Indonesia Punya Pengalaman Buruk dengan Dewan Moneter

Rabu, 02 September 2020 - 15:23 WIB
loading...
Indonesia Punya Pengalaman...
Dewan Moneter Membuat BI tidak Independen. Foto: SINDONews
A A A
JAKARTA - Seakan menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati, begitulah gambaran dari Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR RI) yang mengusulkan untuk kembali membentuk Dewan Moneter. Usulan tersebut muncul saat Baleg DPR RI tengah menyusun draf Revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI).

Dewan Moneter sebenarnya memang pernah ada pada sistem pengelolan keuangan di negeri ini. Dewan ini pernah muncul di jaman Orde Lama, dan berperan sebagai salah satu pimpinan dari Bank Indonesia (BI) saat itu.

Jadi saat itu berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia. Bank sentral alias Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi dan Dewan Penasihat. Di tangan Dewan Moneter inilah, kebijakan moneter ditetapkan. Artinya, bank sentral saat itu bekerja di bawah pemerintah.

Hampir mirip dengan Dewan Moneter di masa Orde Lama, Dewan Moneter yang diusulkan oleh Baleg DPR RI, akan berposisi di atas BI dan diketuai oleh Menteri Keuangan. Adapun Dewan Moneter nantinya akan berisi lima anggota. Yakni, (1) Menteri Keuangan sebagai ketua dewan,(2) Satu orang menteri yang membidangi perekonomian,(3) Gubernur BI, (4) Deputi Gubernur Senior BI, serta (5) Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Baca juga: Ditunjuk DPR Jadi Ketua Dewan Moneter, Ini Kata Sri Mulyani

Dewan Moneter bertugas membantu Pemerintah dan Bank Indonesia dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter. Tugas Dewan Moneter memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian. Baca juga: Rencana Pembentukan Dewan Moneter Dianggap Sebagai Bentuk Kepanikan

Usulan dari Baleg DPR RI ini tak pelak memicu pro kontra. Mereka yang kontra menyuarakan bila usulan Dewan Moneter ini dibentuk maka pengelolaan moneter di negeri ini bakal mundur 60 tahun. Bank Indonesia sebagai bank sentral tidak lagi independen, karena kedudukannya berada di bawah dewan ini.

Mereka yang pro, menyatakan usukan Dewan Moneter ini merupakan langkah extraordinary dalam menghadapi resesi ekonomi global. Semua negara di dunia saat ini tengah mengalami tekanan ekonomi yang kuat. Hingga saat ini sudah 42 negara yang positif masuk jurang resesi.

Banyak pengamat menilai resesi ekonomi akibat pandemi ini akan membawa dampak yang lebih parah dibandingkan resesi ekonomi global pada tahun 1930-an. Sehingga memang masing-masing negara perlu mealkukan upaya yang luar biasa untuk memulihkan kondisi perekonomiannya.

Peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai rencana memunculkan kembali Dewan Moneter berkaitan dengan tujuan pemerintah yang ingin otoritas moneter mendukung pelebaran defisit anggaran.

Menurutnya, BI sebelumnya independen dan tidak bisa membeli SBN (Surat Berharga Negara) di pasar primer. Nah sekarang ingin diubah agar BI bisa langsung menambal defisit pemerintah dengan beli surat utang negara.

Semangat reformasi di tahun 1998 ikut menodorng lahirnya UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut BI sebagai bank sentral memang didudukan sebagai bank sentral yang independen. Artinya pemerintah tidak dapat ikut campur tangan dalam kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia. Hampir di seluruh negara di dunia independensi bank sentral memang menjadi lembaga yang independen.

Memicu Sentimen Negatif

Seperti diketahui di era Orde Baru, fungsi BI sebagai bank sentral memang belum independen. Bahkan boleh dikatakan, BI saat itu merupakan bagian dari pemerintah.

Melalui UU No.23/1999, Indonesia bercita-cita ingin mnenjadikan BI seperti bank sentralnya Amerika The Federal Reserves alias The Fed. Begitu independenya The Fed, seringkali kebijakannya bertentangan dengan kebijakan Presiden Amerika Serikat. Tak hanya itu, kebijakan The Fed soal suku bunga pun jadi rujukan hampir semua bank sentral dalam penetapan suku bunga di negaranya masing-masing.

Faktanya saat ini memang BI sudah masuk dalam sistem keuangan pemerintah. Setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ( Perppu) No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. BI diperbolehkan membeli SBN atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), maksimal sebesar 25% di pasar perdana.

Itu sebabanya pula kini pergerakan Rupiah cenderung lebih banyak dipenagruhi oleh hasil lelang SBN, ketimbang pergerakan suku bunga. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan di tengah fokus pelaku pasar masih tertuju pada pandemi korona, maka kebijakan perubahan atau tetapnya suku bunga BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) tidak akan banyak berpengaruh terhadap pergerakan rupiah.

Terkait akan dihidupkannya kembali Dewan Moneter Josua Pardede punya pandangan sendiri. Kehadiran bendahara negara (Menteri keuangan) dan satu orang menteri yang membidangi perekonomian dalam Dewan Moneter berpotensi memberikan sentiment negatif pasar keuangan dalam negeri. Imbasnya aliran dana investasi dapat terhambat.

Di Dewan Moneter, menteri sebagai perwakilan pemerintah akan memiliki hak suara pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. ini jelas berdampak pada independensi BI dan selanjutnya berpotensi memberikan sinyal atau sentiment yang kurang positif di pasar keuangan. Sehingga dapat mengganggu aliran investasi.

Selama ini pelaku pasar termasuk investor asing telah mempercayai independensi BI dalam mengawal stabilitas nilai tukar rupiah dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, kepercayaan pelaku pasar dapat saja sirna akibat keterlibatan menteri selaku wakil pemerintah yang juga memiliki hak voting dalam RDG.

Untuk kordinasi antara pemerintah (kementerian keuangan), OJK dan LPS dan BI saat ini sudah ada dalam bentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Untuk memperkuat koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal dapat memperkuat forum KSSK ini.

Apalagi Indonsia punya pengalaman buruk terhadap kehadiran Dewan Moneter yang mengakibatkan bank sentral (BI) tidak independen. Inflasi jadi tidak terkendali sehingga terjadilah hyperinflasi, inflasi diatas 100% dalam kurun waktu 1962-1965. Kekacauan ekonomi pun melanda, sehingga pada Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai rupiah (sanering) dari 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah.

Kekacuan di sektor ekonomi ini merembet ke urusan politik hingga keamanan dalam negeri. Muncullah isu adanya Dewan Jenderal yang bakal mengambil alih kekuasan pemerintahan. hal ini kemudian memicu terjadinya peristiwa G30SPKI. Pemerintahan Orde Lama pun tumbang secara tragis. Semoga peristiwa kelam tersebut tidak kembali lagi terulang di masa depan.
(eko)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1751 seconds (0.1#10.140)