Program Relaksasi OJK Jaga Keberlangsungan UMKM di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Dengan penuh semangat, perempuan paruh baya itu bercerita betapa besarnya peran program relaksasi kredit yang diberikan Bank Wakaf Mikro (BWM) Ummul Mukminin ‘Aisyiyah padanya.
Dia adalah Fitriani, 32 tahun. Ia sehari-hari bekerja sebagai penjual nasi kuning, di Jalan Pepabri, Kawasan Sudiang, Kecamatan Biringkanaya, Makassar, Sulawesi Selatan.
Baginya program relaksasi kredit atau penundaan pembayaran cicilan kredit yang diberikan sangat membantu usahanya bisa tetap eksis. Jika tidak, entah dari mana bisa mencari tambahan pembayaran kredit di tengah lesunya usaha nasi kuning miliknya.
Fitriani merupakan nasabah BWM Ummul Mukminin ‘Aisyiyah. Ia sudah setahun menjadi debitur di bank tersebut.
“Saya kredit di BWM Ummul Mukminin ‘Aisyiyah sebesar Rp1,5 juta dengan tenor selama 40 minggu. Kredit dipakai untuk modal usaha nasi kuning. Sebelumnya juga pernah ambil kredit, Alhamdulillah lancar. Barulah kali ini agak mandek karena COVID-19 , makanya sangat bersyukur ada kebijakan bisa menunda pembayaran cicilan sampai akhir tahun,” ujarnya, saat dihubungi.
Dia mengaku, dengan program tersebut membuatnya tidak was-was, karena pemasukan usaha nasi kuningnya tidak seperti biasanya. Apalagi, cicilan yang dibayarkan perminggunya Rp37.500 sementara pemasukan kadang tidak sesuai harapan.
Program relaksasi yang dirasakan Fitriani melalui BWM Ummul Mukminin ‘Aisyiyah tidak lepas dari kebijakan yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) . Melalui Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 pada 16 Maret 2020.
Bahkan, OJK memutuskan memperpanjang kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang tertuang dalam POJK No.11/POJK.03/2020 selama setahun. Relaksasi yang sebelumnya bakal berakhir Maret 2021 tersebut masih akan berlaku hingga Maret 2022.
Perpanjangan itu dilakukan setelah memperhatikan asesmen terakhir yang dilakukan OJK terkait debitur restrukturisasi sejak diputuskannya rencana memperpanjang relaksasi ini pada saat rapat dewan komisioner OJK 23 September 2020 lalu.
Kepala OJK Regional 6 Sulawesi, Maluku dan Papua, Mohammad Nurdin Subandi menjelaskan, POJK ini mengatur relaksasi atas restrukturisasi kredit kepada debitur yang terdampak penyebaran COVID-19 , baik perorangan, UMKM, maupun korporasi. Skema restrukturisasi diserahkan kepada masing-masing bank sesuai dengan kebutuhan debitur dan kemampuan bank, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
“Bagi masyarakat, kebijakan restrukturisasi dapat meringankan beban masyarakat secara langsung karena dengan adanya kebijakan restruktur COVID-19 , kewajiban masyarakat sebagai debitur menjadi ringan. Bisa hanya membayar bunga/bagi hasil selama periode restruktur (evergreen), bisa cicilannya dikurangi, jangka waktu kreditnya ditambah, bahkan bisa tidak membayar pokok dan bunga selama periode restruktur, sesuai dengan skema yang disetujui LJK,” ujarnya, Senin (2/11/2020).
Sementara, bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK), restrukturisasi dilakukan dengan penetapan kualitas kredit langsung menjadi Lancar (Kol 1) sehingga LJK tidak perlu membentuk pencadangan yang seharusnya dibentuk akibat penurunan kualitas aset. Kebijakan ini ini memberikan relaksasi bagi LJK untuk dapat melakukan restrukturisasi kredit dengan penetapan kolektabilitas langsung menjadi "lancar".
Dia menuturkan, hingga 16 Oktober 2020, 29 Bank Umum Konvensional dan Syariah di Sulsel telah melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan bagi 203.254 debitur dengan baki debet sebesar Rp20,44 triliun. Selanjutnya 73 perusahaan pembiayaan telah melakukan restrukturisasi pembiayaan untuk 218.581 debitur dengan baki debet sebesar Rp7,70 triliun.
“Jumlah debitur dan baki debet restrukturisasi akan terus bertambah seiring dengan pengajuan oleh nasabah dan proses persetujuan restrukturisasi oleh LJK. Untuk menstimulasi pertumbuhan sektor riil, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemulihan ekonomi nasional (PEN), dengan menempatkan dana pada Bank HIMBARA dan Beberapa BPD untuk disalurkan sebagai penyediaan dana,” tuturnya.
Dalam penyaluran dana PEN, OJK berperan dalam memberikan memberikan informasi tingkat kesehatan bank bagi pemerintah sebelum pemerintah menempatkan dana di bank tersebut, serta mengawasi realisasi rencana bisnis bank atas dana PEN dimaksud. Adapun realisasi penyaluran dana PEN Sulsel sampai dengan 16 Oktober 2020 sebesar Rp6,30 triliun atau 112,22% dari target penyaluran dana PEN Sulsel yang sebesar Rp 5,62 triliun.
Mohammad Nurdin Subandi mengaku bersyukur, di tengah Pandemi COVID-19 yang memberikan tekanan terhadap permintaan agregat, total aset perbankan di Sulsel posisi September 2020 tumbuh 0,36% dengan nominal mencapai Rp153,31 triliun, pertumbuhan tersebut ditopang oleh pertumbuhan dana pihak ketiga yang cukup tinggi 8,77% menjadi Rp108,27 trilliun.
Namun demikian, efek COVID-19 terlihat dari pertumbuhan kredit yang terkoreksi -2,41% dengan nominal Rp122,35 triliun.
“Perlambatan pertumbuhan kredit tersebut disebabkan menurunnya permintaan (demand) kredit yang sejalan dengan melambatnya aktivitas perekonomian di Sulsel, perlambatan tersebut tercermin dari pertumbuhan PDRB Q2 yang terkoreksi -3,87% (BPS, Agustus 2020),” terangnya.
Tak hanya itu, bank menerapkan strategi selective growth untuk menjaga kualitas aset di tengah meningkatnya risiko kredit.
Hal tersebut mengindikasikan tata kelola kredit yang tetap prudent di tengah kegiatan ekonomi yang masih terbatas. Penyaluran kredit perbankan tersebut telah menyasar pada kelompok UMKM dengan pangsa yang cukup tinggi 34,27% dari total kredit. Sejalan dengan itu, kinerja penyaluran KUR di Sulsel juga terus meningkat. Adapun hingga September 2020, realisasi KUR telah mencapai Rp6,69 triliun yang disalurkan kepada 204.997 debitur. Dari segi kualitas aset, rasio NPL posisi September 2020 berada pada level 2,67% yang berada di bawah threshold sebesar 5%.
“Rasio NPL yang relatif rendah ditopang oleh kebijakan restrukturisasi kredit OJK yang salah satunya membantu perbaikan kualitas aset bank dari segi pencatatan pengakuan. Selanjutnya, kinerja intermediasi perbankan Sulawesi Selatan terjaga pada level yang optimal, tercermin pada indikator loan to deposit ratio 112,16%,”paparnya.
Terpisah, staf administrasi BWM Ummul Mukmini ‘Aisyiyah, Wiwiarti menjelaskan, relaksasi yang diberikan OJK juga menyelamatkan Bank Wakaf Mikro yang didirikan sejak Mei 2018 ini. Betapa tidak dengan total 440 debitur kesemuanya memanfaatkan program pinjaman modal usaha.
Di mana, jenis usahanyapun bermacam-macam dengan kredit yang diberikan mulai Rp1 juta hingga Rp3 juta dengan tenor 40 minggu hingga 50 minggu.
“OJK sangat membantu utamanya programnya yang sangat berpihak bagi usaha mikro kecil, seperti nasabah dari BWM yang memang sangat membutuhkan kebijakan utamanya untuk pembayaran cicilan tertunda melalui relaksasi,” tuturnya.
Dia memaparkan, total kredit yang disalurkan Rp495 juta dari jumlah tersebut sebanyak 140 debitur memanfaatkan relaksasi dengan penundaan pembayaran ada yang sampai Desember 2020.
“NPL kami sangat disyukuri di bawah ketentuan Bank Indonesia (BI) bahkan bisa dibilang 0,00%, sementara posisi aset saat ini Rp4,4 miliar,” paparnya.
Ketua Asosiasi UMKM Sulsel, Agus Khalik menyampaikan terima kasih atas kebijakan yang dikeluarkan OJK merelaksasi sejumlah kredit utamanya UMKM. Tentunya, hal itu dapat menjaga keberlangsungan usaha agar tidak terlilit kewajiban membayar cicilan di tengah lesunya penjualan saat ini.
“Tentu programnya bagus, karena adanya penundaan pembayaran cicilan ke bank. Hanya saja tentunya program ini benar-benar harus sesuai penerapannnya, karena kebanyakan ditemukan perbankan tidak menerapkan hal tersebut. Malah tetap menagih ke debiturnya,” harapnya.
Dia adalah Fitriani, 32 tahun. Ia sehari-hari bekerja sebagai penjual nasi kuning, di Jalan Pepabri, Kawasan Sudiang, Kecamatan Biringkanaya, Makassar, Sulawesi Selatan.
Baginya program relaksasi kredit atau penundaan pembayaran cicilan kredit yang diberikan sangat membantu usahanya bisa tetap eksis. Jika tidak, entah dari mana bisa mencari tambahan pembayaran kredit di tengah lesunya usaha nasi kuning miliknya.
Fitriani merupakan nasabah BWM Ummul Mukminin ‘Aisyiyah. Ia sudah setahun menjadi debitur di bank tersebut.
“Saya kredit di BWM Ummul Mukminin ‘Aisyiyah sebesar Rp1,5 juta dengan tenor selama 40 minggu. Kredit dipakai untuk modal usaha nasi kuning. Sebelumnya juga pernah ambil kredit, Alhamdulillah lancar. Barulah kali ini agak mandek karena COVID-19 , makanya sangat bersyukur ada kebijakan bisa menunda pembayaran cicilan sampai akhir tahun,” ujarnya, saat dihubungi.
Dia mengaku, dengan program tersebut membuatnya tidak was-was, karena pemasukan usaha nasi kuningnya tidak seperti biasanya. Apalagi, cicilan yang dibayarkan perminggunya Rp37.500 sementara pemasukan kadang tidak sesuai harapan.
Program relaksasi yang dirasakan Fitriani melalui BWM Ummul Mukminin ‘Aisyiyah tidak lepas dari kebijakan yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) . Melalui Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 pada 16 Maret 2020.
Bahkan, OJK memutuskan memperpanjang kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang tertuang dalam POJK No.11/POJK.03/2020 selama setahun. Relaksasi yang sebelumnya bakal berakhir Maret 2021 tersebut masih akan berlaku hingga Maret 2022.
Perpanjangan itu dilakukan setelah memperhatikan asesmen terakhir yang dilakukan OJK terkait debitur restrukturisasi sejak diputuskannya rencana memperpanjang relaksasi ini pada saat rapat dewan komisioner OJK 23 September 2020 lalu.
Kepala OJK Regional 6 Sulawesi, Maluku dan Papua, Mohammad Nurdin Subandi menjelaskan, POJK ini mengatur relaksasi atas restrukturisasi kredit kepada debitur yang terdampak penyebaran COVID-19 , baik perorangan, UMKM, maupun korporasi. Skema restrukturisasi diserahkan kepada masing-masing bank sesuai dengan kebutuhan debitur dan kemampuan bank, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
“Bagi masyarakat, kebijakan restrukturisasi dapat meringankan beban masyarakat secara langsung karena dengan adanya kebijakan restruktur COVID-19 , kewajiban masyarakat sebagai debitur menjadi ringan. Bisa hanya membayar bunga/bagi hasil selama periode restruktur (evergreen), bisa cicilannya dikurangi, jangka waktu kreditnya ditambah, bahkan bisa tidak membayar pokok dan bunga selama periode restruktur, sesuai dengan skema yang disetujui LJK,” ujarnya, Senin (2/11/2020).
Sementara, bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK), restrukturisasi dilakukan dengan penetapan kualitas kredit langsung menjadi Lancar (Kol 1) sehingga LJK tidak perlu membentuk pencadangan yang seharusnya dibentuk akibat penurunan kualitas aset. Kebijakan ini ini memberikan relaksasi bagi LJK untuk dapat melakukan restrukturisasi kredit dengan penetapan kolektabilitas langsung menjadi "lancar".
Dia menuturkan, hingga 16 Oktober 2020, 29 Bank Umum Konvensional dan Syariah di Sulsel telah melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan bagi 203.254 debitur dengan baki debet sebesar Rp20,44 triliun. Selanjutnya 73 perusahaan pembiayaan telah melakukan restrukturisasi pembiayaan untuk 218.581 debitur dengan baki debet sebesar Rp7,70 triliun.
“Jumlah debitur dan baki debet restrukturisasi akan terus bertambah seiring dengan pengajuan oleh nasabah dan proses persetujuan restrukturisasi oleh LJK. Untuk menstimulasi pertumbuhan sektor riil, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemulihan ekonomi nasional (PEN), dengan menempatkan dana pada Bank HIMBARA dan Beberapa BPD untuk disalurkan sebagai penyediaan dana,” tuturnya.
Dalam penyaluran dana PEN, OJK berperan dalam memberikan memberikan informasi tingkat kesehatan bank bagi pemerintah sebelum pemerintah menempatkan dana di bank tersebut, serta mengawasi realisasi rencana bisnis bank atas dana PEN dimaksud. Adapun realisasi penyaluran dana PEN Sulsel sampai dengan 16 Oktober 2020 sebesar Rp6,30 triliun atau 112,22% dari target penyaluran dana PEN Sulsel yang sebesar Rp 5,62 triliun.
Mohammad Nurdin Subandi mengaku bersyukur, di tengah Pandemi COVID-19 yang memberikan tekanan terhadap permintaan agregat, total aset perbankan di Sulsel posisi September 2020 tumbuh 0,36% dengan nominal mencapai Rp153,31 triliun, pertumbuhan tersebut ditopang oleh pertumbuhan dana pihak ketiga yang cukup tinggi 8,77% menjadi Rp108,27 trilliun.
Namun demikian, efek COVID-19 terlihat dari pertumbuhan kredit yang terkoreksi -2,41% dengan nominal Rp122,35 triliun.
“Perlambatan pertumbuhan kredit tersebut disebabkan menurunnya permintaan (demand) kredit yang sejalan dengan melambatnya aktivitas perekonomian di Sulsel, perlambatan tersebut tercermin dari pertumbuhan PDRB Q2 yang terkoreksi -3,87% (BPS, Agustus 2020),” terangnya.
Tak hanya itu, bank menerapkan strategi selective growth untuk menjaga kualitas aset di tengah meningkatnya risiko kredit.
Hal tersebut mengindikasikan tata kelola kredit yang tetap prudent di tengah kegiatan ekonomi yang masih terbatas. Penyaluran kredit perbankan tersebut telah menyasar pada kelompok UMKM dengan pangsa yang cukup tinggi 34,27% dari total kredit. Sejalan dengan itu, kinerja penyaluran KUR di Sulsel juga terus meningkat. Adapun hingga September 2020, realisasi KUR telah mencapai Rp6,69 triliun yang disalurkan kepada 204.997 debitur. Dari segi kualitas aset, rasio NPL posisi September 2020 berada pada level 2,67% yang berada di bawah threshold sebesar 5%.
“Rasio NPL yang relatif rendah ditopang oleh kebijakan restrukturisasi kredit OJK yang salah satunya membantu perbaikan kualitas aset bank dari segi pencatatan pengakuan. Selanjutnya, kinerja intermediasi perbankan Sulawesi Selatan terjaga pada level yang optimal, tercermin pada indikator loan to deposit ratio 112,16%,”paparnya.
Terpisah, staf administrasi BWM Ummul Mukmini ‘Aisyiyah, Wiwiarti menjelaskan, relaksasi yang diberikan OJK juga menyelamatkan Bank Wakaf Mikro yang didirikan sejak Mei 2018 ini. Betapa tidak dengan total 440 debitur kesemuanya memanfaatkan program pinjaman modal usaha.
Di mana, jenis usahanyapun bermacam-macam dengan kredit yang diberikan mulai Rp1 juta hingga Rp3 juta dengan tenor 40 minggu hingga 50 minggu.
“OJK sangat membantu utamanya programnya yang sangat berpihak bagi usaha mikro kecil, seperti nasabah dari BWM yang memang sangat membutuhkan kebijakan utamanya untuk pembayaran cicilan tertunda melalui relaksasi,” tuturnya.
Dia memaparkan, total kredit yang disalurkan Rp495 juta dari jumlah tersebut sebanyak 140 debitur memanfaatkan relaksasi dengan penundaan pembayaran ada yang sampai Desember 2020.
“NPL kami sangat disyukuri di bawah ketentuan Bank Indonesia (BI) bahkan bisa dibilang 0,00%, sementara posisi aset saat ini Rp4,4 miliar,” paparnya.
Ketua Asosiasi UMKM Sulsel, Agus Khalik menyampaikan terima kasih atas kebijakan yang dikeluarkan OJK merelaksasi sejumlah kredit utamanya UMKM. Tentunya, hal itu dapat menjaga keberlangsungan usaha agar tidak terlilit kewajiban membayar cicilan di tengah lesunya penjualan saat ini.
“Tentu programnya bagus, karena adanya penundaan pembayaran cicilan ke bank. Hanya saja tentunya program ini benar-benar harus sesuai penerapannnya, karena kebanyakan ditemukan perbankan tidak menerapkan hal tersebut. Malah tetap menagih ke debiturnya,” harapnya.
(luq)