Jadi Beban Petani hingga Industri, PKB Tolak Kenaikan Cukai Rokok
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan tegas menolak semua regulasi yang memusuhi dan mematikan kelangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT), menyusul rencana pemerintah untuk kembali menaikkan cukai rokok tahun depan . Sekretaris Jenderal PKB, Hasanuddin Wahid menegaskan, IHT adalah warisan hasil kebudayaan nasional yang harus dilindungi dan dikembangkan agar memberikan kontribusi yang maksimal bagi bangsa dan negara.
"Jadi segala bentuk aturan yang merugikan IHT, termasuk di dalamnya para petani, harus segera dihentikan, bukan malah dicari celahnya seperti mengambil pajak atau penerapan cukai yang tinggi. Ini berkaitan erat dengan para petani yang ada di desa-desa dan itu sebagian besar warga PKB," kata Hasanuddin dalam keterangan resminya, Selasa (27/10/2020).
Dia menambahkan, PMK No. 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 sangat mengancam IHT. Pasalnya, aturan itu mengatur simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi. Menurut Hasanuddin, kebijakan simplifikasi dan kenaikan tarif cukai dampaknya serapan produk tembakau rendah dan mengancam eksistensi pabrik rokok. Juga tenaga kerja, petani, dan buruh rokok kena dampaknya.
"Dampaknya akan sangat panjang, bahkan termasuk para pengecer dan yang lainnya. Masalah kesehatan nasional tidak hanya disebabkan rokok, ada banyak faktor yang memengaruhi seperti lingkungan, buruknya sanitasi, dan polusi udara dari kendaraan maupun pabrik," kata dia. Hasanuddin mengaku heran, mengapa industri lain seperti plastik tidak dibebani cukai yang tinggi, padahal produsen plastik itu kan usaha skala atas semua. "Tetapi, ini yang terkait petani (tembakau) selalu diobok-obok!," cetus dia.
Menurut dia, dengan kebijakan 10 layer (penarikan cukai rokok) seperti saat ini, sudah cukup baik. Karena mampu mewadahi berbagai kelas pabrikan rokok dari yang besar, menengah, dan kecil. Dia melanjutkan, produsen kecil dan pabrikan kretek yang notabene warisan nusantara tak akan bertahan jika dihadapkan dengan produsen besar.
Hitungannya, ada sekitar 500 pabrik rokok, dan 90-an persen masuk kategori menengah kecil. Jika kebijakan ini tetap berlangsung, mayoritas pabrik rokok gulung tikar. Alhasil, jutaan masyarakat menjadi pengangguran baru. Ketimbang terus mengobok-obok IHT, Hasanuddin meminta pemerintah mereformasi fiskal di sektor lain. "Jika alasannya menutup kekurangan APBN, pemerintah bisa menarik pajak yang lebih tinggi dari sektor lain," tegasnya.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR-RI, Luluk Nur Hamidah menegaskan, pemerintah harus melindungi IHT dan para petani tembakau. Menurutnya, pemerintah harus berani tegas menolak aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang coba diterapkan secara ketat di Indonesia. Dalam klausul FCTC, kata Luluk, tembakau diindikasikan sebagai komoditas negatif karena mengakibatkan kecanduan (adiktif). "Hal ini tidak adil karena keputusan ini dilakukan tanpa adanya riset dan pengembangan penelitian terlebih dahulu," tegasnya.
Jamak diketahui, FCTC merupakan agenda asing untuk mengontrol Indonesia, karena dengan melemahkan IHT dan turunannya, maka penerimaan pajak akan ikut menurun. "Kalau pajak terus dinaikkan, maka industri akan mati, kalau industri mati maka petani juga ikut mati," tegas Luluk.
Legislator PKB itu mengungkapkan, apabila rokok itu harus dilarang, bukan berarti tembakau sebagai komoditas perkebunan harus diberangus, karena komoditas tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku lain. "Contohya, ditengah pandemi ini, vaksin dari beberapa negara seperti Tiongkok dan Inggris ternyata kandungan terbesarnya berasal dari tembakau," paparnya.
Luluk mengingatkan bahwa tembakau adalah tanaman khusus yang memerlukan suhu, tanah dan bentuk perawatan lain yang khas. "Jadi sangat aneh kalau pemerintah terus menaikkan pajak serta cukai yang berdampak mematikan para petani," ujarnya.
Mengenai simplifikasi, Luluk menolak rencana Menteri Keuangan yang akan melakukan simplifikasi cukai di tahun depan tersebut. "Sebab jika dilakukan, maka akan berdampak buruk kepada industri rokok dan kesejahteraan petani tembakau," jelasnya.
Menurutnya, kebijakan penyederhanaan tarif cukai juga hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar. Padahal kewajiban pemerintah melindungi semua industri rokok baik skala menengah, kecil, termasuk para petani tembakau.
Berdasarkan hasil kajiannya, kebijakan penerapan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok akan berdampak pada beberapa hal. Pertama, pabrikan kecil tidak akan mampu bertahan apabila berhadapan dengan pabrikan besar secara langsung atau head to head. "Dampak serius lainnya adalah pabrikan kretek yang merupakan produk yang sangat besar dan khas dari Indonesia, warisan nusantara, yang tinggal satu-satunya, tidak akan mampu untuk bertahan," kata dia.
Apabila PMK 77/2020 ini jadi diterapkan, sambungnya, serapan bahan baku yang dihasilkan para petani tembakau berkurang hingga 30 persen. Di samping itu, harga jual tembakau dari petani juga akan turun. Hal ini akan berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan petani tembakau.
"PMK 77/2020 ini akan menggerus dan bahkan membuat pabrikan rokok menengah kecil ini berguguran. Jutaan tenaga kerja atau buruh industri rokok khususnya dari kalangan wanita akan kehilangan mata pencaharian. Jadi hal ini nanti akan menciptakan cycle atau lingkaran penderitaan yang berlapis-lapis," ungkap Luluk.
Ia menyebutkan, cukai rokok sebenarnya sudah dinaikan sebanyak 23 persen pada akhir 2019 dan diberlakukan pada 2020. Apabila tahun depan dinaikkan kembali, akan sangat memberatkan pelaku pabrikan menengah kecil serta petani tembakau lokal di saat semua pelaku ekonomi sedang berjuang menghadapi resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19.
"Kami dari Komisi IV DPR dan Fraksi PKB akan segera mengambil tindakan untuk melakukan langkah-langkah apa saja yang diperlukan untuk membatalkan PMK 77/2020 tersebut," ancam Luluk.
Luluk menegaskan bahwa fakta tahun lalu, harga tembakau turun drastis karena kebijakan kenaikan cukai rokok sebelumnya. "Sekarang dengan PMK ini juga di tengah masa pandemi covid-19, saya rasa sangat tidak tepat kalau ini mau diterapkan. Seharusnya pemerintah justru memberikan perlindungan kepada industri rokok dan petani tembakau," tutup Luluk.
"Jadi segala bentuk aturan yang merugikan IHT, termasuk di dalamnya para petani, harus segera dihentikan, bukan malah dicari celahnya seperti mengambil pajak atau penerapan cukai yang tinggi. Ini berkaitan erat dengan para petani yang ada di desa-desa dan itu sebagian besar warga PKB," kata Hasanuddin dalam keterangan resminya, Selasa (27/10/2020).
Dia menambahkan, PMK No. 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 sangat mengancam IHT. Pasalnya, aturan itu mengatur simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi. Menurut Hasanuddin, kebijakan simplifikasi dan kenaikan tarif cukai dampaknya serapan produk tembakau rendah dan mengancam eksistensi pabrik rokok. Juga tenaga kerja, petani, dan buruh rokok kena dampaknya.
"Dampaknya akan sangat panjang, bahkan termasuk para pengecer dan yang lainnya. Masalah kesehatan nasional tidak hanya disebabkan rokok, ada banyak faktor yang memengaruhi seperti lingkungan, buruknya sanitasi, dan polusi udara dari kendaraan maupun pabrik," kata dia. Hasanuddin mengaku heran, mengapa industri lain seperti plastik tidak dibebani cukai yang tinggi, padahal produsen plastik itu kan usaha skala atas semua. "Tetapi, ini yang terkait petani (tembakau) selalu diobok-obok!," cetus dia.
Menurut dia, dengan kebijakan 10 layer (penarikan cukai rokok) seperti saat ini, sudah cukup baik. Karena mampu mewadahi berbagai kelas pabrikan rokok dari yang besar, menengah, dan kecil. Dia melanjutkan, produsen kecil dan pabrikan kretek yang notabene warisan nusantara tak akan bertahan jika dihadapkan dengan produsen besar.
Hitungannya, ada sekitar 500 pabrik rokok, dan 90-an persen masuk kategori menengah kecil. Jika kebijakan ini tetap berlangsung, mayoritas pabrik rokok gulung tikar. Alhasil, jutaan masyarakat menjadi pengangguran baru. Ketimbang terus mengobok-obok IHT, Hasanuddin meminta pemerintah mereformasi fiskal di sektor lain. "Jika alasannya menutup kekurangan APBN, pemerintah bisa menarik pajak yang lebih tinggi dari sektor lain," tegasnya.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR-RI, Luluk Nur Hamidah menegaskan, pemerintah harus melindungi IHT dan para petani tembakau. Menurutnya, pemerintah harus berani tegas menolak aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang coba diterapkan secara ketat di Indonesia. Dalam klausul FCTC, kata Luluk, tembakau diindikasikan sebagai komoditas negatif karena mengakibatkan kecanduan (adiktif). "Hal ini tidak adil karena keputusan ini dilakukan tanpa adanya riset dan pengembangan penelitian terlebih dahulu," tegasnya.
Jamak diketahui, FCTC merupakan agenda asing untuk mengontrol Indonesia, karena dengan melemahkan IHT dan turunannya, maka penerimaan pajak akan ikut menurun. "Kalau pajak terus dinaikkan, maka industri akan mati, kalau industri mati maka petani juga ikut mati," tegas Luluk.
Legislator PKB itu mengungkapkan, apabila rokok itu harus dilarang, bukan berarti tembakau sebagai komoditas perkebunan harus diberangus, karena komoditas tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku lain. "Contohya, ditengah pandemi ini, vaksin dari beberapa negara seperti Tiongkok dan Inggris ternyata kandungan terbesarnya berasal dari tembakau," paparnya.
Luluk mengingatkan bahwa tembakau adalah tanaman khusus yang memerlukan suhu, tanah dan bentuk perawatan lain yang khas. "Jadi sangat aneh kalau pemerintah terus menaikkan pajak serta cukai yang berdampak mematikan para petani," ujarnya.
Mengenai simplifikasi, Luluk menolak rencana Menteri Keuangan yang akan melakukan simplifikasi cukai di tahun depan tersebut. "Sebab jika dilakukan, maka akan berdampak buruk kepada industri rokok dan kesejahteraan petani tembakau," jelasnya.
Menurutnya, kebijakan penyederhanaan tarif cukai juga hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar. Padahal kewajiban pemerintah melindungi semua industri rokok baik skala menengah, kecil, termasuk para petani tembakau.
Berdasarkan hasil kajiannya, kebijakan penerapan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok akan berdampak pada beberapa hal. Pertama, pabrikan kecil tidak akan mampu bertahan apabila berhadapan dengan pabrikan besar secara langsung atau head to head. "Dampak serius lainnya adalah pabrikan kretek yang merupakan produk yang sangat besar dan khas dari Indonesia, warisan nusantara, yang tinggal satu-satunya, tidak akan mampu untuk bertahan," kata dia.
Apabila PMK 77/2020 ini jadi diterapkan, sambungnya, serapan bahan baku yang dihasilkan para petani tembakau berkurang hingga 30 persen. Di samping itu, harga jual tembakau dari petani juga akan turun. Hal ini akan berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan petani tembakau.
"PMK 77/2020 ini akan menggerus dan bahkan membuat pabrikan rokok menengah kecil ini berguguran. Jutaan tenaga kerja atau buruh industri rokok khususnya dari kalangan wanita akan kehilangan mata pencaharian. Jadi hal ini nanti akan menciptakan cycle atau lingkaran penderitaan yang berlapis-lapis," ungkap Luluk.
Ia menyebutkan, cukai rokok sebenarnya sudah dinaikan sebanyak 23 persen pada akhir 2019 dan diberlakukan pada 2020. Apabila tahun depan dinaikkan kembali, akan sangat memberatkan pelaku pabrikan menengah kecil serta petani tembakau lokal di saat semua pelaku ekonomi sedang berjuang menghadapi resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19.
"Kami dari Komisi IV DPR dan Fraksi PKB akan segera mengambil tindakan untuk melakukan langkah-langkah apa saja yang diperlukan untuk membatalkan PMK 77/2020 tersebut," ancam Luluk.
Luluk menegaskan bahwa fakta tahun lalu, harga tembakau turun drastis karena kebijakan kenaikan cukai rokok sebelumnya. "Sekarang dengan PMK ini juga di tengah masa pandemi covid-19, saya rasa sangat tidak tepat kalau ini mau diterapkan. Seharusnya pemerintah justru memberikan perlindungan kepada industri rokok dan petani tembakau," tutup Luluk.
(nng)