Agenda BRICS Indonesia: Ini Alasan Kebijakan Prabowo Beda dengan Jokowi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keputusan Indonesia untuk mengejar keanggotaan resmi BRICS menandakan bahwa kebijakan luar negeri Presiden Prabowo Subianto berbeda dengan Jokowi. Selama dua periode pemerintahan Jokowi, mantan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memimpin upaya-upaya untuk mengintegrasikan ekonomi Indonesia dengan lembaga-lembaga Barat dengan berupaya mendapatkan keanggotaan di OECD.
Karena BRICS merupakan alternatif dari organisasi-organisasi yang didominasi Barat, banyak pengamat yang mencermati dan mempertanyakan komitmen non-blok Indonesia. Namun, Menteri Luar Negeri Sugiono berargumen bahwa BRICS sejalan dengan kebijakan luar negeri Indonesia 'bebas dan aktif' yang memungkinkan Indonesia untuk berkolaborasi secara luas tanpa harus terlalu dekat dengan satu blok.
"Bergabung dengan BRICS berarti membuka jalan untuk memajukan tujuan-tujuan pemerintah baru dalam hal ketahanan pangan, kemandirian energi, pengentasan kemiskinan, dan pengembangan sumber daya manusia," ujar Sugiono, dikutip dari The Conversation, Senin (23/12/2024).
Blok ini menawarkan akses ke pendanaan, teknologi, dan peluang perdagangan untuk mengatasi tantangan-tantangan utama di sektor-sektor tersebut. BRICS, dengan penekanannya pada keadilan dan kerja sama mendukung visi Indonesia untuk masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pergeseran dari fokus OECD ke pendekatan BRICS mencerminkan setidaknya dua visi.
Pertama, Indonesia berusaha untuk menilai kembali posisi strategisnya sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Kedua, Indonesia berusaha untuk beralih dari sikap non-blok menjadi multi-blok. Hal ini akan membantu menavigasi kemitraan dengan negara maju dan negara berkembang, menyeimbangkan aliansi tradisional dengan peluang-peluang baru.
Bergabung dengan BRICS dapat memperkuat pengaruh Indonesia dalam hubungan yang sudah kuat dengan masing-masing negara anggota dan membuka peluang di luar kemitraan satu lawan satu.
Tekanan Regional
Peralihan Indonesia ke BRICS mencerminkan hubungan baik dengan negara-negara besar, seperti China dan Amerika Serikat untuk menghindari tekanan regional. Negara-negara tetangga, Malaysia dan Thailand, baru-baru ini menyatakan ketertarikan mereka untuk bergabung dengan BRICS, yang menciptakan rasa persaingan di Asia Tenggara.
Bergabungnya kedua negara ini ke dalam blok tersebut dapat mengikis kepemimpinan dan pengaruh Indonesia di kawasan ini, terutama dalam mempengaruhi urusan global.
Melalui ASEAN, Indonesia telah berusaha untuk bertindak sebagai stabilisator dan mediator regional di tengah meningkatnya polarisasi antara Barat dan China.
Baca Juga: Sekutu Terus Tergerus, Sampai Kapan Iran Akan Bertahan?
Sebagai pemimpin de facto ASEAN, Indonesia secara historis telah memperjuangkan inisiatif-inisiatif seperti Kode Etik Laut Cina Selatan dan proses perdamaian Myanmar. Kepresidenannya di G20 semakin menegaskan perannya sebagai mediator antara kekuatan-kekuatan global. Tak ingin tertingal ini telah mendorong minat Indonesia untuk bergabung dengan BRICS.
Bergabung dengan BRICS lebih awal dari negara-negara lain di kawasan ini memastikan bahwa Indonesia mempertahankan posisi kepemimpinannya di ASEAN. Bagi pemerintahan Prabowo, BRICS menawarkan sebuah platform untuk memajukan kepentingan Indonesia dalam hal keamanan maritim, pertumbuhan ekonomi, dan tata kelola global.
Ini adalah langkah strategis di luar keputusan ekonomi untuk memperkuat suaranya dalam isu-isu global dan mencegah sesama negara Asia Tenggara menyalipnya dalam membentuk agenda blok tersebut.
Langkah Indonesia
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS menandai evolusi yang signifikan dalam kebijakan luar negeri. Dengan berpartisipasi dalam BRICS, Indonesia memposisikan diri sebagai pemain penting dalam diskusi global mengenai reformasi ekonomi dan pembangunan, menegaskan suaranya dalam tatanan dunia yang multi-kutub.
Indonesia memetakan jalur yang menyeimbangkan aliansi tradisional dengan peluang-peluang yang muncul, memperkuat perannya sebagai pemain yang dinamis dan independen di panggung dunia.
Langkah ini bukan berarti OECD tidak mungkin untuk Indonesia. Sebaliknya, pendekatan Prabowo mencerminkan strategi jalur ganda yang menghargai kedua aliansi untuk keuntungan masing-masing.
OECD tetap menjadi tujuan jangka panjang untuk meningkatkan tata kelola ekonomi Indonesia dan standar regulasi. Hal ini bertujuan untuk memberikan Indonesia hubungan yang stabil dalam kerangka ekonomi Barat. Sementara itu, BRICS menawarkan jalan langsung bagi Indonesia untuk memperdalam hubungan dengan negara-negara yang ekonominya setara dan secara aktif membentuk kebijakan yang berdampak pada negara-negara di belahan dunia Selatan.
Pernyataan Sugiono di Kazan, menekankan komitmen Indonesia untuk terlibat dalam forum-forum lain, termasuk diskusi G20 dan OECD. Pernyataan tersebut menyoroti fleksibilitas Indonesia dalam aliansi internasional.
Strategi jalur ganda ini memperkuat peran Indonesia sebagai jembatan antara negara maju dan negara berkembang, memaksimalkan manfaat dari kedua aliansi tersebut tanpa mengorbankan otonomi Indonesia.
Karena BRICS merupakan alternatif dari organisasi-organisasi yang didominasi Barat, banyak pengamat yang mencermati dan mempertanyakan komitmen non-blok Indonesia. Namun, Menteri Luar Negeri Sugiono berargumen bahwa BRICS sejalan dengan kebijakan luar negeri Indonesia 'bebas dan aktif' yang memungkinkan Indonesia untuk berkolaborasi secara luas tanpa harus terlalu dekat dengan satu blok.
"Bergabung dengan BRICS berarti membuka jalan untuk memajukan tujuan-tujuan pemerintah baru dalam hal ketahanan pangan, kemandirian energi, pengentasan kemiskinan, dan pengembangan sumber daya manusia," ujar Sugiono, dikutip dari The Conversation, Senin (23/12/2024).
Blok ini menawarkan akses ke pendanaan, teknologi, dan peluang perdagangan untuk mengatasi tantangan-tantangan utama di sektor-sektor tersebut. BRICS, dengan penekanannya pada keadilan dan kerja sama mendukung visi Indonesia untuk masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pergeseran dari fokus OECD ke pendekatan BRICS mencerminkan setidaknya dua visi.
Pertama, Indonesia berusaha untuk menilai kembali posisi strategisnya sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Kedua, Indonesia berusaha untuk beralih dari sikap non-blok menjadi multi-blok. Hal ini akan membantu menavigasi kemitraan dengan negara maju dan negara berkembang, menyeimbangkan aliansi tradisional dengan peluang-peluang baru.
Bergabung dengan BRICS dapat memperkuat pengaruh Indonesia dalam hubungan yang sudah kuat dengan masing-masing negara anggota dan membuka peluang di luar kemitraan satu lawan satu.
Tekanan Regional
Peralihan Indonesia ke BRICS mencerminkan hubungan baik dengan negara-negara besar, seperti China dan Amerika Serikat untuk menghindari tekanan regional. Negara-negara tetangga, Malaysia dan Thailand, baru-baru ini menyatakan ketertarikan mereka untuk bergabung dengan BRICS, yang menciptakan rasa persaingan di Asia Tenggara.
Bergabungnya kedua negara ini ke dalam blok tersebut dapat mengikis kepemimpinan dan pengaruh Indonesia di kawasan ini, terutama dalam mempengaruhi urusan global.
Melalui ASEAN, Indonesia telah berusaha untuk bertindak sebagai stabilisator dan mediator regional di tengah meningkatnya polarisasi antara Barat dan China.
Baca Juga: Sekutu Terus Tergerus, Sampai Kapan Iran Akan Bertahan?
Sebagai pemimpin de facto ASEAN, Indonesia secara historis telah memperjuangkan inisiatif-inisiatif seperti Kode Etik Laut Cina Selatan dan proses perdamaian Myanmar. Kepresidenannya di G20 semakin menegaskan perannya sebagai mediator antara kekuatan-kekuatan global. Tak ingin tertingal ini telah mendorong minat Indonesia untuk bergabung dengan BRICS.
Bergabung dengan BRICS lebih awal dari negara-negara lain di kawasan ini memastikan bahwa Indonesia mempertahankan posisi kepemimpinannya di ASEAN. Bagi pemerintahan Prabowo, BRICS menawarkan sebuah platform untuk memajukan kepentingan Indonesia dalam hal keamanan maritim, pertumbuhan ekonomi, dan tata kelola global.
Ini adalah langkah strategis di luar keputusan ekonomi untuk memperkuat suaranya dalam isu-isu global dan mencegah sesama negara Asia Tenggara menyalipnya dalam membentuk agenda blok tersebut.
Langkah Indonesia
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS menandai evolusi yang signifikan dalam kebijakan luar negeri. Dengan berpartisipasi dalam BRICS, Indonesia memposisikan diri sebagai pemain penting dalam diskusi global mengenai reformasi ekonomi dan pembangunan, menegaskan suaranya dalam tatanan dunia yang multi-kutub.
Indonesia memetakan jalur yang menyeimbangkan aliansi tradisional dengan peluang-peluang yang muncul, memperkuat perannya sebagai pemain yang dinamis dan independen di panggung dunia.
Langkah ini bukan berarti OECD tidak mungkin untuk Indonesia. Sebaliknya, pendekatan Prabowo mencerminkan strategi jalur ganda yang menghargai kedua aliansi untuk keuntungan masing-masing.
OECD tetap menjadi tujuan jangka panjang untuk meningkatkan tata kelola ekonomi Indonesia dan standar regulasi. Hal ini bertujuan untuk memberikan Indonesia hubungan yang stabil dalam kerangka ekonomi Barat. Sementara itu, BRICS menawarkan jalan langsung bagi Indonesia untuk memperdalam hubungan dengan negara-negara yang ekonominya setara dan secara aktif membentuk kebijakan yang berdampak pada negara-negara di belahan dunia Selatan.
Pernyataan Sugiono di Kazan, menekankan komitmen Indonesia untuk terlibat dalam forum-forum lain, termasuk diskusi G20 dan OECD. Pernyataan tersebut menyoroti fleksibilitas Indonesia dalam aliansi internasional.
Strategi jalur ganda ini memperkuat peran Indonesia sebagai jembatan antara negara maju dan negara berkembang, memaksimalkan manfaat dari kedua aliansi tersebut tanpa mengorbankan otonomi Indonesia.
(nng)