Ironis, Petani Tak Kebagian Dana PEN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia menggelontorkan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp695,2 triliun. Namun dana sebesar itu tak sepeser pun dialokasikan untuk petani.
Ironis memang. Para petani yang telah memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional luput dari perhatian pemerintah. Padahal di saat pandemi corona (Covid-19) meluluhlantakkan perekonomian Indonesia, sektor pertanian tampil sebagai pahlawan. (Baca: Mereka Mati Mengenaskan Setelah Menghina Nabi Muhammad SAW)
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada kuartal II/2020 sektor pertanian tumbuh positif 16,24% (q-to-q) dan 2,19% (yoy). Padahal secara nasional, perekonomian mengalami kontraksi sebesar 5,32%. Jika tak ditopang sektor pertanian yang tumbuh positif, bisa dipastikan perekonomian secara nasional bisa terkontraksi lebih dalam lagi.
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan anggaran PEN antara lain dialokasikan untuk mendukung konsumsi Program Keluarga Harapan (PKH), sembako, bansos Jabodetabek dan non-Jabodetabek, Kartu Prakerja, diskon listrik, logistik pangan sembako, untuk rumah tangga miskin rentan serta terdampak sebesar Rp174,1 triliun.
Selanjutnya untuk subsidi bunga BPR, perbankan, dan perusahaan pembiayaan, KUR, UMi, Mekaar, pegadaian, UMKM online, LPDB, dan koperasi senilai Rp34,15 triliun. Untuk insentif perpajakan dianggarkan Rp123,01 triliun, subsidi bahan bakar nabati (BBN) Rp2,78 triliun, percepatan pembayaran kompensasi BUMN Rp90,42 triliun.
Kementerian dan lembaga (K/L) juga kebagian dana PEN sebesar Rp 65,10 triliun, pemda Rp15,1 triliun, penjaminan untuk kredit modal kerja UMKM dapat Rp6 triliun, penyertaan modal negara (PMN) ke BUMN sebesar Rp25,27 triliun, talangan investasi untuk modal kerja Rp19,65 triliun, dan penempatan dana pemerintah di perbankan dalam rangka restrukturisasi kredit UMKM Rp87,59 triliun. (Baca juga: Kemendikbud Akan Kembangkan SMK untuk Bangun Desa)
“Tidak ada yang dialirkan secara khusus untuk petani,” ujar pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (Aekpi) Khudori dalam webinar, Jumat (16/10/2020).
Menurut Khudori, produksi pangan sejauh ini relatif baik dan belum serius terganggu oleh Covid-19. Hal ini karena Indonesia diuntungkan kemarau basah.
Khudori menghitung ada sekitar Rp167 triliun dana PEN digunakan untuk bantuan berupa pangan dan kebutuhan pokok, tetapi produksi petani tidak terserap. “Mestinya ini bisa dikoneksikan agar dana PEN ini yang sebagian besar bansos dimanfaatkan menyerap produk petani,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, tidak terserapnya hasil produksi petani perlu perhatian serius pemerintah. Jika hasil produksi tidak terjual, petani tidak punya modal melanjutkan usaha tani. Kontinuitas produksi pangan bisa menjadi terancam.
Memang ada upaya dari Kementerian Pertanian (Kementan) dan pemerintah daerah, tetapi sangat sporadis dan tidak terstruktur. “Itulah kenapa dalam tiga bulan berturut-turut kita mengalami deflasi yang disumbang oleh harga barang yang bergejolak atau volatile foods, produk ternak, dan hortikultura,” jelasnya. (Baca juga: Cukupi Nutrisi si Kecil di Masa Pandemi)
Guru besar Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, sektor pertanian masih mampu tumbuh positif sebesar 16,24% pada kuartal II/2020 meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 5,32%.
“Walaupun sektor pertanian masih positif, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya itu turun juga. Data dari tahun ke tahun juga menunjukkan jumlah pekerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu Dwi Andreas mengingatkan Indonesia agar mewaspadai ancaman impor pangan. Dia menilai Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tidak mendukung kedaulatan pangan. Menurut dia, kemudahan impor akan semakin menekan petani Indonesia.
“Kami lihat pasal-pasal terkait pertanian, Indonesia saat ini mengintegrasikan secara total pangan Indonesia dengan pangan dunia internasional sehingga kemungkinan besar impor pangan kita dari luar negeri ke depan semakin lama akan semakin tinggi,” ujarnya. (Baca juga: Waspadai Politik Uang Jelang Pilkada Serentak)
Andreas melanjutkan, matinya petani bawang putih di dalam negeri juga karena dibukanya keran impor bawang putih dari China. Apalagi biaya produksi di China hanya sepertiga dari biaya produksi di Indonesia. Padahal di akhir tahun 1990-an Indonesia mulai swasembada bawang putih.
“Kita juga hampir pernah swasembada kedelai di tahun 1990-an, lalu tahun 2000-an dibuka impor kedelai dari Amerika Serikat (AS). Bahkan importir Indonesia mendapatkan fasilitas dari Pemerintah AS untuk mengimpor kedelai dari Amerika,” ungkapnya.
Belum lagi harga kedelai impor hanya setengahnya dari biaya produksi kedelai di Indonesia. “Akhirnya petani kedelai kita mati juga. Sekarang sangat sedikit petani kedelai yang menanam kedelai. Hampir 70–80% produksi kedelai kita dipenuhi dari impor,” imbuhnya. (Lihat videonya: Napi WNA Kabur dari Lapas Tangerang Ditemukan Tewas di Bogor)
Andreas menuturkan, pemerintah juga perlu mewaspadai produksi petani gula. Jika dibiarkan, diperkirakan dalam lima tahun lagi tidak akan ada lagi petani tebu rakyat. “Sudah tidak ada lagi petani tanam tebu dan hampir 100% akan kita penuhi dari impor. Garam dan sebagainya juga begitu,” tuturnya. (Oktiani Endarwati)
Ironis memang. Para petani yang telah memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional luput dari perhatian pemerintah. Padahal di saat pandemi corona (Covid-19) meluluhlantakkan perekonomian Indonesia, sektor pertanian tampil sebagai pahlawan. (Baca: Mereka Mati Mengenaskan Setelah Menghina Nabi Muhammad SAW)
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada kuartal II/2020 sektor pertanian tumbuh positif 16,24% (q-to-q) dan 2,19% (yoy). Padahal secara nasional, perekonomian mengalami kontraksi sebesar 5,32%. Jika tak ditopang sektor pertanian yang tumbuh positif, bisa dipastikan perekonomian secara nasional bisa terkontraksi lebih dalam lagi.
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan anggaran PEN antara lain dialokasikan untuk mendukung konsumsi Program Keluarga Harapan (PKH), sembako, bansos Jabodetabek dan non-Jabodetabek, Kartu Prakerja, diskon listrik, logistik pangan sembako, untuk rumah tangga miskin rentan serta terdampak sebesar Rp174,1 triliun.
Selanjutnya untuk subsidi bunga BPR, perbankan, dan perusahaan pembiayaan, KUR, UMi, Mekaar, pegadaian, UMKM online, LPDB, dan koperasi senilai Rp34,15 triliun. Untuk insentif perpajakan dianggarkan Rp123,01 triliun, subsidi bahan bakar nabati (BBN) Rp2,78 triliun, percepatan pembayaran kompensasi BUMN Rp90,42 triliun.
Kementerian dan lembaga (K/L) juga kebagian dana PEN sebesar Rp 65,10 triliun, pemda Rp15,1 triliun, penjaminan untuk kredit modal kerja UMKM dapat Rp6 triliun, penyertaan modal negara (PMN) ke BUMN sebesar Rp25,27 triliun, talangan investasi untuk modal kerja Rp19,65 triliun, dan penempatan dana pemerintah di perbankan dalam rangka restrukturisasi kredit UMKM Rp87,59 triliun. (Baca juga: Kemendikbud Akan Kembangkan SMK untuk Bangun Desa)
“Tidak ada yang dialirkan secara khusus untuk petani,” ujar pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (Aekpi) Khudori dalam webinar, Jumat (16/10/2020).
Menurut Khudori, produksi pangan sejauh ini relatif baik dan belum serius terganggu oleh Covid-19. Hal ini karena Indonesia diuntungkan kemarau basah.
Khudori menghitung ada sekitar Rp167 triliun dana PEN digunakan untuk bantuan berupa pangan dan kebutuhan pokok, tetapi produksi petani tidak terserap. “Mestinya ini bisa dikoneksikan agar dana PEN ini yang sebagian besar bansos dimanfaatkan menyerap produk petani,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, tidak terserapnya hasil produksi petani perlu perhatian serius pemerintah. Jika hasil produksi tidak terjual, petani tidak punya modal melanjutkan usaha tani. Kontinuitas produksi pangan bisa menjadi terancam.
Memang ada upaya dari Kementerian Pertanian (Kementan) dan pemerintah daerah, tetapi sangat sporadis dan tidak terstruktur. “Itulah kenapa dalam tiga bulan berturut-turut kita mengalami deflasi yang disumbang oleh harga barang yang bergejolak atau volatile foods, produk ternak, dan hortikultura,” jelasnya. (Baca juga: Cukupi Nutrisi si Kecil di Masa Pandemi)
Guru besar Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, sektor pertanian masih mampu tumbuh positif sebesar 16,24% pada kuartal II/2020 meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 5,32%.
“Walaupun sektor pertanian masih positif, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya itu turun juga. Data dari tahun ke tahun juga menunjukkan jumlah pekerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu Dwi Andreas mengingatkan Indonesia agar mewaspadai ancaman impor pangan. Dia menilai Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tidak mendukung kedaulatan pangan. Menurut dia, kemudahan impor akan semakin menekan petani Indonesia.
“Kami lihat pasal-pasal terkait pertanian, Indonesia saat ini mengintegrasikan secara total pangan Indonesia dengan pangan dunia internasional sehingga kemungkinan besar impor pangan kita dari luar negeri ke depan semakin lama akan semakin tinggi,” ujarnya. (Baca juga: Waspadai Politik Uang Jelang Pilkada Serentak)
Andreas melanjutkan, matinya petani bawang putih di dalam negeri juga karena dibukanya keran impor bawang putih dari China. Apalagi biaya produksi di China hanya sepertiga dari biaya produksi di Indonesia. Padahal di akhir tahun 1990-an Indonesia mulai swasembada bawang putih.
“Kita juga hampir pernah swasembada kedelai di tahun 1990-an, lalu tahun 2000-an dibuka impor kedelai dari Amerika Serikat (AS). Bahkan importir Indonesia mendapatkan fasilitas dari Pemerintah AS untuk mengimpor kedelai dari Amerika,” ungkapnya.
Belum lagi harga kedelai impor hanya setengahnya dari biaya produksi kedelai di Indonesia. “Akhirnya petani kedelai kita mati juga. Sekarang sangat sedikit petani kedelai yang menanam kedelai. Hampir 70–80% produksi kedelai kita dipenuhi dari impor,” imbuhnya. (Lihat videonya: Napi WNA Kabur dari Lapas Tangerang Ditemukan Tewas di Bogor)
Andreas menuturkan, pemerintah juga perlu mewaspadai produksi petani gula. Jika dibiarkan, diperkirakan dalam lima tahun lagi tidak akan ada lagi petani tebu rakyat. “Sudah tidak ada lagi petani tanam tebu dan hampir 100% akan kita penuhi dari impor. Garam dan sebagainya juga begitu,” tuturnya. (Oktiani Endarwati)
(ysw)