Pandemi Membuat BUMN Rugi Makin Banyak, Terbesar di Jiwasraya
loading...
A
A
A
JAKARTA - BUMN rugi di tahun ini masih terjadi. Penyebabnya karena akumulasi dari dampak pandemi dan juga sebelumnya salah pengelolaan. BUMN rugi terbesar tahun ini dicatatakan PT Asuransi Jiwaraya (Persero), nilainya mencapai Rp 37,4 Triliun. Nilai kerugian yang begitu besar terjadi akibat kesalahan investasi dari management Jiwasraya.
Kerugian ini merupakan rugi yang terjadi sepanjang Semester I 2020, sebesar Rp 11,13 triliun. Dibandingkan periode yang sama pada 2019 lalu perusahaan migas plat merah ini masih mencatatkan laba Rp 9,56 triliun.
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengungkapkan, penyebab Pertamina rugi karena memang dampak langsung dari pandemi Covid-19. Pendemi menyebabkan cash flow Pertamina anjlok, akibat penjualan yang tutun tajam. Di Januari penjualan Pertamina terus tutun hingga Juni 2020 lalu.
Baca juga: Habis Rugi Rp11 Triliun, Pertamina Ngebut Nyari Untung
Nilai tukar Rupiah juga menjadi biang keladi Pertamina merugi. Nilai tukar Dolar AS terhadap Rupiah di akhir 2019 berada di Rp 13.900. Lalu pada masa pandemi ini meroket hingga tembus Rp 16.000 lebih. Menurut Emma Sri Martini, selisih kurs ini berdampak sekali utuk Pertamina. Sebab, revenue yang diterima dalam rupiah. Saat belanja crude oil dengan dolar AS.
Penurunan harga minyak mentah Indonesia atau ICP yang menjadi acuan Pertamina, juga jadi penyebab Pertamina rugi. Penurunan harga justru membuat Pertamina memiliki tambahan beban. Contohnyanpada April 2020 harga ICP US$ 21 per barel, namun kilang Pertamina konsumsi crude oil dengan harga US$ 57 per barel.
Utang pemerintah yang belum dibayar jadi faktor pendorong lainnya atas kerugian Pertamina. Tercatat utang kompensasi pemerintah sebesar Rp96 triliun dan utang subsidi Rp13 triliun belum dibayar.
Garuda Indonesia
Rugi yang cukup besar juga diderita oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Akibat pandemi dan adanya pembatasan social berskala besar (PSPB) membuat penumpang Garuda Indonesia anjlok, hingga membuat BUMN ini merugi di enam bulan pertama tahun 2020 sebesar USD 712 juta atau sekitar Rp10,34 Triliun.
Kinerja keuangan Garuda pada semester I 2020 ini lebih buruk dari periode yang sama di tahun 2019. Saat itu, Garuda masih mencatatkan laba USD 24,11 juta atau setara Rp349 miliar. Kerugian ini berasal dari capaian pendapatan Garuda yang hanya mencapai USD 917,28 juta dolar setara Rp13,3 triliun. Padahal pada periode yang sama di tahun 2019 Garuda masih mampu memperoleh pendapatan USD 2,19 miliar atau setara Rp31 triliun.
ASABRI
Berdasarkan audit laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tahun 2019 oleh BPK mengungkapkan kinerja investasi PT Asabri (Persero) merugi. BPK menemukan bahwa Asabri membukukan rugi komprehensif Rp 8,43 triliun pada 2019, akibat penurunan nilai aset investasi saham dan reksa dana. Namun demikian, temuan tersebut tidak dapat diyakini kewajarannya dengan sejumlah alasan.
Selain rugi komprehensif, BPK juga mencatat pengakuan perseroan mengenai beban penyesuaian nilai investasi tahun buku 2019 mencapai Rp 6,21 triliun dari pengakuan rugi bersih tahun berjalan Asabri. Hal tersebut tertuang pada Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern (LHP SPI), bagian dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2019 oleh BPK.
Menurut BPK, rugi komprehensif dan rugi bersih tahun berjalan PT Asabri tersebut disebabkan adanya rugi investasi atas penurunan harga pasar aset investasi saham dan reksa dana yang dimiliki PT Asabri (Persero) masing-masing sebesar Rp 5,29 triliun dan Rp 2,22 triliun.
Kereta Api Indonesia
Dirutan kelima BUMN yang mengalami rugi terbesar adalah PT Kerata Api Indonesia (Persero). Untuk mencegah dan memutus rantai penyebaran Virus Covid-19, sejumlah derah di Indonesia melakukan masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akibatnya menurut,Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Didiek Hartyanto, pengguna atau penumpang kereta pun merosot hanya tinggal 10% hingga 20% saja.
Akibatnya sepanjang Semester I-2020 KAI harus menanggung rugi Rp 1,35 triliun. Kinerja keuangan yang minus ini disumbang oleh melorotnya pendapatan dari Rp 12,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu menjadi hanya Rp 7,4 triliun pada pada paruh pertama tahun ini.
Sedangkan beban usaha pada Juni 2020 tercatat menurun sebesar Rp 1,15 triliun dari sebelumnya Rp 1,4 triliun. Didiek menjelaskan pendapatan dari sisi penumpang menyumbang pemasukan terbesar bagi arus kas. Tak dimungkiri, saat penumpang melorot, pendapatan perseroan turut menukik turun.
Angkasa Pura I dan II
Pembatasan gerak penduduk akibat pemberlakukan PSBB juga membawa dampak bagi pengelola Bandara. Kinerja BUMN pengelola Bandara yakni PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero) pun merosot, hingga membukukan rugi.
PT Angkasa Pura I (AP I) mengelola memiliki 15 Bandara, salah satu yang terbesar adalah Bandara Ngurah Rai di Denpasar, Bali. Sedangkan AP II mengurus 19 bandara, termasuk Bandara Soekarno-Hatta.
AP I sepanjang Semester I-2020, membukukan laporan keuangan negatif , Rp 1,16 triliun. Sebagai perbandingan pada Semester I-2019, BUMN ini masih mencatatkan laba bersih Rp 719,27 miliar. Begitu juga dengan pendapatan usaha, baik aeronautika dan non-aeronautika, turun dari Rp 3,98 triliun di Semester I 2019 menjadi Rp 2,21 triliun di Semester I 2020.
Kondisi serupa juga dialami oleh PT Angkasa Pura II. BUMN pengelola bandara ini rugi Rp 838,26 miliar sepanjang Semester I-2020. Angka ini bertolak belakang dengan kondisi di periode yang sama tahun 2019. Saat itu AP II masih mampu mencetak laba bersih Rp 363,17 miliar.
Pendapatan AP II memang turun, dari Rp 4,43 triliun di Semester I-2019 menjadi Rp 3,21 triliun di Semester I-2020. Pendapatan dari sektor Aeronautika seperti jasa pelayanan penumpang, jasa pendaratan, pemakaian counter, pemakaian aviobridge, jasa penempatan, dan parkir pesawat turun 50,6%.
Untuk, pendapatan nonaeronautika seperti konsesi, sewa ruangan, utilitas, pemasangan iklan, sewa tanah, hingga jasa kargo naik 9,6%. Saat operasional bandara tidak maksimal, beban usaha justru naik. Beban usaha meningkat dari Rp 3,52 triliun di semester I 2019 menjadi Rp 3,60 triliun di semester I 2020.
Perum Bulog
Sebagai perusahaan negara yang ada di garda terdepan dalam menjaga ketahanan pangan nasional, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog), memang sulit untuk untung. Sebgai Perum Bulog punya tugas untuk menyerap hasil panen padi petani sebanyak-banyaknya, dan menyalurknnya ke pasar saat harga beras mulai naik. Untuk membiayai penugasan itu, Bulog pun harus berhutang kepada perbankan.
Tak pelak, menurut Direktur Utama Bulog Budi Waseso, hingga akhir tahun 2019 lalu, akumulasi hutang BUMN ini mencapai Rp 28 Triliun. Padahal ekuitas Bulog hanya sekitar 10,8 triliun (2018). Lalu berdasarkan laporan keuangan 2018, tercatat kerugian yang harus ditanggung oleh Bulog mencapai Rp 961,78 miliar.
Adapun sepanjang Januari-September 2019 tercatat kerugian sebesar Rp 955 miliar dari segmen Public Service Obligation (PSO) atau penugasan pemerintah. Pada tahun 2017 dan 2016 Bulog masih untung masing-masing Rp705 miliar dan Rp892 miliar.
Secara teknis Bulog bisa dikatagorikan sebagai perusahaan yang bangkrut. Meski begitu, Budi Waseso mengatakan bangkrut atau tidaknya Bulog adalah sesuatu yang relatif, tergantung sudut pandang yang dipakai. Untung kalau bicara komersial, tapi rugi jika bicara penugasan. Sebab, kata pensiunan jenderal polisi bintang tiga ini, ada beban bunga, dan dengan sistem yang ada, begitu menagih pembayaran ke pemerintah perjalanannya lumayan panjang.
PT Timah
PT Timah (Persero) Tbk, menjadi BUMN yang masuk dalam daftar pencetak rugi terbesar hingga tahun ini. Berdasarkan laporan keungan yang dipublikasikan oleh produsen timah terbesar di dunia ini diketahui, perseroan mencatatkan rugi bersih Rp 390,07 miliar. Kondisinya berbanding terbalik dengan capaian perusahaan di periode yang sama tahun sebelumnya. Pada semester I-2019 silam, emiten dengan kode TINS ini sukses mengantongi laba bersih Rp 205,29 miliar.
Sebagai perusahan tambang, kinerja PT Timah memang sangat tergantung dari harga komoditas dan juga produksi timah. Seperti di Semester I-2020, kerugian dipicu oleh rendahnya perolehan pendapatan perseroan selama semester I tahun ini sekitar 18,49% menjadi Rp 7,978 triliun dibandingkan kurun waktu serupa tahun lalu Rp 9,788 triliun.
Pendapatan yang anjlok ini akibat sepanjang semester I-2020, TINS mencatat produksi bijih timah sebesar 24.990 ton atau turun 47,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 47.423 ton. Volume penjualan juga turun 0,3% menjadi 31.508 ton dari sebelumnya 31.609 ton.
Kinerja perseroan makin tertekan, ditambah lagi dengan harga jual rata-rata timah di Semester satu tahun ini hanya sebesar US$ 16.461 per metrik ton. Turun dari realisasi harga jual rata-rata untuk enam bulan pertama 2019 yang mencapai US$ 21.505 per metrik ton.
PT INTI
Di urutan 10 besar ada BUMN yang jadi pelopor industri telekomunikasi di tanah air, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) atau yang dikenal dengan sebutan PT INTI. Perusahaan yang didirikan pada 1974 ini, sekarang kondisinya memang memprihatinkan. Pengelolaan yang buruk membuat kinerja BUMN ini benar-benar terpuruk.
Perusahaan plat merah ini tak mampu membayar gaji sejumlah karyawannya hampir satu tahun. Tepatnya, terakhir perusahaan menggaji karyawan pada Februari 2020.
Sekitar 450 karyawan PT INTI belum dibayarkan gajinya selama Juli dan Agustus 2019. Dari Februari higgaa Mei 2020, gaji yang diterima karyawan hanya Rp 1 juta saja. Perusahaan juga belum membayar fasilitas Kesehatan seperti BPJS Kesehatan. Terpuruknya kinerja PT INTI sebenarnya sudah terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini.
Dari laporan keuangan perusahan 2019, BUMN yang berkantor pusat di Bandung ini memiliki utang mencapai Rp 1,6 triliun. Pendapatan perseoran tahun lalu juga turun. Jika 2018 meraih pendapatan Rp 649,7 miliar, maka di 2019 hanya Rp 395,3 miliar. PT INTI oun mencatatkan rugi komprehensif mencapai Rp 397,7 miliar di 2019.
Kerugian ini naik drastis jika dibandingkan 2018 yang saat itu rugi Rp 87,2 miliar. Sedangka aset perusahaan sebesar Rp 1,3 triliun. Jumlah aset ini, juga turun jika dibandingkan 2018 yang saat itu sebesar Rp 1,5 triliun.
Kerugian ini merupakan rugi yang terjadi sepanjang Semester I 2020, sebesar Rp 11,13 triliun. Dibandingkan periode yang sama pada 2019 lalu perusahaan migas plat merah ini masih mencatatkan laba Rp 9,56 triliun.
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengungkapkan, penyebab Pertamina rugi karena memang dampak langsung dari pandemi Covid-19. Pendemi menyebabkan cash flow Pertamina anjlok, akibat penjualan yang tutun tajam. Di Januari penjualan Pertamina terus tutun hingga Juni 2020 lalu.
Baca juga: Habis Rugi Rp11 Triliun, Pertamina Ngebut Nyari Untung
Nilai tukar Rupiah juga menjadi biang keladi Pertamina merugi. Nilai tukar Dolar AS terhadap Rupiah di akhir 2019 berada di Rp 13.900. Lalu pada masa pandemi ini meroket hingga tembus Rp 16.000 lebih. Menurut Emma Sri Martini, selisih kurs ini berdampak sekali utuk Pertamina. Sebab, revenue yang diterima dalam rupiah. Saat belanja crude oil dengan dolar AS.
Penurunan harga minyak mentah Indonesia atau ICP yang menjadi acuan Pertamina, juga jadi penyebab Pertamina rugi. Penurunan harga justru membuat Pertamina memiliki tambahan beban. Contohnyanpada April 2020 harga ICP US$ 21 per barel, namun kilang Pertamina konsumsi crude oil dengan harga US$ 57 per barel.
Utang pemerintah yang belum dibayar jadi faktor pendorong lainnya atas kerugian Pertamina. Tercatat utang kompensasi pemerintah sebesar Rp96 triliun dan utang subsidi Rp13 triliun belum dibayar.
Garuda Indonesia
Rugi yang cukup besar juga diderita oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Akibat pandemi dan adanya pembatasan social berskala besar (PSPB) membuat penumpang Garuda Indonesia anjlok, hingga membuat BUMN ini merugi di enam bulan pertama tahun 2020 sebesar USD 712 juta atau sekitar Rp10,34 Triliun.
Kinerja keuangan Garuda pada semester I 2020 ini lebih buruk dari periode yang sama di tahun 2019. Saat itu, Garuda masih mencatatkan laba USD 24,11 juta atau setara Rp349 miliar. Kerugian ini berasal dari capaian pendapatan Garuda yang hanya mencapai USD 917,28 juta dolar setara Rp13,3 triliun. Padahal pada periode yang sama di tahun 2019 Garuda masih mampu memperoleh pendapatan USD 2,19 miliar atau setara Rp31 triliun.
ASABRI
Berdasarkan audit laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tahun 2019 oleh BPK mengungkapkan kinerja investasi PT Asabri (Persero) merugi. BPK menemukan bahwa Asabri membukukan rugi komprehensif Rp 8,43 triliun pada 2019, akibat penurunan nilai aset investasi saham dan reksa dana. Namun demikian, temuan tersebut tidak dapat diyakini kewajarannya dengan sejumlah alasan.
Selain rugi komprehensif, BPK juga mencatat pengakuan perseroan mengenai beban penyesuaian nilai investasi tahun buku 2019 mencapai Rp 6,21 triliun dari pengakuan rugi bersih tahun berjalan Asabri. Hal tersebut tertuang pada Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern (LHP SPI), bagian dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2019 oleh BPK.
Menurut BPK, rugi komprehensif dan rugi bersih tahun berjalan PT Asabri tersebut disebabkan adanya rugi investasi atas penurunan harga pasar aset investasi saham dan reksa dana yang dimiliki PT Asabri (Persero) masing-masing sebesar Rp 5,29 triliun dan Rp 2,22 triliun.
Kereta Api Indonesia
Dirutan kelima BUMN yang mengalami rugi terbesar adalah PT Kerata Api Indonesia (Persero). Untuk mencegah dan memutus rantai penyebaran Virus Covid-19, sejumlah derah di Indonesia melakukan masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akibatnya menurut,Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Didiek Hartyanto, pengguna atau penumpang kereta pun merosot hanya tinggal 10% hingga 20% saja.
Akibatnya sepanjang Semester I-2020 KAI harus menanggung rugi Rp 1,35 triliun. Kinerja keuangan yang minus ini disumbang oleh melorotnya pendapatan dari Rp 12,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu menjadi hanya Rp 7,4 triliun pada pada paruh pertama tahun ini.
Sedangkan beban usaha pada Juni 2020 tercatat menurun sebesar Rp 1,15 triliun dari sebelumnya Rp 1,4 triliun. Didiek menjelaskan pendapatan dari sisi penumpang menyumbang pemasukan terbesar bagi arus kas. Tak dimungkiri, saat penumpang melorot, pendapatan perseroan turut menukik turun.
Angkasa Pura I dan II
Pembatasan gerak penduduk akibat pemberlakukan PSBB juga membawa dampak bagi pengelola Bandara. Kinerja BUMN pengelola Bandara yakni PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero) pun merosot, hingga membukukan rugi.
PT Angkasa Pura I (AP I) mengelola memiliki 15 Bandara, salah satu yang terbesar adalah Bandara Ngurah Rai di Denpasar, Bali. Sedangkan AP II mengurus 19 bandara, termasuk Bandara Soekarno-Hatta.
AP I sepanjang Semester I-2020, membukukan laporan keuangan negatif , Rp 1,16 triliun. Sebagai perbandingan pada Semester I-2019, BUMN ini masih mencatatkan laba bersih Rp 719,27 miliar. Begitu juga dengan pendapatan usaha, baik aeronautika dan non-aeronautika, turun dari Rp 3,98 triliun di Semester I 2019 menjadi Rp 2,21 triliun di Semester I 2020.
Kondisi serupa juga dialami oleh PT Angkasa Pura II. BUMN pengelola bandara ini rugi Rp 838,26 miliar sepanjang Semester I-2020. Angka ini bertolak belakang dengan kondisi di periode yang sama tahun 2019. Saat itu AP II masih mampu mencetak laba bersih Rp 363,17 miliar.
Pendapatan AP II memang turun, dari Rp 4,43 triliun di Semester I-2019 menjadi Rp 3,21 triliun di Semester I-2020. Pendapatan dari sektor Aeronautika seperti jasa pelayanan penumpang, jasa pendaratan, pemakaian counter, pemakaian aviobridge, jasa penempatan, dan parkir pesawat turun 50,6%.
Untuk, pendapatan nonaeronautika seperti konsesi, sewa ruangan, utilitas, pemasangan iklan, sewa tanah, hingga jasa kargo naik 9,6%. Saat operasional bandara tidak maksimal, beban usaha justru naik. Beban usaha meningkat dari Rp 3,52 triliun di semester I 2019 menjadi Rp 3,60 triliun di semester I 2020.
Perum Bulog
Sebagai perusahaan negara yang ada di garda terdepan dalam menjaga ketahanan pangan nasional, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog), memang sulit untuk untung. Sebgai Perum Bulog punya tugas untuk menyerap hasil panen padi petani sebanyak-banyaknya, dan menyalurknnya ke pasar saat harga beras mulai naik. Untuk membiayai penugasan itu, Bulog pun harus berhutang kepada perbankan.
Tak pelak, menurut Direktur Utama Bulog Budi Waseso, hingga akhir tahun 2019 lalu, akumulasi hutang BUMN ini mencapai Rp 28 Triliun. Padahal ekuitas Bulog hanya sekitar 10,8 triliun (2018). Lalu berdasarkan laporan keuangan 2018, tercatat kerugian yang harus ditanggung oleh Bulog mencapai Rp 961,78 miliar.
Adapun sepanjang Januari-September 2019 tercatat kerugian sebesar Rp 955 miliar dari segmen Public Service Obligation (PSO) atau penugasan pemerintah. Pada tahun 2017 dan 2016 Bulog masih untung masing-masing Rp705 miliar dan Rp892 miliar.
Secara teknis Bulog bisa dikatagorikan sebagai perusahaan yang bangkrut. Meski begitu, Budi Waseso mengatakan bangkrut atau tidaknya Bulog adalah sesuatu yang relatif, tergantung sudut pandang yang dipakai. Untung kalau bicara komersial, tapi rugi jika bicara penugasan. Sebab, kata pensiunan jenderal polisi bintang tiga ini, ada beban bunga, dan dengan sistem yang ada, begitu menagih pembayaran ke pemerintah perjalanannya lumayan panjang.
PT Timah
PT Timah (Persero) Tbk, menjadi BUMN yang masuk dalam daftar pencetak rugi terbesar hingga tahun ini. Berdasarkan laporan keungan yang dipublikasikan oleh produsen timah terbesar di dunia ini diketahui, perseroan mencatatkan rugi bersih Rp 390,07 miliar. Kondisinya berbanding terbalik dengan capaian perusahaan di periode yang sama tahun sebelumnya. Pada semester I-2019 silam, emiten dengan kode TINS ini sukses mengantongi laba bersih Rp 205,29 miliar.
Sebagai perusahan tambang, kinerja PT Timah memang sangat tergantung dari harga komoditas dan juga produksi timah. Seperti di Semester I-2020, kerugian dipicu oleh rendahnya perolehan pendapatan perseroan selama semester I tahun ini sekitar 18,49% menjadi Rp 7,978 triliun dibandingkan kurun waktu serupa tahun lalu Rp 9,788 triliun.
Pendapatan yang anjlok ini akibat sepanjang semester I-2020, TINS mencatat produksi bijih timah sebesar 24.990 ton atau turun 47,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 47.423 ton. Volume penjualan juga turun 0,3% menjadi 31.508 ton dari sebelumnya 31.609 ton.
Kinerja perseroan makin tertekan, ditambah lagi dengan harga jual rata-rata timah di Semester satu tahun ini hanya sebesar US$ 16.461 per metrik ton. Turun dari realisasi harga jual rata-rata untuk enam bulan pertama 2019 yang mencapai US$ 21.505 per metrik ton.
PT INTI
Di urutan 10 besar ada BUMN yang jadi pelopor industri telekomunikasi di tanah air, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) atau yang dikenal dengan sebutan PT INTI. Perusahaan yang didirikan pada 1974 ini, sekarang kondisinya memang memprihatinkan. Pengelolaan yang buruk membuat kinerja BUMN ini benar-benar terpuruk.
Perusahaan plat merah ini tak mampu membayar gaji sejumlah karyawannya hampir satu tahun. Tepatnya, terakhir perusahaan menggaji karyawan pada Februari 2020.
Sekitar 450 karyawan PT INTI belum dibayarkan gajinya selama Juli dan Agustus 2019. Dari Februari higgaa Mei 2020, gaji yang diterima karyawan hanya Rp 1 juta saja. Perusahaan juga belum membayar fasilitas Kesehatan seperti BPJS Kesehatan. Terpuruknya kinerja PT INTI sebenarnya sudah terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini.
Dari laporan keuangan perusahan 2019, BUMN yang berkantor pusat di Bandung ini memiliki utang mencapai Rp 1,6 triliun. Pendapatan perseoran tahun lalu juga turun. Jika 2018 meraih pendapatan Rp 649,7 miliar, maka di 2019 hanya Rp 395,3 miliar. PT INTI oun mencatatkan rugi komprehensif mencapai Rp 397,7 miliar di 2019.
Kerugian ini naik drastis jika dibandingkan 2018 yang saat itu rugi Rp 87,2 miliar. Sedangka aset perusahaan sebesar Rp 1,3 triliun. Jumlah aset ini, juga turun jika dibandingkan 2018 yang saat itu sebesar Rp 1,5 triliun.
(eko)