Empat Tantangan Hadang Realisasi Belanja Pemerintah di 2021
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, belanja pemerintah diharapkan dapat memainkan peran sentral dalam mendorong laju perekonomian pada tahun 2021.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal masih didesain ekspansif. Defisit anggaran ditetapkan sebesar 5,7% dari PDB dan komponen belanja pemerintah dalam PDB diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 3-4%. Di antara rencana belanja yang menonjol adalah Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih berlanjut pada tahun depan.
"Belanja Pegawai juga tumbuh sebesar 64%, mengakomodasi kebutuhan pemberian dana untuk gaji ke-13 dan THR yang tidak tersalurkan secara utuh pada tahun 2020. Selain itu, Belanja Barang juga naik 32% setelah sempat terpotong akibat realokasi anggaran pada tahun 2020," kata Faisal di Jakarta, Sabtu (21/22/2020).
( )
Namun, masih ada sejumlah tantangan yang kemungkinan harus dihadapi dalam kebijakan belanja pemerintah pada tahun depan. Faisal menyebut setidaknya empat hal yang menjadi tantangan.
Pertama, lambatnya realisasi belanja, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang ditandai dengan penumpukan belanja pada periode akhir tahun anggaran.
Kedua, anggaran yang tidak terserap masih akan cukup tinggi sehingga akan mengurangi manfaat APBN bagi perekonomian, terutama belanja yang memiliki efek pengganda yang besar.
Ketiga, ketidaktepatan penyaluran anggaran, terutama penyaluran anggaran bantuan sosial dan subsidi, yang antara lain disebabkan oleh basis data yang belum sepenuhnya update.
"Serta keempat, potensi rendahnya pendapatan pemerintah, terutama dari pos perpajakan, akan mendorong pemerintah mengerem belanja untuk mencegah pelebaran defisit," ungkap dia.
( )
Adapun jika belajar dari pengalaman krisis sebelumnya, seperti krisis keuangan global 2008, penerimaan perpajakan memerlukan waktu recovery yang relatif lebih lama dibandingkan dengan proses pemulihan ekonomi.
Apalagi pada tahun depan, menurut Faisal, pemerintah berencana untuk kembali memberikan insentif pajak sehingga shortfall penerimaan pajak akan kembali terjadi. "Tahun ini pertumbuhan penerimaan perpajakan diproyeksikan mengalami kontraksi hingga 20%," imbuh dia.
Meskipun demikian, jika pemerintah kembali mendorong Bank Indonesia untuk terlibat dalam pembiayaan fiskal, sebagaimana tahun ini, maka tekanan atas ruang fiskal dan kesinambungan fiskal akan relatif rendah.
"Kalau dibandingkan dengan negara negara lain yang setara, keterlibatan Bank Indonesia dalam membeli surat utang pemerintah masih relatif kecil," tukasnya.
Lihat Juga: Defisit APBN Bakal Melebar Imbas Perang Iran vs Israel, Ekonom Sentil Makan Siang Gratis
Oleh karena itu, kebijakan fiskal masih didesain ekspansif. Defisit anggaran ditetapkan sebesar 5,7% dari PDB dan komponen belanja pemerintah dalam PDB diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 3-4%. Di antara rencana belanja yang menonjol adalah Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih berlanjut pada tahun depan.
"Belanja Pegawai juga tumbuh sebesar 64%, mengakomodasi kebutuhan pemberian dana untuk gaji ke-13 dan THR yang tidak tersalurkan secara utuh pada tahun 2020. Selain itu, Belanja Barang juga naik 32% setelah sempat terpotong akibat realokasi anggaran pada tahun 2020," kata Faisal di Jakarta, Sabtu (21/22/2020).
( )
Namun, masih ada sejumlah tantangan yang kemungkinan harus dihadapi dalam kebijakan belanja pemerintah pada tahun depan. Faisal menyebut setidaknya empat hal yang menjadi tantangan.
Pertama, lambatnya realisasi belanja, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang ditandai dengan penumpukan belanja pada periode akhir tahun anggaran.
Kedua, anggaran yang tidak terserap masih akan cukup tinggi sehingga akan mengurangi manfaat APBN bagi perekonomian, terutama belanja yang memiliki efek pengganda yang besar.
Ketiga, ketidaktepatan penyaluran anggaran, terutama penyaluran anggaran bantuan sosial dan subsidi, yang antara lain disebabkan oleh basis data yang belum sepenuhnya update.
"Serta keempat, potensi rendahnya pendapatan pemerintah, terutama dari pos perpajakan, akan mendorong pemerintah mengerem belanja untuk mencegah pelebaran defisit," ungkap dia.
( )
Adapun jika belajar dari pengalaman krisis sebelumnya, seperti krisis keuangan global 2008, penerimaan perpajakan memerlukan waktu recovery yang relatif lebih lama dibandingkan dengan proses pemulihan ekonomi.
Apalagi pada tahun depan, menurut Faisal, pemerintah berencana untuk kembali memberikan insentif pajak sehingga shortfall penerimaan pajak akan kembali terjadi. "Tahun ini pertumbuhan penerimaan perpajakan diproyeksikan mengalami kontraksi hingga 20%," imbuh dia.
Meskipun demikian, jika pemerintah kembali mendorong Bank Indonesia untuk terlibat dalam pembiayaan fiskal, sebagaimana tahun ini, maka tekanan atas ruang fiskal dan kesinambungan fiskal akan relatif rendah.
"Kalau dibandingkan dengan negara negara lain yang setara, keterlibatan Bank Indonesia dalam membeli surat utang pemerintah masih relatif kecil," tukasnya.
Lihat Juga: Defisit APBN Bakal Melebar Imbas Perang Iran vs Israel, Ekonom Sentil Makan Siang Gratis
(ind)