ALFI: Tanpa Stimulus, Sektor Logistik Terancam Kolaps
loading...
A
A
A
JAKARTA - Imbas pandemi Covid-19 telah memorakporandakan sendi-sendi perekonomian dan sektor usaha di Indonesia, termasuk di bidang usaha logistik . Kendati demikian, mayoritas pengusaha logistik nasional mengaku belum mendapatkan perhatian pemerintah berupa stimulus maupun fasilitas keringanan kredit, baik berupa perpanjangan waktu maupun pengurangan suku bunga kredit usaha.
Berdasarkan rilis hasil survei yang dilaksanakan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) terhadap perusahaan logistik dan forwarder di Indonesia, anggota asosiasi itu menyebutkan terdapat 77,7% responden yang menyatakan tidak atau belum menerima fasilitas keringanan kredit usaha maupun relaksasi di sektor tersebut.
(Baca Juga: Tak Kompetitif, Pemerintah Ingin Biaya Logistik Ditekan Jadi 17% PDB)
Survei yang melibatkan sebanyak 1.256 responden perusahaan logistik itu dilaksanakan oleh DPP ALFI berkaitan dengan dampak Pandemi Covid-19 saat ini terhadap sektor usaha logistik.
Adapun dari jumlah yang dilakukan survei tersebut, sebanyak 9,2% responden menyatakan telah mendapatkan fasilitas perpanjangan waktu kredit atau relaksasi usaha. Sedangkan sisanya menyatakan menerima keringanan suku bunga dan masih dalam proses.
Survei tersebut telah dilakukan sejak awal bulan Agustus 2020 dan berlangsung selama satu bulan. Adapun saat ini ALFI beranggotakan sebanyak 3.412 perusahaan yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Dari jumlah itu, terdapat 291 merupakan PMA (joint venture) dan selebihnya adalah perusahaan nasional.
Hasil survei itu juga menyebutkan, kemampuan bertahan perusahaan logistik di Indonesia jika pandemi Covid-19 terus berlangsung, cukup bervariasi. Sebanyak 12,6% responden menyatakan hanya sanggup bertahan kurang dari tiga bulan ke depan dan hanya 35,4% responden yang menyatakan sanggup bertahan 3-6 bulan ke depan, serta 51,9% responden menyatakan mampu bertahan dalam kurun waktu 6-12 bulan ke depan.
Survei ALFI
Dari 1.256 responden itu juga menyatakan bahwa selama masa pandemi Covid-19 hingga sekarang ini, sebanyak 95,6% responden menyatakan pendapatan usahanya mengalami penurunan, dan hanya 4,4% responden saja mengaku pendapatan usahanya mengalami kenaikan ataupun tetap.
Kendati begitu, hasil survei ALFI juga menunjukkan belum terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) berskala besar-besaran di sektor usaha logistik nasional tersebut.
Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, usaha logistik yang masih bisa bertahan bahkan cenderung naik selama masa pandemi Covid-19, yakni jasa logistik e-commerce, jasa angkutan barang kiriman (courier service), jasa pergudangan bahan pokok dan barang ritel, serta jasa layanan logistik betkaitan dengan transaksi business to consumer (B to C) dan consumer to consumer (C to C).
Dia menegaskan, seluruh perusahaan anggota ALFI telah mematuhi protokol kesehatan dalam berkegiatan usahanya guna memutus perkembangan Covid-19. Bahkan, saat diberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di terapkan di oleh sejumlah wilayah/provinsi dalam rangka menekan penularan pandemi itu.
Namun, imbuhnya, imbas penetapan PSBB juga memengaruhi sebagian industri harus terhenti seperti manufatur automotif, elektronik, tekstil dan sejenisnya akibat terhentinya pasokan bahan baku impor serta terganggunya penjualan ekspor ke beberapa negara.
"Hal ini berdampak pada kegiatan logistik penunjang industri itu meskipun ada kebijakan pengecualian," ujar Yukki, melalui keterangan pers, Kamis (24/9/2020).
(Baca Juga: Masih Ada Celah Bertahan dan Berinovasi di Sektor Logistik Masa Pandemi)
Dia mengatakan, selama masa Pandemi Covid-19, aktivitas logistik juga mengalami hambatan cukup serius. Berdasarkan hasil survei yang dirilis ALFI yang melibatkan 1.256 responden itu menyebutkan, sebanyak 52,9% responden menyatakan mengalami hambatan pengurusan dan pengiriman barang, dan 47,1% menyatakan tidak mengalami hambatan.
Adapun hambatan terjadi di pelabuhan dan bandar udara sebanyak 41,5%, hambatan di jalan raya 21,1% serta hambatan yang menyangkut perizinan dan biaya tambahan 37,4%.
Yukki mengemukakan, asosiasinya akan menyampaikan hasil survei tersebut kepada pemerintah melalui instansi terkait guna sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan fiskal, moneter, perdagangan dan perindustrian maupun kebijakan lainnya.
Berdasarkan rilis hasil survei yang dilaksanakan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) terhadap perusahaan logistik dan forwarder di Indonesia, anggota asosiasi itu menyebutkan terdapat 77,7% responden yang menyatakan tidak atau belum menerima fasilitas keringanan kredit usaha maupun relaksasi di sektor tersebut.
(Baca Juga: Tak Kompetitif, Pemerintah Ingin Biaya Logistik Ditekan Jadi 17% PDB)
Survei yang melibatkan sebanyak 1.256 responden perusahaan logistik itu dilaksanakan oleh DPP ALFI berkaitan dengan dampak Pandemi Covid-19 saat ini terhadap sektor usaha logistik.
Adapun dari jumlah yang dilakukan survei tersebut, sebanyak 9,2% responden menyatakan telah mendapatkan fasilitas perpanjangan waktu kredit atau relaksasi usaha. Sedangkan sisanya menyatakan menerima keringanan suku bunga dan masih dalam proses.
Survei tersebut telah dilakukan sejak awal bulan Agustus 2020 dan berlangsung selama satu bulan. Adapun saat ini ALFI beranggotakan sebanyak 3.412 perusahaan yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Dari jumlah itu, terdapat 291 merupakan PMA (joint venture) dan selebihnya adalah perusahaan nasional.
Hasil survei itu juga menyebutkan, kemampuan bertahan perusahaan logistik di Indonesia jika pandemi Covid-19 terus berlangsung, cukup bervariasi. Sebanyak 12,6% responden menyatakan hanya sanggup bertahan kurang dari tiga bulan ke depan dan hanya 35,4% responden yang menyatakan sanggup bertahan 3-6 bulan ke depan, serta 51,9% responden menyatakan mampu bertahan dalam kurun waktu 6-12 bulan ke depan.
Survei ALFI
Dari 1.256 responden itu juga menyatakan bahwa selama masa pandemi Covid-19 hingga sekarang ini, sebanyak 95,6% responden menyatakan pendapatan usahanya mengalami penurunan, dan hanya 4,4% responden saja mengaku pendapatan usahanya mengalami kenaikan ataupun tetap.
Kendati begitu, hasil survei ALFI juga menunjukkan belum terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) berskala besar-besaran di sektor usaha logistik nasional tersebut.
Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, usaha logistik yang masih bisa bertahan bahkan cenderung naik selama masa pandemi Covid-19, yakni jasa logistik e-commerce, jasa angkutan barang kiriman (courier service), jasa pergudangan bahan pokok dan barang ritel, serta jasa layanan logistik betkaitan dengan transaksi business to consumer (B to C) dan consumer to consumer (C to C).
Dia menegaskan, seluruh perusahaan anggota ALFI telah mematuhi protokol kesehatan dalam berkegiatan usahanya guna memutus perkembangan Covid-19. Bahkan, saat diberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di terapkan di oleh sejumlah wilayah/provinsi dalam rangka menekan penularan pandemi itu.
Namun, imbuhnya, imbas penetapan PSBB juga memengaruhi sebagian industri harus terhenti seperti manufatur automotif, elektronik, tekstil dan sejenisnya akibat terhentinya pasokan bahan baku impor serta terganggunya penjualan ekspor ke beberapa negara.
"Hal ini berdampak pada kegiatan logistik penunjang industri itu meskipun ada kebijakan pengecualian," ujar Yukki, melalui keterangan pers, Kamis (24/9/2020).
(Baca Juga: Masih Ada Celah Bertahan dan Berinovasi di Sektor Logistik Masa Pandemi)
Dia mengatakan, selama masa Pandemi Covid-19, aktivitas logistik juga mengalami hambatan cukup serius. Berdasarkan hasil survei yang dirilis ALFI yang melibatkan 1.256 responden itu menyebutkan, sebanyak 52,9% responden menyatakan mengalami hambatan pengurusan dan pengiriman barang, dan 47,1% menyatakan tidak mengalami hambatan.
Adapun hambatan terjadi di pelabuhan dan bandar udara sebanyak 41,5%, hambatan di jalan raya 21,1% serta hambatan yang menyangkut perizinan dan biaya tambahan 37,4%.
Yukki mengemukakan, asosiasinya akan menyampaikan hasil survei tersebut kepada pemerintah melalui instansi terkait guna sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan fiskal, moneter, perdagangan dan perindustrian maupun kebijakan lainnya.
(fai)