Konsumsi Jadi Andalan Pertumbuhan
loading...
A
A
A
Kecuk menambahkan, perekonomian beberapa mitra dagang Indonesia pun terkontraksi sebagai akibat ada pembatasan aktivitas untuk mengendalikan penyebaran Covid-19. Di bagian lain, pada periode yang sama harga komoditas migas dan hasil tambang pun turun.
“Jadi, apa yang bisa dilihat adalah semua indikator terpengaruh Covid-19. Pada kuartal I/2020, ekonomi ini mengalami perlambatan yang sangat dalam,” pungkasnya.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi nasional beberapa kuartal ke belakang memang cenderung menurun. Pada kuartal IV/2019, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,97%. Angka ini juga melemah dibanding pertumbuhan ekonomi kuartal III/2019 yang sebesar 5,02%. Sementara pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2019 sebesar 5,07% dan kuartal kedua sebesar 5,05%.
Data BPS juga menyebutkan, dari sisi pengeluaran, pertumbuhan PDB ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebesar 2,84%, konsumsi pemerintah 3,74%, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 1,70%, dan ekspor 0,24%. Hanya, sektor pengeluaran mengalami kontraksi pada sisi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) sebesar -4,91% dan impor -2,19%.
Ekonom Indef Bhima Yudistira menyarankan, untuk mencegah agar perekonomian tidak jatuh lebih dalam, pemerintah diminta menambah jumlah dan meningkatkan efektivitas stimulus di kuartal berikutnya.
“Kartu Prakerja sebaiknya dirombak total menjadi full BLT (Bantuan Langsung Tunai). Ini agar fokus untuk menjaga daya beli kelas menengah rentan miskin,” katanya.
Dia juga mendorong agar pembagian sembako untuk warga terdampak jangan sampai terlambat. Untuk itu, perlu ada data terpadu penerima bansos karena ada dinamika dan perubahan jumlah orang yang jatuh miskin selama pandemi berlangsung.
“Untuk mendukung UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) perlu diberi keringanan tarif listrik 1.300 va dan 2.200 va karena banyak kelompok di golongan tarif ini. Harga BBM perlu segera diturunkan untuk menekan biaya logistik. Kemudian subsidi LPG 3kg sebaiknya diperluas,” ucapnya.
Bhima menilai, bukan hanya pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi turun tajam. Namun, ada juga faktor sisi permintaan yang lemah sejak tiga tahun lalu. Menurutnya, jauh sebelum Covid-19 industri sudah digempur barang impor dan Indonesia tidak siap menghadapi perang dagang AS versus China.
“Kalau kuartal pertama sudah anjlok cukup dalam, maka diperkirakan kuartal II 2020 ekonomi akan minus karena di kuartal kedua ada perluasan PSBB di kota selain Jakarta dan pelarangan mudik. Ini aktivitas ekonomi nyaris mati total,” pungkasnya. (Oktiani Endarwati/Hafid Fuad/Rina Anggraeni)
“Jadi, apa yang bisa dilihat adalah semua indikator terpengaruh Covid-19. Pada kuartal I/2020, ekonomi ini mengalami perlambatan yang sangat dalam,” pungkasnya.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi nasional beberapa kuartal ke belakang memang cenderung menurun. Pada kuartal IV/2019, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,97%. Angka ini juga melemah dibanding pertumbuhan ekonomi kuartal III/2019 yang sebesar 5,02%. Sementara pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2019 sebesar 5,07% dan kuartal kedua sebesar 5,05%.
Data BPS juga menyebutkan, dari sisi pengeluaran, pertumbuhan PDB ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebesar 2,84%, konsumsi pemerintah 3,74%, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 1,70%, dan ekspor 0,24%. Hanya, sektor pengeluaran mengalami kontraksi pada sisi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) sebesar -4,91% dan impor -2,19%.
Ekonom Indef Bhima Yudistira menyarankan, untuk mencegah agar perekonomian tidak jatuh lebih dalam, pemerintah diminta menambah jumlah dan meningkatkan efektivitas stimulus di kuartal berikutnya.
“Kartu Prakerja sebaiknya dirombak total menjadi full BLT (Bantuan Langsung Tunai). Ini agar fokus untuk menjaga daya beli kelas menengah rentan miskin,” katanya.
Dia juga mendorong agar pembagian sembako untuk warga terdampak jangan sampai terlambat. Untuk itu, perlu ada data terpadu penerima bansos karena ada dinamika dan perubahan jumlah orang yang jatuh miskin selama pandemi berlangsung.
“Untuk mendukung UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) perlu diberi keringanan tarif listrik 1.300 va dan 2.200 va karena banyak kelompok di golongan tarif ini. Harga BBM perlu segera diturunkan untuk menekan biaya logistik. Kemudian subsidi LPG 3kg sebaiknya diperluas,” ucapnya.
Bhima menilai, bukan hanya pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi turun tajam. Namun, ada juga faktor sisi permintaan yang lemah sejak tiga tahun lalu. Menurutnya, jauh sebelum Covid-19 industri sudah digempur barang impor dan Indonesia tidak siap menghadapi perang dagang AS versus China.
“Kalau kuartal pertama sudah anjlok cukup dalam, maka diperkirakan kuartal II 2020 ekonomi akan minus karena di kuartal kedua ada perluasan PSBB di kota selain Jakarta dan pelarangan mudik. Ini aktivitas ekonomi nyaris mati total,” pungkasnya. (Oktiani Endarwati/Hafid Fuad/Rina Anggraeni)