Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf, Utang Menumpuk hingga Kemiskinan Jadi 'Warisan'
loading...
A
A
A
JAKARTA - Satu tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin memimpin Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi sorotan. Yakni di antaranya utang yang terus menumpuk hingga angka kemiskinan yang trennya meningkat terus.
(Baca Juga: Sri Mulyani Pamer Rasio Utang RI Masih Lebih Baik dari China, AS dan Thailand )
Berdasarkan laporan International Debt Statistics (IDS) 2021 atau Statistik Utang Internasional yang dirilis Bank Dunia, Indonesia masuk ke dalam daftar 7 negara berpendapatan kecil-menengah dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar di dunia.
Beban ULN Indonesia jauh lebih besar dari Argentina, Afrika Selatan dan Thailand. Indonesia tercatat menempati urutan ke-7 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam ULN yakni USD402 miliar.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menanggapi hal tersebut. Dia menilai, di tengah situasi pandemi Covid-19, pemerintah justru terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas, langkah itu rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah.
(Baca Juga: Utang Luar Negeri RI Tembus Rp5.940 T, Stafsus Sri Mulyani: Negara Akan Mampu Membayar )
Di mana, pada tahun ini pemerintah telah menerbitkan global bond sebesar USD4,3 miliar dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun. Dengan demikian, pemerintah sedang mewarisi utang pada generasi kedepan.
"Setiap satu orang penduduk di era pemerintahan Jokowi-Maa’ruf Amin tercatat menanggung utang Rp20,5 juta karena utang pemerintah Rp5.594,9 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk Indonesia," ujar Bhima kepada MNC Media di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Sementara itu, Debt to Service Ratio (DSR) berada di level 29.5% atau terus memburuk pada kuartal ke II 2020. DSR merupakan indikator kemampuan bayar utang luar negeri.
Bima juga mencatat sejumlah masalah ekonomi yang terjadi saat ini. Kata dia, ULN Indonesia semakin tinggi pada saat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan. Pada kuartal II 2020, pertumbuhan ekonomi hingga menyentuh minus 5,32%, akibat terlambatnya penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah.
Sementara China yang merupakan negara asal pandemi justru mencatatkan pertumbuhan positif di angka 3,2% di periode yang sama. Vietnam juga tumbuh positif 0,3% karena adanya respon cepat pada pemutusan rantai pandemi, dengan lakukan lockdown dan merupakan negara pertama yang memutus penerbangan udara dengan China.
Di sisi lain, stimulus kesehatan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hanya dialokasikan 12% sementara korporasi mendapatkan 24 persen dari program stimulus tersebut. "Ini ada ketimpangan yang nyata antara penyelamatan kesehatan dibandingkan ekonomi," kata dia.
(Baca Juga: Siap-siap Resesi, Penduduk Miskin Bisa Bertambah 1,2 Juta )
Permasalahan lain yang dicatat Bhima adalah, tren kemiskinan dalam negeri yang terus membengkak. Bahkan, diperkirakan mencapai lebih dari 12-15% akibat jumlah orang miskin baru yang meningkat. Berdasarkan Data Bank Dunia, terdapat 115 juta kelas menengah rentan miskin yang dapat turun kelas akibat bencana termasuk pandemi Covid19.
Di saat bersamaan justru banyak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Diperkirakan jumlah karyawan yang di PHK dan dirumahkan mencapai 15 juta orang. Dia bilang, dari hasil survei Asian Development Bank (ADB) menunjukkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia terus lakukan pengurangan karyawan setiap bulannya.
"Situasi di tahun 2020 sangat berbeda dari krisis 1998 dan 2008 dimana PHK di sektor formal dapat ditampung di sektor informal UMKM. Saat ini 90 persen UMKM membutuhkan bantuan finansial untuk memulai usahanya kembali," kata dia.
(Baca Juga: Sri Mulyani Pamer Rasio Utang RI Masih Lebih Baik dari China, AS dan Thailand )
Berdasarkan laporan International Debt Statistics (IDS) 2021 atau Statistik Utang Internasional yang dirilis Bank Dunia, Indonesia masuk ke dalam daftar 7 negara berpendapatan kecil-menengah dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar di dunia.
Beban ULN Indonesia jauh lebih besar dari Argentina, Afrika Selatan dan Thailand. Indonesia tercatat menempati urutan ke-7 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam ULN yakni USD402 miliar.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menanggapi hal tersebut. Dia menilai, di tengah situasi pandemi Covid-19, pemerintah justru terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas, langkah itu rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah.
(Baca Juga: Utang Luar Negeri RI Tembus Rp5.940 T, Stafsus Sri Mulyani: Negara Akan Mampu Membayar )
Di mana, pada tahun ini pemerintah telah menerbitkan global bond sebesar USD4,3 miliar dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun. Dengan demikian, pemerintah sedang mewarisi utang pada generasi kedepan.
"Setiap satu orang penduduk di era pemerintahan Jokowi-Maa’ruf Amin tercatat menanggung utang Rp20,5 juta karena utang pemerintah Rp5.594,9 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk Indonesia," ujar Bhima kepada MNC Media di Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Sementara itu, Debt to Service Ratio (DSR) berada di level 29.5% atau terus memburuk pada kuartal ke II 2020. DSR merupakan indikator kemampuan bayar utang luar negeri.
Bima juga mencatat sejumlah masalah ekonomi yang terjadi saat ini. Kata dia, ULN Indonesia semakin tinggi pada saat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan. Pada kuartal II 2020, pertumbuhan ekonomi hingga menyentuh minus 5,32%, akibat terlambatnya penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah.
Sementara China yang merupakan negara asal pandemi justru mencatatkan pertumbuhan positif di angka 3,2% di periode yang sama. Vietnam juga tumbuh positif 0,3% karena adanya respon cepat pada pemutusan rantai pandemi, dengan lakukan lockdown dan merupakan negara pertama yang memutus penerbangan udara dengan China.
Di sisi lain, stimulus kesehatan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hanya dialokasikan 12% sementara korporasi mendapatkan 24 persen dari program stimulus tersebut. "Ini ada ketimpangan yang nyata antara penyelamatan kesehatan dibandingkan ekonomi," kata dia.
(Baca Juga: Siap-siap Resesi, Penduduk Miskin Bisa Bertambah 1,2 Juta )
Permasalahan lain yang dicatat Bhima adalah, tren kemiskinan dalam negeri yang terus membengkak. Bahkan, diperkirakan mencapai lebih dari 12-15% akibat jumlah orang miskin baru yang meningkat. Berdasarkan Data Bank Dunia, terdapat 115 juta kelas menengah rentan miskin yang dapat turun kelas akibat bencana termasuk pandemi Covid19.
Di saat bersamaan justru banyak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Diperkirakan jumlah karyawan yang di PHK dan dirumahkan mencapai 15 juta orang. Dia bilang, dari hasil survei Asian Development Bank (ADB) menunjukkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia terus lakukan pengurangan karyawan setiap bulannya.
"Situasi di tahun 2020 sangat berbeda dari krisis 1998 dan 2008 dimana PHK di sektor formal dapat ditampung di sektor informal UMKM. Saat ini 90 persen UMKM membutuhkan bantuan finansial untuk memulai usahanya kembali," kata dia.
(akr)