Indonesia Punya Pengalaman Buruk dengan Dewan Moneter
loading...
A
A
A
Semangat reformasi di tahun 1998 ikut menodorng lahirnya UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut BI sebagai bank sentral memang didudukan sebagai bank sentral yang independen. Artinya pemerintah tidak dapat ikut campur tangan dalam kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia. Hampir di seluruh negara di dunia independensi bank sentral memang menjadi lembaga yang independen.
Memicu Sentimen Negatif
Seperti diketahui di era Orde Baru, fungsi BI sebagai bank sentral memang belum independen. Bahkan boleh dikatakan, BI saat itu merupakan bagian dari pemerintah.
Melalui UU No.23/1999, Indonesia bercita-cita ingin mnenjadikan BI seperti bank sentralnya Amerika The Federal Reserves alias The Fed. Begitu independenya The Fed, seringkali kebijakannya bertentangan dengan kebijakan Presiden Amerika Serikat. Tak hanya itu, kebijakan The Fed soal suku bunga pun jadi rujukan hampir semua bank sentral dalam penetapan suku bunga di negaranya masing-masing.
Faktanya saat ini memang BI sudah masuk dalam sistem keuangan pemerintah. Setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ( Perppu) No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. BI diperbolehkan membeli SBN atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), maksimal sebesar 25% di pasar perdana.
Itu sebabanya pula kini pergerakan Rupiah cenderung lebih banyak dipenagruhi oleh hasil lelang SBN, ketimbang pergerakan suku bunga. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan di tengah fokus pelaku pasar masih tertuju pada pandemi korona, maka kebijakan perubahan atau tetapnya suku bunga BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) tidak akan banyak berpengaruh terhadap pergerakan rupiah.
Terkait akan dihidupkannya kembali Dewan Moneter Josua Pardede punya pandangan sendiri. Kehadiran bendahara negara (Menteri keuangan) dan satu orang menteri yang membidangi perekonomian dalam Dewan Moneter berpotensi memberikan sentiment negatif pasar keuangan dalam negeri. Imbasnya aliran dana investasi dapat terhambat.
Di Dewan Moneter, menteri sebagai perwakilan pemerintah akan memiliki hak suara pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. ini jelas berdampak pada independensi BI dan selanjutnya berpotensi memberikan sinyal atau sentiment yang kurang positif di pasar keuangan. Sehingga dapat mengganggu aliran investasi.
Selama ini pelaku pasar termasuk investor asing telah mempercayai independensi BI dalam mengawal stabilitas nilai tukar rupiah dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, kepercayaan pelaku pasar dapat saja sirna akibat keterlibatan menteri selaku wakil pemerintah yang juga memiliki hak voting dalam RDG.
Untuk kordinasi antara pemerintah (kementerian keuangan), OJK dan LPS dan BI saat ini sudah ada dalam bentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Untuk memperkuat koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal dapat memperkuat forum KSSK ini.
Memicu Sentimen Negatif
Seperti diketahui di era Orde Baru, fungsi BI sebagai bank sentral memang belum independen. Bahkan boleh dikatakan, BI saat itu merupakan bagian dari pemerintah.
Melalui UU No.23/1999, Indonesia bercita-cita ingin mnenjadikan BI seperti bank sentralnya Amerika The Federal Reserves alias The Fed. Begitu independenya The Fed, seringkali kebijakannya bertentangan dengan kebijakan Presiden Amerika Serikat. Tak hanya itu, kebijakan The Fed soal suku bunga pun jadi rujukan hampir semua bank sentral dalam penetapan suku bunga di negaranya masing-masing.
Faktanya saat ini memang BI sudah masuk dalam sistem keuangan pemerintah. Setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ( Perppu) No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. BI diperbolehkan membeli SBN atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), maksimal sebesar 25% di pasar perdana.
Itu sebabanya pula kini pergerakan Rupiah cenderung lebih banyak dipenagruhi oleh hasil lelang SBN, ketimbang pergerakan suku bunga. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan di tengah fokus pelaku pasar masih tertuju pada pandemi korona, maka kebijakan perubahan atau tetapnya suku bunga BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) tidak akan banyak berpengaruh terhadap pergerakan rupiah.
Terkait akan dihidupkannya kembali Dewan Moneter Josua Pardede punya pandangan sendiri. Kehadiran bendahara negara (Menteri keuangan) dan satu orang menteri yang membidangi perekonomian dalam Dewan Moneter berpotensi memberikan sentiment negatif pasar keuangan dalam negeri. Imbasnya aliran dana investasi dapat terhambat.
Di Dewan Moneter, menteri sebagai perwakilan pemerintah akan memiliki hak suara pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. ini jelas berdampak pada independensi BI dan selanjutnya berpotensi memberikan sinyal atau sentiment yang kurang positif di pasar keuangan. Sehingga dapat mengganggu aliran investasi.
Selama ini pelaku pasar termasuk investor asing telah mempercayai independensi BI dalam mengawal stabilitas nilai tukar rupiah dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, kepercayaan pelaku pasar dapat saja sirna akibat keterlibatan menteri selaku wakil pemerintah yang juga memiliki hak voting dalam RDG.
Untuk kordinasi antara pemerintah (kementerian keuangan), OJK dan LPS dan BI saat ini sudah ada dalam bentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Untuk memperkuat koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal dapat memperkuat forum KSSK ini.