Lahirnya Kembali Pertanian di Antara Tegaknya Bangunan Beton Ibu Kota

Rabu, 02 Desember 2020 - 22:35 WIB
loading...
A A A
Untuk menghalau kutu, Doni Darmawan, petani di lahan hidrofonik ini, kemudian menitipkan tugas tambahan kepada rekannya supaya secara reguler menyemprotkan air yang mengandung brotowali dan tembakau pada daun-daun muda mereka. “Hanya kutu yang mengganggu di sini,” kata Doni.

Bayi dan remaja pakcoy, sawi, salada, dan caisim harus mendapatkan perlindungan penuh. Untuk menghindari deraan langsung sinar ultraviolet, kebun ini dipayungi kelambu hitam atau paranet.

(Baca Juga: Memanen Keuntungan dari Hidroponik )

Pagi itu, Senin, 1 Desember 2020, Doni dan kawan-kawan panen pakcoi, caisim, kale dan sawi. Sebagian hasil panen langsung masuk ke Sayur Kendal, toko sayur-mayur di gedung GMT, sebagian lagi dikirim ke beberapa POD/ cabang usaha. Sementara itu, bibit-bibit pakcoy yang telah menjadi tanaman bayi dipindahkan ke habitat barunya: di dalam pipa putih.

Aktivitas Pagi Hari Bersama "Teman Kecil"

Lima menit sekali terdengar derit roda kereta listrik yang berangkat dan tiba. Di pusat kota ini, di lantai 5 gedung GMT, diapit Stasiun Surdirman yang tak pernah sepi di selatan, dan jalan Cik Di Tiro di utara, tanaman pakcoy, sawi, kale, salada, dan caisim tumbuh sehat.

Tiap-tiap pukul 8 pagi, Muhammad Zen, 51 tahun, mengunjungi kawan-kawan kecilnya itu: mengontrol suplai air, menyemprotkan obat anti-kutu dan memastikan mereka bersih dari lumut. Mirip, tapi tak persis sama dengan apa yang dilakukannya empat dasawarsa silam, tatkala ia masih seorang remaja kencur yang ikut sibuk membantu ayah dan kakeknya memetik duku di kebun dekat rumahnya di kawasan Cililitan, Jakarta Timur.

“Bukan cuma duku, ada nangka, kecapi, rambutan, sawo, ada salak,” kenang lelaki Betawi yang biasa dipanggil Zen, mengingat kebun keluarganya waktu itu. Sekarang kebun buah itu sudah menjadi perumahan yang rapat.

“Gak tau siapa yang beli,” kata Zen. Yang jelas kebun buah berpindah tangan ketika kakek Zen yang memiliki kebun itu hendak pergi haji. “Waktu itu saya baru masuk SD,” kata Zen.

Tak seperti ayah dan kakeknya, Zen bukan petani. Regenerasi terjadi, dan masyarakat petani di tanah Betawi yang kehilangan tanah, sawah dan kebunnya di antara derasnya industrialisasi dan modernisasi ini menghadapi dunia yang berubah cepat. Lahan hijau menyusut cepat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1048 seconds (0.1#10.140)