Minim Temuan Covid-19, Pembatasan Sosial Skala Mikro di Kebun Sawit Tetap Diperlukan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit harus tetap disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penularan pandemi Covid-19. Meski nantinya sudah tersedia vaksin namun virus Corona masih bisa bertahan sampai sekitar lima tahun lagi.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, hingga saat ini perkebunan kelapa sawit masih tetap bisa beroperasi karena tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
"Hendaknya kita semua tetap disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan agar senantiasa terhindar dari Covid-19. Kalau sampai tertular, resikonya akan besar terhadap produktivitas perusahaan kita dan juga bagi semua karyawan kita dan keluarga mereka," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (30/9/2020). (Baca juga: Kabar Baik, Dino Patti Djalal Sudah Negatif Covid-19 )
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, selain disiplin menerapkan protokol kesehatan, hal yang sangat perlu dilakukan para pelaku usaha sawit dalam mencegah penularan Covid-19 di wilayah masing-masing adalah mengidentifikasi risiko tinggi dan mengelolanya dalam sistem manajemen modern.
"Selalu yang paling tinggi resikonya adalah kontak orang dan kerumunan orang. Kalau kontak antar manusia ini bisa dikelola dengan penerapan ketat dan disiplin protokol kesehatan dalam sistem manajemen modern, saya yakin semuanya bisa terbebas dari penularan Covid-19," ungkapnya.
Pandu menuturkan, kasus Covid-19 menjadi tinggi akibat faktor kerumunan atau kontak antar manusia yang tidak terkelola dengan baik. Kerumunan atau kontak antar manusia itu harus dibatasi benar-benar, sehingga hanya yang sangat penting saja diperbolehkan.
"Mungkin bila perlu harus diberlakukan pembatasan sosial berskala mikro di wilayah operasi perkebunan. Dari seluruh karyawan itu, harus diidentifikasi siapa saja yang paling beresiko tinggi. Artinya siapa saja yang harus terlibat dalam kontak orang atau harus memasuki kerumunan, misalnya pasar, tempat ibadah, warung makan yang semuanya di luar kontrol perusahaan," tuturnya.
Dia mengungkapkan, biasanya orang-orang dalam resiko tinggi tersebut jumlahnya kurang lebih antara 5-10% dari jumlah total karyawan. "Orang-orang yang high risk ini harus menjadi prioritas utama dalam usaha pencegahan penularan pandemic tersebut," jelasnya.
Dia mengapresiasi usaha pencegahan dan penanggulangan Covid-19 di perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit karena secara umum masih bisa terus beroperasi. Meski ada kasus kecil tetapi bisa dengan cepat diatasi.
"Ini karena penerapan protokol kesehatan dan pengelolaan yang baik dalam sistem manajemen yang modern. Dan ketika ada kasus dengan cepat dilakukan pelacakan untuk mengidentifikasi orang-orang yang berpotensi tertular
dan bisa mengehentikan penularannya," paparnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, hingga saat ini perkebunan kelapa sawit masih tetap bisa beroperasi karena tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
"Hendaknya kita semua tetap disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan agar senantiasa terhindar dari Covid-19. Kalau sampai tertular, resikonya akan besar terhadap produktivitas perusahaan kita dan juga bagi semua karyawan kita dan keluarga mereka," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (30/9/2020). (Baca juga: Kabar Baik, Dino Patti Djalal Sudah Negatif Covid-19 )
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, selain disiplin menerapkan protokol kesehatan, hal yang sangat perlu dilakukan para pelaku usaha sawit dalam mencegah penularan Covid-19 di wilayah masing-masing adalah mengidentifikasi risiko tinggi dan mengelolanya dalam sistem manajemen modern.
"Selalu yang paling tinggi resikonya adalah kontak orang dan kerumunan orang. Kalau kontak antar manusia ini bisa dikelola dengan penerapan ketat dan disiplin protokol kesehatan dalam sistem manajemen modern, saya yakin semuanya bisa terbebas dari penularan Covid-19," ungkapnya.
Pandu menuturkan, kasus Covid-19 menjadi tinggi akibat faktor kerumunan atau kontak antar manusia yang tidak terkelola dengan baik. Kerumunan atau kontak antar manusia itu harus dibatasi benar-benar, sehingga hanya yang sangat penting saja diperbolehkan.
"Mungkin bila perlu harus diberlakukan pembatasan sosial berskala mikro di wilayah operasi perkebunan. Dari seluruh karyawan itu, harus diidentifikasi siapa saja yang paling beresiko tinggi. Artinya siapa saja yang harus terlibat dalam kontak orang atau harus memasuki kerumunan, misalnya pasar, tempat ibadah, warung makan yang semuanya di luar kontrol perusahaan," tuturnya.
Dia mengungkapkan, biasanya orang-orang dalam resiko tinggi tersebut jumlahnya kurang lebih antara 5-10% dari jumlah total karyawan. "Orang-orang yang high risk ini harus menjadi prioritas utama dalam usaha pencegahan penularan pandemic tersebut," jelasnya.
Dia mengapresiasi usaha pencegahan dan penanggulangan Covid-19 di perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit karena secara umum masih bisa terus beroperasi. Meski ada kasus kecil tetapi bisa dengan cepat diatasi.
"Ini karena penerapan protokol kesehatan dan pengelolaan yang baik dalam sistem manajemen yang modern. Dan ketika ada kasus dengan cepat dilakukan pelacakan untuk mengidentifikasi orang-orang yang berpotensi tertular
dan bisa mengehentikan penularannya," paparnya.