Ironi Bank Syariah di Negara Muslim Terbesar Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indeks literasi keuangan , pelan tapi pasti, menunjukkan peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terlihat, di tahun 2019 indeks literasi keuangan nasional mencapai 38,0%. Angka itu meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2016 yang "baru" sebesar 29,7%.
Sayangnya, peningkatan indeks literasi keuangan nasional itu, tak diikuti oleh indeks literasi keuangan syariah . Tingkat melek atau pemahaman atas produk-produk keuangan syariah di Indonesia baru sebesar 8,93%. Ndilalahnya, di tahun 2019 tingkat inklusi keuangan syariah malah turun dari 11% menjadi 9%.
Melihat besaran indeks-indeks itu jelas sungguh ironis, mengingat Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Tentu saja, banyak perkara yang menyebabkan itu. Salah satunya adalah dukungan infrastruktur untuk memberikan pemahaman dan penetrasi terhadap produk-produk keuangan syariah.
Dilihat dari jumlah banknya saja, perbankan syariah kalah telak dengan perbankan konvensional. Jumlah bank umum syariah (BUS) hanya sebanyak 14 bank. Bandingkan dengan jumlah bank konvensional yang mencapai 96 bank (belum termasuk BPD sebanyak 26 bank). Memang infrastruktur keuangan syariah masih ditambah dengan unit usaha syariah (UUS) sebanyak 20 unit. Namun, UUS itu tetap menginduk kepada bank umum juga sehingga ekspansi bisnisnya tetap ditentukan oleh induk. ( Baca juga:Perbankan Syariah Dukung Industri Halal Berkembang di Dunia )
Kalau mau ditelisik lagi berdasarkan modal dan kegiatan usaha (BUKU) bank, sulit untuk mengungkapkannya dengan kata-kata. Bank konvensional memiliki tujuh bank yang ada dalam kelompok BUKU IV, sedangkan bank syariah belum ada satu pun.
Perbankan syariah baru mampu menempatkan tiga banknya dalam kelompok BUKU III, dan itu juga masih kalah dengan bank konvensional dengan 25 bank. Padahal, semakin besar posisi BUKU sebuah bank, akan semakin leluasa bank dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, termasuk mengeluarkan berbagai produk layanan keuangan.
Nah masih sedikit jumlah bank syariah dan sempitnya skup kegiatan itulah yang membuat penetrasi produk-produk keuangan syariah di masyarakat menjadi terbatas. Masyarakat lebih memilih berhubungan dengan bank-bank umum karena berbagai fasilitasnya mudah ditemukanAlhasil, tingkat pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah juga minim.
Tingkat literasi keuangan syariah yang masih kontet itu seolah bikin ngenes dengan predikat yang disandang industri keuangan syariah. Secara global, Indonesia berada di urutan 5 pada Global Islamic Economic Indicator Score, dan posisi ke 4 Islamic Finance Development Report 2019. Sementara Global Islamic Report 2019 menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi wahid pada Islamic Finance Country Index.
OJK sebagai lembaga yang bertugas meningkatkan literasi keuangan, baik umum maupun syariah, terus melakukan berbagai langkah terobosan meski diadang oleh pandemi. Antara lain sosialisasi dan edukasi keuangan syariah ke berbagai kelompok masyarakat.
Pada tahun ini saja, terdapat total 4.727 rencana kegiatan edukasi dari sedikitnya 2.602 pelaku usaha jasa keuangan. Dari OJK sendiri, akan mengadakan sedikitnya 465 kegiatan. ( Baca Juga:Tokoh Publik Harus Beri Contoh, Hindari Aksi Provokasi )
“Di masa pandemi ini kita tetap melakukan kegiatan edukasi dengan menyelenggarakan webinar, seperti edukasi keuangan syariah di kampus-kampus dan pesantren, karyawan dan profesional, serta pelaku UMKM,” ujar Kristrianti Puji Rahayu, Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK, saat webinar di Jakarta, Jumat (9/10/2020).
Para pemangku kepentingan harus berupaya sungguh-sungguh untuk memperbanyak infrastruktur perbankan syariah. Kesungguhan tak cuma dari pihak otoritas, tapi juga entitas bisnis, terutama bank-bank konvensional yang memiliki bank syariah. Pasalnya, hampir semua bank syariah merupakan perusahaan anak bank konvensional.
Jika para induknya tak berniat sungguh-sungguh membesarkan anak usahanya itu, ya jangan berharap perbankan syariah bisa tumbuh lebih cepat dan besar. Muliaman Hadad, mantan bos OJK, pernah menyatakan bahwa rasio pertumbuhan dan market share bank syariah terhadap bank konvensional itu sulit membesar dengan cepat.
Musababnya, ketika bank syariah mengalami pertumbuhan, maka bank konvensional juga demikian. Kecuali, bank-bank konvensional yang memiliki bank syariah memang serius mengembangkan anak usahanya itu. Jika tidak, ya wassalam. Misalnya, menyapih (spin off) UUS dari sang induk dan kemudian mendorongnya melantai di bursa (IPO).
Khusus pemerintah, mempercepat merger bank-bank syariah BUMN. Bisa juga menempuh langkah yang "radikal" seperti mengubah bank BUMN menjadi syariah. Misalnya, mengkonversi sebuah bank BUMN konvensional menjadi bank syariah. Wacana seperti ini pernah muncul di tahun 2013 lalu. Makin ciamik jika konversi itu kemudian dilebur dengan bank-bank syariah pelat merah yang sudah ada. Jika itu dilakukan maka ruang gerak perbankan syariah makin leluasa meningkatkan literasi dan inklusi keuangannya.
Pengembangan perbankan syariah memang perlu dilakukan lantaran lembaga ini punya peran sangat penting dalam upaya peningkatan literasi dan inklusi keuangan syariah di Indonesia. Selain itu, harap diingat, mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam merupakan potensi pasar yang luar biasa. Bahkan, secara global, potensi itu juga sangat menggiurkan.
John Kosasih Presiden Direktur BCA Syariah mengungkapkan besarnya potensi perbankan syariah di Indonesia. Berdasarkan Global Islamic Report, Indonesia merupakan pasar produk halal terbesar di dunia, sekitar 10% dari total pasar produk halal dunia.
“Total halal market dunia tahun 2018 sekitar USD2,2 triliun atau senilai dengan Rp33 ribu triliun. Bahkan hingga tahun 2024 pasar produk halal dunia diperkirakan akan tumbuh dari USD 2,2 triliun menjadi USD 3,2 triliun dan pasar produk halal Indonesia diproyeksikan akan tumbuh signifikan menjadi USD320 juta atau setara Rp4.800 triliun," jelas John.
Lihat Juga: Rangkaian Goes to Campus Usai, MNC Bank Libatkan Ratusan Mahasiswa di Berbagai Perguruan Tinggi
Sayangnya, peningkatan indeks literasi keuangan nasional itu, tak diikuti oleh indeks literasi keuangan syariah . Tingkat melek atau pemahaman atas produk-produk keuangan syariah di Indonesia baru sebesar 8,93%. Ndilalahnya, di tahun 2019 tingkat inklusi keuangan syariah malah turun dari 11% menjadi 9%.
Melihat besaran indeks-indeks itu jelas sungguh ironis, mengingat Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Tentu saja, banyak perkara yang menyebabkan itu. Salah satunya adalah dukungan infrastruktur untuk memberikan pemahaman dan penetrasi terhadap produk-produk keuangan syariah.
Dilihat dari jumlah banknya saja, perbankan syariah kalah telak dengan perbankan konvensional. Jumlah bank umum syariah (BUS) hanya sebanyak 14 bank. Bandingkan dengan jumlah bank konvensional yang mencapai 96 bank (belum termasuk BPD sebanyak 26 bank). Memang infrastruktur keuangan syariah masih ditambah dengan unit usaha syariah (UUS) sebanyak 20 unit. Namun, UUS itu tetap menginduk kepada bank umum juga sehingga ekspansi bisnisnya tetap ditentukan oleh induk. ( Baca juga:Perbankan Syariah Dukung Industri Halal Berkembang di Dunia )
Kalau mau ditelisik lagi berdasarkan modal dan kegiatan usaha (BUKU) bank, sulit untuk mengungkapkannya dengan kata-kata. Bank konvensional memiliki tujuh bank yang ada dalam kelompok BUKU IV, sedangkan bank syariah belum ada satu pun.
Perbankan syariah baru mampu menempatkan tiga banknya dalam kelompok BUKU III, dan itu juga masih kalah dengan bank konvensional dengan 25 bank. Padahal, semakin besar posisi BUKU sebuah bank, akan semakin leluasa bank dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, termasuk mengeluarkan berbagai produk layanan keuangan.
Nah masih sedikit jumlah bank syariah dan sempitnya skup kegiatan itulah yang membuat penetrasi produk-produk keuangan syariah di masyarakat menjadi terbatas. Masyarakat lebih memilih berhubungan dengan bank-bank umum karena berbagai fasilitasnya mudah ditemukanAlhasil, tingkat pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah juga minim.
Tingkat literasi keuangan syariah yang masih kontet itu seolah bikin ngenes dengan predikat yang disandang industri keuangan syariah. Secara global, Indonesia berada di urutan 5 pada Global Islamic Economic Indicator Score, dan posisi ke 4 Islamic Finance Development Report 2019. Sementara Global Islamic Report 2019 menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi wahid pada Islamic Finance Country Index.
OJK sebagai lembaga yang bertugas meningkatkan literasi keuangan, baik umum maupun syariah, terus melakukan berbagai langkah terobosan meski diadang oleh pandemi. Antara lain sosialisasi dan edukasi keuangan syariah ke berbagai kelompok masyarakat.
Pada tahun ini saja, terdapat total 4.727 rencana kegiatan edukasi dari sedikitnya 2.602 pelaku usaha jasa keuangan. Dari OJK sendiri, akan mengadakan sedikitnya 465 kegiatan. ( Baca Juga:Tokoh Publik Harus Beri Contoh, Hindari Aksi Provokasi )
“Di masa pandemi ini kita tetap melakukan kegiatan edukasi dengan menyelenggarakan webinar, seperti edukasi keuangan syariah di kampus-kampus dan pesantren, karyawan dan profesional, serta pelaku UMKM,” ujar Kristrianti Puji Rahayu, Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK, saat webinar di Jakarta, Jumat (9/10/2020).
Para pemangku kepentingan harus berupaya sungguh-sungguh untuk memperbanyak infrastruktur perbankan syariah. Kesungguhan tak cuma dari pihak otoritas, tapi juga entitas bisnis, terutama bank-bank konvensional yang memiliki bank syariah. Pasalnya, hampir semua bank syariah merupakan perusahaan anak bank konvensional.
Jika para induknya tak berniat sungguh-sungguh membesarkan anak usahanya itu, ya jangan berharap perbankan syariah bisa tumbuh lebih cepat dan besar. Muliaman Hadad, mantan bos OJK, pernah menyatakan bahwa rasio pertumbuhan dan market share bank syariah terhadap bank konvensional itu sulit membesar dengan cepat.
Musababnya, ketika bank syariah mengalami pertumbuhan, maka bank konvensional juga demikian. Kecuali, bank-bank konvensional yang memiliki bank syariah memang serius mengembangkan anak usahanya itu. Jika tidak, ya wassalam. Misalnya, menyapih (spin off) UUS dari sang induk dan kemudian mendorongnya melantai di bursa (IPO).
Khusus pemerintah, mempercepat merger bank-bank syariah BUMN. Bisa juga menempuh langkah yang "radikal" seperti mengubah bank BUMN menjadi syariah. Misalnya, mengkonversi sebuah bank BUMN konvensional menjadi bank syariah. Wacana seperti ini pernah muncul di tahun 2013 lalu. Makin ciamik jika konversi itu kemudian dilebur dengan bank-bank syariah pelat merah yang sudah ada. Jika itu dilakukan maka ruang gerak perbankan syariah makin leluasa meningkatkan literasi dan inklusi keuangannya.
Pengembangan perbankan syariah memang perlu dilakukan lantaran lembaga ini punya peran sangat penting dalam upaya peningkatan literasi dan inklusi keuangan syariah di Indonesia. Selain itu, harap diingat, mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam merupakan potensi pasar yang luar biasa. Bahkan, secara global, potensi itu juga sangat menggiurkan.
John Kosasih Presiden Direktur BCA Syariah mengungkapkan besarnya potensi perbankan syariah di Indonesia. Berdasarkan Global Islamic Report, Indonesia merupakan pasar produk halal terbesar di dunia, sekitar 10% dari total pasar produk halal dunia.
“Total halal market dunia tahun 2018 sekitar USD2,2 triliun atau senilai dengan Rp33 ribu triliun. Bahkan hingga tahun 2024 pasar produk halal dunia diperkirakan akan tumbuh dari USD 2,2 triliun menjadi USD 3,2 triliun dan pasar produk halal Indonesia diproyeksikan akan tumbuh signifikan menjadi USD320 juta atau setara Rp4.800 triliun," jelas John.
Lihat Juga: Rangkaian Goes to Campus Usai, MNC Bank Libatkan Ratusan Mahasiswa di Berbagai Perguruan Tinggi
(uka)