Memberdayakan UMKM Berbasis Digital di Kala Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA -
Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
Bantuan pemerintah bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) , hingga akhir September 2020, ditargetkan tak kurang dari Rp22 triliun. Bantuan sejumlah itu digelontorkan bagi sedikitnya 9,16 juta pelaku UMKM yang tersebar di 34 Propinsi, seluruh Indonesia. Keputusan ini dapat dimengerti, di kala pandemi Covid-19, ekonomi jadi sektor yang mengalami krisis ikutan. Ini terjadi setelah krisis kesehatan itu sendiri, dan munculnya letupan-letupan krisis sosial, yang samar-samar mulai menampakkan diri.
Peran strategis UMKM di Indonesia, dapat digambarkan sebagai kelompok pelaku usaha yang memberikan sumbangan sedikitnya 60% produk domestik bruto (PDB) nasional, mampu menyerap 97% tenaga kerja, dan berkontribusi atas 14,17% ekspor nasional (Ainun Najib, SindoNews September, 2020). Dalam realitasnya, bukan peran ekonomi semata yang ditopang UMKM. Kohesivitas sosial turut dipelihara oleh stabilnya kelangsungan usaha kelompok ini. UMKM yang tetap mampu menjalankan fungsinya memutar roda ekonomi, jadi penapis dampak sosial yang timbul oleh keadaan tak menentu.
Suatu keadaan yang terjadi akibat perubahan pola kerja, pengurangan jumlah jam kerja, perumahan karyawan, hingga gelombang PHK yang tak terelakkan. Rentetan itu semua dapat dilacak dari pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), himbuan work from home, social distancing, maupun berbagai kebijakan lainnya. Semua bertujuan agar penularan tak makin merebak. Kelaziman-kelaziman sistem operasi dan produksi di masa pra-pandemi, dipaksa berubah. Sayangnya, tak serta merta cepat dan tepat tergantikan oleh pola baru yang lebih aman dari penularan. Produktivitas yang menurun secara signifikan, jadi keniscayaan. (Baca juga: 2 Pekan PSBB Ketat, Kasus Harian Positif Covid-19 di Jakarta Masih di Atas 1.000 )
Di awal merebaknya pandemi Covid-19, International Labour Organization (ILO), April 2020 lewat rilisnya berjudul "Supporting Small and Medium Enterprises Through the COVID-19 Crisis" telah membaca situasi: wabah Covid-19 telah memukul UMKM dengan keras. UMKM terpengaruh baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
Di sisi penawaran, pelaku usaha mengalami pengurangan pasokan tenaga kerja. Ini terjadi karena pekerja yang tak sehat, pekerja yang memerlukan alokasi waktu khusus untuk menjaga anak, maupun munculnya persoalan lain, saat sekolah tutup. Keadaan ini diperparah oleh pergerakan orang yang dibatasi.
Sedangkan di sisi permintaan, terjadi penurunan konsumsi yang berimplikasi pada turunnya pendapatan UMKM secara dramatis. Perubahan kondisi permintaan dan penawaran ini, memengaruhi kemampuan dan fungsi UMKM. Bahkan, menyebabkan kekurangan likuiditas yang parah. Menyempitnya sirkuit permintaan dan penawaran, tak lepas dari konsumen yang mengalami kehilangan penghasilan, khawatir terhadap penularan, dan situasi ketidakpastian yang meningkat. Semua pada gilirannya mengurangi pengeluaran maupun konsumsi.
Senada dengan itu, Jennifer Bouey, 2020 dalam laporannya yang berjudul Assessment of COVID-19's Impact on Small and Medium-Sized Enterprises: Implications from China, mengilustrasikan UMKM di Cina, sebagaimana kebanyakan negara lain, adalah mesin penggerak ekonomi. Mereka menghasilkan lebih dari 30 juta entitas produk, dan merupakan 99,6 persen dari pelaku usaha China. Sektor ini menyerap 80% tenaga kerja nasional, dengan sumbangan lebih dari 60% terhadap PDB-nya.
Namun ketika pandemi melanda, UMKM lah yang paling menderita. Gambarannya, 30% perusahaan mengalami penurunan pendapatan lebih dari 50%. Sedangkan 28% lainnya melaporkan penurunan 20-50%. Tekanan keuangan, 62,8% terjadi akibat pembayaran gaji dan asuransi karyawan. Sedangkan pembayaran pinjaman adalah penyebab tekanan kedua dan ketiga.
Untungnya, periode terjadinya pandemi Covid-19 yang berpengaruh secara global hari ini, berlangsung di tengah kegairahan pertumbuhan ekosistem digital. Ini juga termasuk yang terjadi di Indonesia. Berbagai kajian yang asyik mengetengahkan soal “disruption”, mengungkap bahwa keniscayaan pengaruh transisi dari industry 3.0 ke industry 4.0, sejatinya merupakan transformasi dari kehidupan analog ke digital. Lazim dikonsepkan sebagai transformasi digital. Itu semua diberdayakan oleh internet, yang ujung dari seluruh proses transformasinya, adalah internet of things. (Baca juga: Akselerasi Digital Bisnis Jadi Solusi di Tengah Pandemi )
Dalam realitasnya, manakala kecepatan adaptasi manusia, yang terbawa oleh kapasitas belajarnya lebih rendah dari kecepatan perubahan teknologi, maka terjadi patahan. Disrupsi. Kurva yang patah, menunjukkan jarak antara liniaritas adaptasi dengan tuntutan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Ini terjadi akibat ekosistem yang diubah oleh teknologi.
Paradoks dari keadaan itu, banyak entitas bisnis, termasuk UMKM yang merasa punya pilihan : segera mengadaptasi, menunda atau menolak perubahan, yang sesungguhnya bukan pilihan. Paradoks makan korban ketika pandemi Covid-19 datang. Ini lengkap beserta kecepatan penularan, dan angka kematiannya yang mencekam. Kelanjutan kehidupan tak bisa berlangsung aman tanpa campur tangan perangkat digital.
Patahan adaptasi transformasi digital memperoleh momentum percepatan tanpa pilihan : beradaptasi atau mati. Itu juga yang terjadi pada UMKM. UMKM yang tanpa dipaksa pandemi Covid-19 telah membangun dan merawat aset digitalnya melenggang nyaman, meniti krisis. Mereka sanggup bertahan, bahkan menikmati pertumbuhan.
Lalu, apakah UMKM yang belum mengadaptasi transformasi digital semata menolak keniscayaan perubahan? Stuart Nash, 2020, Menteri UMKM dan Perikanan, Selandia Baru, dalam uraiannya yang berjudul Big Ideas for Small and Medium Enterprises: Helping SMEs Achieve Digital Transformation, menguraikan kesulitan yang dialami UMKM.
Pelaku usaha kelompok ini belum mengambil manfaat potensial dalam produktivitas dan daya saing, lewat adopsi teknologi digital. Ini terjadi karena berbagai alasan. Di antaranya, UMKM tak selalu dapat mengidentifikasi dengan jelas kebutuhannya. Kelompok ini tak punya pengetahuan, pengalaman, atau sumber daya untuk menerapkan perubahan.
Maka, ketika persoalan suprastruktur yang jadi penghambatnya, pemerintah yang berkepentingan dengan stabilitas ekonomi dan sosial, harus turun tangan. Ini relevan dengan Arnold Pacey, 2014 yang membahas Ethics and Emerging Technologies: seberapa efektif suatu teknologi di dunia tak hanya bergantung pada aspek teknisnya. Tapi juga tergantung pada kecocokan teknologi, dengan konteks sosial dan ekologis tempat teknologi itu diperkenalkan.
Adaptasi teknologi termasuk oleh UMKM, harus memperhatikan aspek budaya dan organisasi teknologi, dalam desain dan implementasinya. Pemerintah perlu punya prakarsa, menerjemahkan tuntutan ini. Alih-alih krisis yang berkepanjangan, akibat UMKM bertumbangan, terimbas pandemi.
Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
Bantuan pemerintah bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) , hingga akhir September 2020, ditargetkan tak kurang dari Rp22 triliun. Bantuan sejumlah itu digelontorkan bagi sedikitnya 9,16 juta pelaku UMKM yang tersebar di 34 Propinsi, seluruh Indonesia. Keputusan ini dapat dimengerti, di kala pandemi Covid-19, ekonomi jadi sektor yang mengalami krisis ikutan. Ini terjadi setelah krisis kesehatan itu sendiri, dan munculnya letupan-letupan krisis sosial, yang samar-samar mulai menampakkan diri.
Peran strategis UMKM di Indonesia, dapat digambarkan sebagai kelompok pelaku usaha yang memberikan sumbangan sedikitnya 60% produk domestik bruto (PDB) nasional, mampu menyerap 97% tenaga kerja, dan berkontribusi atas 14,17% ekspor nasional (Ainun Najib, SindoNews September, 2020). Dalam realitasnya, bukan peran ekonomi semata yang ditopang UMKM. Kohesivitas sosial turut dipelihara oleh stabilnya kelangsungan usaha kelompok ini. UMKM yang tetap mampu menjalankan fungsinya memutar roda ekonomi, jadi penapis dampak sosial yang timbul oleh keadaan tak menentu.
Suatu keadaan yang terjadi akibat perubahan pola kerja, pengurangan jumlah jam kerja, perumahan karyawan, hingga gelombang PHK yang tak terelakkan. Rentetan itu semua dapat dilacak dari pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), himbuan work from home, social distancing, maupun berbagai kebijakan lainnya. Semua bertujuan agar penularan tak makin merebak. Kelaziman-kelaziman sistem operasi dan produksi di masa pra-pandemi, dipaksa berubah. Sayangnya, tak serta merta cepat dan tepat tergantikan oleh pola baru yang lebih aman dari penularan. Produktivitas yang menurun secara signifikan, jadi keniscayaan. (Baca juga: 2 Pekan PSBB Ketat, Kasus Harian Positif Covid-19 di Jakarta Masih di Atas 1.000 )
Di awal merebaknya pandemi Covid-19, International Labour Organization (ILO), April 2020 lewat rilisnya berjudul "Supporting Small and Medium Enterprises Through the COVID-19 Crisis" telah membaca situasi: wabah Covid-19 telah memukul UMKM dengan keras. UMKM terpengaruh baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
Di sisi penawaran, pelaku usaha mengalami pengurangan pasokan tenaga kerja. Ini terjadi karena pekerja yang tak sehat, pekerja yang memerlukan alokasi waktu khusus untuk menjaga anak, maupun munculnya persoalan lain, saat sekolah tutup. Keadaan ini diperparah oleh pergerakan orang yang dibatasi.
Sedangkan di sisi permintaan, terjadi penurunan konsumsi yang berimplikasi pada turunnya pendapatan UMKM secara dramatis. Perubahan kondisi permintaan dan penawaran ini, memengaruhi kemampuan dan fungsi UMKM. Bahkan, menyebabkan kekurangan likuiditas yang parah. Menyempitnya sirkuit permintaan dan penawaran, tak lepas dari konsumen yang mengalami kehilangan penghasilan, khawatir terhadap penularan, dan situasi ketidakpastian yang meningkat. Semua pada gilirannya mengurangi pengeluaran maupun konsumsi.
Senada dengan itu, Jennifer Bouey, 2020 dalam laporannya yang berjudul Assessment of COVID-19's Impact on Small and Medium-Sized Enterprises: Implications from China, mengilustrasikan UMKM di Cina, sebagaimana kebanyakan negara lain, adalah mesin penggerak ekonomi. Mereka menghasilkan lebih dari 30 juta entitas produk, dan merupakan 99,6 persen dari pelaku usaha China. Sektor ini menyerap 80% tenaga kerja nasional, dengan sumbangan lebih dari 60% terhadap PDB-nya.
Namun ketika pandemi melanda, UMKM lah yang paling menderita. Gambarannya, 30% perusahaan mengalami penurunan pendapatan lebih dari 50%. Sedangkan 28% lainnya melaporkan penurunan 20-50%. Tekanan keuangan, 62,8% terjadi akibat pembayaran gaji dan asuransi karyawan. Sedangkan pembayaran pinjaman adalah penyebab tekanan kedua dan ketiga.
Untungnya, periode terjadinya pandemi Covid-19 yang berpengaruh secara global hari ini, berlangsung di tengah kegairahan pertumbuhan ekosistem digital. Ini juga termasuk yang terjadi di Indonesia. Berbagai kajian yang asyik mengetengahkan soal “disruption”, mengungkap bahwa keniscayaan pengaruh transisi dari industry 3.0 ke industry 4.0, sejatinya merupakan transformasi dari kehidupan analog ke digital. Lazim dikonsepkan sebagai transformasi digital. Itu semua diberdayakan oleh internet, yang ujung dari seluruh proses transformasinya, adalah internet of things. (Baca juga: Akselerasi Digital Bisnis Jadi Solusi di Tengah Pandemi )
Dalam realitasnya, manakala kecepatan adaptasi manusia, yang terbawa oleh kapasitas belajarnya lebih rendah dari kecepatan perubahan teknologi, maka terjadi patahan. Disrupsi. Kurva yang patah, menunjukkan jarak antara liniaritas adaptasi dengan tuntutan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Ini terjadi akibat ekosistem yang diubah oleh teknologi.
Paradoks dari keadaan itu, banyak entitas bisnis, termasuk UMKM yang merasa punya pilihan : segera mengadaptasi, menunda atau menolak perubahan, yang sesungguhnya bukan pilihan. Paradoks makan korban ketika pandemi Covid-19 datang. Ini lengkap beserta kecepatan penularan, dan angka kematiannya yang mencekam. Kelanjutan kehidupan tak bisa berlangsung aman tanpa campur tangan perangkat digital.
Patahan adaptasi transformasi digital memperoleh momentum percepatan tanpa pilihan : beradaptasi atau mati. Itu juga yang terjadi pada UMKM. UMKM yang tanpa dipaksa pandemi Covid-19 telah membangun dan merawat aset digitalnya melenggang nyaman, meniti krisis. Mereka sanggup bertahan, bahkan menikmati pertumbuhan.
Lalu, apakah UMKM yang belum mengadaptasi transformasi digital semata menolak keniscayaan perubahan? Stuart Nash, 2020, Menteri UMKM dan Perikanan, Selandia Baru, dalam uraiannya yang berjudul Big Ideas for Small and Medium Enterprises: Helping SMEs Achieve Digital Transformation, menguraikan kesulitan yang dialami UMKM.
Pelaku usaha kelompok ini belum mengambil manfaat potensial dalam produktivitas dan daya saing, lewat adopsi teknologi digital. Ini terjadi karena berbagai alasan. Di antaranya, UMKM tak selalu dapat mengidentifikasi dengan jelas kebutuhannya. Kelompok ini tak punya pengetahuan, pengalaman, atau sumber daya untuk menerapkan perubahan.
Maka, ketika persoalan suprastruktur yang jadi penghambatnya, pemerintah yang berkepentingan dengan stabilitas ekonomi dan sosial, harus turun tangan. Ini relevan dengan Arnold Pacey, 2014 yang membahas Ethics and Emerging Technologies: seberapa efektif suatu teknologi di dunia tak hanya bergantung pada aspek teknisnya. Tapi juga tergantung pada kecocokan teknologi, dengan konteks sosial dan ekologis tempat teknologi itu diperkenalkan.
Adaptasi teknologi termasuk oleh UMKM, harus memperhatikan aspek budaya dan organisasi teknologi, dalam desain dan implementasinya. Pemerintah perlu punya prakarsa, menerjemahkan tuntutan ini. Alih-alih krisis yang berkepanjangan, akibat UMKM bertumbangan, terimbas pandemi.
(ind)