk barang. Kita tidak enjoy dengan penurunan harga ICP. Sementara kilang kita masih konsumsi harga crude yang lebih mahal, mungkin 2-3 bulan ke belakang," tuturnya.
(ind)