Transformasi Industri 4.0 Pacu Produktivitas Saat Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah sektor manufaktur saat ini mulai melakukan transformasi bisnis, terutama yang mengarah pada penerapan industri 4.0. Hal ini didorong oleh upaya peningkatan produktivitas secara lebih efisien, apalagi di tengah fase adaptasi kebiasaan baru akibat dampak pandemi Covid-19.
“Kinerja transformasi sekarang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing suatu negara,” kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Dody Widodo pada Webinar of Industrial Powerhouse in the Making: Invest in Industry 4.0 at Horizon 1, Kamis (22/10/2020).
Kemenperin mencatat, produktivitas industri manufaktur di dalam negeri mulai membaik, setelah sempat terpukul akibat pandemi Covid-19. Per September 2020, utilisasi sektor manufaktur mencapai 55,3% atau naik 15-25% dari sebelumnya yang berada di angka 30-40% saat awal pandemi Covid-19.
Dirjen KPAII menuturkan, perubahan menuju digitalisasi yang efisien dan efektif akan menghubungkan perusahaan dengan pasar domestik dan internasional melalui jaringan rantai suplai yang terintegrasi. “Sebaliknya, negara-negara yang memiliki karakteristik kinerja transformasi rendah akan menghadapi biaya tinggi karena kapasitas dan efisiensi yang tidak dapat diandalkan, serta juga terjadinya hambatan utama dalam mengintegrasikan dan bersaing dalam rantai pasokan dan nilai global,” paparnya.
Tidak dapat dipungkiri, peran internet telah mengubah cara berbisnis saat ini, termasuk di sektor industri. “Industri 4.0 mendorong peningkatan tren otomatisasi, seperti melalui Internet of Things (IoT), antarmuka mesin-ke-mesin dan manusia-ke-mesin, kecerdasan buatan, digitalisasi di bidang manufaktur, dan teknologi canggih lainnya,” ungkap Dody.
Menurutnya, pergeseran paradigma baru di bidang manufaktur saat ini adalah hasil dari penggunaan internet yang memungkinkan komunikasi antara mesin satu sama lain dan manusia secara real-time. “Maka itu, sekarang kita semakin mengenal smart products and smart services,” imbuhnya.
Dody menegaskan, dalam upaya kesiapan memasuki era industri 4.0, pemerintah telah meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0 pada tahun 2018 lalu oleh Presiden Joko Widodo. Awalnya, ada lima sektor yang mendapat prioritas pengembangan, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, serta kimia.
Namun adanya pandemi Covid-19, memberikan pelajaran bagi Kemenperin untuk menambahkan dua sektor potensial yang dimasukkan ke dalam program Making Indonesia 4.0, yaitu industri farmasi dan alat kesehatan. Kedua sektor tersebut mampu berkinerja baik dan mengalami permintaan produk yang cukup tinggi saat masa pandemi. “Jadi, saat ini ada tujuh sektor yang menjadi prioritas. Ketujuh sektor tersebut merupakan sektor kunci dalam ekonomi dunia dan Indonesia harus menjadi salah satu pemain global utama di sektor-sektor unggulan tersebut,” jelas Dody.
Dengan demikian, ketujuh sektor tersebut diharapkan dapat meningkatkan ekspor Indonesia di masa mendatang dan mendorong kontribusi sektor manufaktur dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. “Target utamanya adalah Indonesia bisa masuk dalam 10 besar negara yang memiliki ekonomi terkuat di dunia pada tahun 2030,” tandasnya.
“Kinerja transformasi sekarang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing suatu negara,” kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Dody Widodo pada Webinar of Industrial Powerhouse in the Making: Invest in Industry 4.0 at Horizon 1, Kamis (22/10/2020).
Kemenperin mencatat, produktivitas industri manufaktur di dalam negeri mulai membaik, setelah sempat terpukul akibat pandemi Covid-19. Per September 2020, utilisasi sektor manufaktur mencapai 55,3% atau naik 15-25% dari sebelumnya yang berada di angka 30-40% saat awal pandemi Covid-19.
Dirjen KPAII menuturkan, perubahan menuju digitalisasi yang efisien dan efektif akan menghubungkan perusahaan dengan pasar domestik dan internasional melalui jaringan rantai suplai yang terintegrasi. “Sebaliknya, negara-negara yang memiliki karakteristik kinerja transformasi rendah akan menghadapi biaya tinggi karena kapasitas dan efisiensi yang tidak dapat diandalkan, serta juga terjadinya hambatan utama dalam mengintegrasikan dan bersaing dalam rantai pasokan dan nilai global,” paparnya.
Tidak dapat dipungkiri, peran internet telah mengubah cara berbisnis saat ini, termasuk di sektor industri. “Industri 4.0 mendorong peningkatan tren otomatisasi, seperti melalui Internet of Things (IoT), antarmuka mesin-ke-mesin dan manusia-ke-mesin, kecerdasan buatan, digitalisasi di bidang manufaktur, dan teknologi canggih lainnya,” ungkap Dody.
Menurutnya, pergeseran paradigma baru di bidang manufaktur saat ini adalah hasil dari penggunaan internet yang memungkinkan komunikasi antara mesin satu sama lain dan manusia secara real-time. “Maka itu, sekarang kita semakin mengenal smart products and smart services,” imbuhnya.
Dody menegaskan, dalam upaya kesiapan memasuki era industri 4.0, pemerintah telah meluncurkan peta jalan Making Indonesia 4.0 pada tahun 2018 lalu oleh Presiden Joko Widodo. Awalnya, ada lima sektor yang mendapat prioritas pengembangan, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, serta kimia.
Namun adanya pandemi Covid-19, memberikan pelajaran bagi Kemenperin untuk menambahkan dua sektor potensial yang dimasukkan ke dalam program Making Indonesia 4.0, yaitu industri farmasi dan alat kesehatan. Kedua sektor tersebut mampu berkinerja baik dan mengalami permintaan produk yang cukup tinggi saat masa pandemi. “Jadi, saat ini ada tujuh sektor yang menjadi prioritas. Ketujuh sektor tersebut merupakan sektor kunci dalam ekonomi dunia dan Indonesia harus menjadi salah satu pemain global utama di sektor-sektor unggulan tersebut,” jelas Dody.
Dengan demikian, ketujuh sektor tersebut diharapkan dapat meningkatkan ekspor Indonesia di masa mendatang dan mendorong kontribusi sektor manufaktur dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. “Target utamanya adalah Indonesia bisa masuk dalam 10 besar negara yang memiliki ekonomi terkuat di dunia pada tahun 2030,” tandasnya.
(nng)