Lahirnya Kembali Pertanian di Antara Tegaknya Bangunan Beton Ibu Kota
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seorang petani baru saja lahir di antara tegaknya bangunan bertulang beton Ibu kota . Bukan lahir, mungkin kata yang tepat adalah 'lahir kembali'.
30 tahun silam, Jakarta sebuah kota semi-agraris dengan tanah pesawahan berikut garis pematangnya yang artistik, dengan perkebunan sayur dan buah-buahan di tengah dan pinggirnya. Lalu berlangsunglah kejadian yang terjadi di mana-mana: manusia maju menggusur alam, perlahan tapi pasti.
Manusia industrial telah menggeser manusia agrikultur. Jalan-jalan beraspal dibangun untuk mengakomodasi mobilitas mereka, mal-mal didirikan untuk memenuhi kebutuhan hidup, perumahan, hotel, apartemen, mal dan bangunan mewah lain cepat bermunculan. Semua seperti merayakan kemenangan kapitalisme atas masyarakat tradisional.
(Baca Juga: Hidroponik, Estetika dan Bermanfaat )
Akibatnya jelas. Menurut World Vision, seiring jumlah penghuninya yang semakin bengkak, ruang terbuka hijau (RTH) di kota ini berkurang setiap tahun. Entah berapa ukuran kehijauannya sekarang, yang terang jika pada 1965 Jakarta masih memiliki RTH 35%, pada 2011 jumlah tersebut telah menyusut hingga 9,3%.
Namun inilah Jakarta, kota dengan seribu satu kemungkinan. Di bilangan Menteng, lebih tepat lagi di Jalan Kendal, Jakarta Pusat, sebuah bangunan bernuasa hijau yang menyediakan kafe dan kedai sayur untuk umum menyimpan “sesuatu” pada atapnya. Ya, di puncak gedung GMT yang asri itu, berdampingan dengan sebuah musala mini, satu area berukuran 10 x 15 meter memancing perhatian.
Duabelas rangkaian pipa paralon putih tampak ditaruh berjajar di sebelah kanan, 12 rangkaian lainnya dalam kemiringan 45 derajat di sebelah kiri. Pada setiap pipa, terdapat 26 lubang. Di situlah bibit-bibit pakcoy, sawi, kale, salada, caisim, bahkan bayam disemai pada rockwool, dan dipanen kurang-lebih 5 minggu kemudian.
(Baca Juga: Hidroponik, Tren Bertani yang Cocok saat Pandemi )
Satu benih untuk setiap potong rockwool, kecuali bayam, tiap spons berukuran 2x2 cm yang menggantikan fungsi tanah itu bisa ditanami 3 sampai 4 benih. Seseorang telah meletakkan benih-benih itu di kolong barisan pipa paralon, sampai akhirnya benih mungil itu tumbuh menjadi tanaman mini dengan 2 – 3 daun – suatu pertanda bahwa usia mereka telah mencapai 5-7 hari.
Saat itulah, setelah bersentuhan dengan sinar matahari dan sistem irigasi yang dibantu mesin pompa kecil, benih-benih itu cepat menjadi bayi dan remaja. Bayi pokcoy hijau dan merah, sawi, salada keriting, caisim, dan bayam telah lahir, dan sekarang bersama rockwool-nya dipindahkan ke “rumah barunya”: di dalam pipa yang dialiri air yang mengandung nutrisi tanaman AB Mixed.
30 tahun silam, Jakarta sebuah kota semi-agraris dengan tanah pesawahan berikut garis pematangnya yang artistik, dengan perkebunan sayur dan buah-buahan di tengah dan pinggirnya. Lalu berlangsunglah kejadian yang terjadi di mana-mana: manusia maju menggusur alam, perlahan tapi pasti.
Manusia industrial telah menggeser manusia agrikultur. Jalan-jalan beraspal dibangun untuk mengakomodasi mobilitas mereka, mal-mal didirikan untuk memenuhi kebutuhan hidup, perumahan, hotel, apartemen, mal dan bangunan mewah lain cepat bermunculan. Semua seperti merayakan kemenangan kapitalisme atas masyarakat tradisional.
(Baca Juga: Hidroponik, Estetika dan Bermanfaat )
Akibatnya jelas. Menurut World Vision, seiring jumlah penghuninya yang semakin bengkak, ruang terbuka hijau (RTH) di kota ini berkurang setiap tahun. Entah berapa ukuran kehijauannya sekarang, yang terang jika pada 1965 Jakarta masih memiliki RTH 35%, pada 2011 jumlah tersebut telah menyusut hingga 9,3%.
Namun inilah Jakarta, kota dengan seribu satu kemungkinan. Di bilangan Menteng, lebih tepat lagi di Jalan Kendal, Jakarta Pusat, sebuah bangunan bernuasa hijau yang menyediakan kafe dan kedai sayur untuk umum menyimpan “sesuatu” pada atapnya. Ya, di puncak gedung GMT yang asri itu, berdampingan dengan sebuah musala mini, satu area berukuran 10 x 15 meter memancing perhatian.
Duabelas rangkaian pipa paralon putih tampak ditaruh berjajar di sebelah kanan, 12 rangkaian lainnya dalam kemiringan 45 derajat di sebelah kiri. Pada setiap pipa, terdapat 26 lubang. Di situlah bibit-bibit pakcoy, sawi, kale, salada, caisim, bahkan bayam disemai pada rockwool, dan dipanen kurang-lebih 5 minggu kemudian.
(Baca Juga: Hidroponik, Tren Bertani yang Cocok saat Pandemi )
Satu benih untuk setiap potong rockwool, kecuali bayam, tiap spons berukuran 2x2 cm yang menggantikan fungsi tanah itu bisa ditanami 3 sampai 4 benih. Seseorang telah meletakkan benih-benih itu di kolong barisan pipa paralon, sampai akhirnya benih mungil itu tumbuh menjadi tanaman mini dengan 2 – 3 daun – suatu pertanda bahwa usia mereka telah mencapai 5-7 hari.
Saat itulah, setelah bersentuhan dengan sinar matahari dan sistem irigasi yang dibantu mesin pompa kecil, benih-benih itu cepat menjadi bayi dan remaja. Bayi pokcoy hijau dan merah, sawi, salada keriting, caisim, dan bayam telah lahir, dan sekarang bersama rockwool-nya dipindahkan ke “rumah barunya”: di dalam pipa yang dialiri air yang mengandung nutrisi tanaman AB Mixed.