Menciptakan Ekosistem Logistik dan Maritim Kelas Dunia, Mungkinkah?
loading...
A
A
A
INDONESIAadalah negara kepuluaan terbesar di dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, hingga akhir 2019 terdapat 17.491 pulau di seluruh nusantara dengan lima pulau besar yakni Sumatra, Jawa, Kalimanta, Sulawesi dan Papua. Posisi Indonesia yang strategis diapit oleh Samudera Hindia di sisi barat dan selatan dan Samudera Pasifik di utara dan timur membuat Indonesia memiliki kans besar untuk menjadi poros maritim dunia.
Tidaklah berlebihan apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode pertama kepemimpinannya mencanangkan lima pilar utama dalam mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia. Lima pilar itu diantaranya, pertama pembangunan kembali budaya maritim Indonesia. Kedua, berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.
Pilar ketiga yakni, mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim. Keempat, diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan. Sedangkan pilar kelima yakni membangun kekuatan pertahanan maritim. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, tentunya perlu dilakukan banyak hal. Selain membangun infrastruktur, juga perlu dilakukan pendekatan politik, sosial-budaya, hukum, keamanan,dan ekonomi.
Penguatan dan pengembangan konektivitas maritim, peningkatan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) kelautan, adalah program-program utama yang harus dilakukan dalam upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk mengakselerasi program dan target tersebut Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional.
Dalam Inpres tersebut, sinergi antar kementerian dimaksimalkan. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomioan misalnya, ditugaskan untuk mengkoordinasikan penyusunan arah dan kebijakan umum penataan ekosistem logistik nasional. Juga mengkoordinasikan penetapan langkah-langkah penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan penataan ekosistem logistik nasional. Sementara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bertanggung jawab untuk melakukan penyederhanaan proses bisnis layanan pemerintah di bidang logistik yang berbasis teknologi informasi untuk menghilangkan duplikasi kebijakan.
Kemenkeu juga diarahkan untuk mengkolaborasikan sistem layanan logistik baik internasional maupun domestik antar pelaku kegiatan logistik di sektor pemerintah maupun swasta. Sedangkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) diinstruksikan untuk mengintegrasikan sistem perizinan, layanan ekspor, impor, dan logistik melalui Indonesia National Single Window (INSW). Presiden juga menginstruksikan Kemenhub untuk melakkan penataan tata ruang kepelabuhanan dan jalur distribusi barang.
Sedangkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) di instruksikan mengintegrasikan sistem pengajuan perijinan ekspor dan impor di Kemendag dengan ekosistem logistik melalui INSW. Kemendag juga harus mengintegrasikan proses bisnis pelaporan perdagangan antar pulau dengan proses bisnis keberangkatan dan kedatangan sarana pengangkut dalam ekosistem logistik nasional melalui INSW. Kementerian Perindustrian di instruksikan untuk menyederhanakan proses bisnis untuk mengintegrasikan sistem pengajuan persyaratan perizinan ekspor dan impor melalui INSW.
Dengan adanya kebijakan ekosistem logistik nasional tersebut, diharapkan Indonesia bisa memiliki ekosistem logistik yang terintegrasi, efisien dan handal. Ekosistem logistik nasional atau National Logistic Ecosistem (NLE) digadang-gadang bisa menurunkan biaya logistik yang sebelumya sebesar 23,5% menjadi hanya 17% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan demkian, Indonesia akan memiliki daya saing dengan negara lain seperti Malaysia dan Singapura yang selama ini memiliki ongkos logistik lebih murah. NLE akan menjadi suatu platform bagi para stakeholder lain seperti perusahaan transportasi, shipping, kepelabuhanan, pergudangan hingga depo. Namun demikian, kebijakan yang spektakuler karena bisa memangkas rantai birokrasi itu harus diikuti dengan langkah yang paling penting, yakni eksekusi kebijakan tersebut di lapangan.
Masih Menghadapi Tantangan
Kebijakan strategis dalam ekosistem logistik nasional ke depan masih akan menghadapi banyak tantangan. Salah satunya yakni sistem yang diciptakan masih belum terintegrasi dengan ekosistem logistik internasional. Padahal, untuk meningkatkan daya saing logistik, tidak hanya memperhatikan ekosistem di dalam negeri saja, tetapi juga ekosistem logistik global. Bahkan, salah satu lembaga yang melakukan studi tentang kemaritiman yakni The National Maritime Institue (Namarin) menyoroti sinergi antar pemangku kepentingkan di dalam ekosistem logistik nasional. Misalnya, masih banyaknya kegiatan ekspor impor yang menggunakan kapal asing. Sementara ekosistem logistik nasional belum terintegrasi dengan platform logistik di luar negeri.
Dalam ekosistem logistik global, beragam kegiatan logistik di integrasikan dengan Trade Lanes Blockchain yang merupakan platform yang dikembangkan perusahaan swasta. Inisiatif mengkolaborasikan dan mensinergikan para stakeholder logistik internasional datang dari sektor swasta. Hal ini bertolak belakang dengan di Indonesia, inisiatif berasal dari pemerintah dan bersifat top down. Sehingga agar terkoneksi dengan dunia internasional, perlu dipikirkan siapakah pihak yang akan diberikan kewenangan untuk melakukan integrasi sistem di masing-masing sub sektor logistik.
Selama ini, Trade Lanes Blockchain telah terintegrasi dengan ribuan perusahaan logistik, angkutan dan pergudangan di Indonesia. Sementara di dalam ekosistem logistik nasional belum diketahui berapa banyak para pelaku usaha yang sudah terintegrasi di dalam ekosistem yang dikembangkan oleh pemerintah. Ini berarti, kebijakan ekosistem logistik nasional tersebut masih perlu ada perbaikan-perbaikan. Masih diperlukan semacam super aplikator yang menjembatani beragam kepentingan di dalamnya.
Semisal Gojek atau Grab yang menjadi super aplikator yang mengintegrasikan sistem pembayaran, pemesanan, pemantauan lokasi barang dan armada di dalam satu aplikasi. Begitu juga di dalam ekosistem logistik nasional, perlu ada super aplikator sehingga kolaborasi dan sinergi antar pemangku kepentingan yakni pemerintah, operator pelabuhan, perusahaan logistik, perusahaan pergudangan dan angkutan bisa terjalin dengan baik. Dengan demikian, cita-cita untuk mewujudkan sistem logistik di Indonesia yang efisien, transparan, dan terintegrasi dari end to end dapat segera terwujud Selain itu, harus ada integrasi antara pelabuhan dengan industri.
Salah satu tujuannya adalah untuk menekan biaya logistik. Misalnya, pelabuhan Tanjung Priok harus terintegrasi dengan kawasan industri di Cikarang, begitupula pelabuhan-pelabuhan lainnya. Perlu juga segera ada solusi dalam penguasaan teknologi informasi dan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor kepelabuhanan agar tercipta sinergi yang beriringan. Misalnya, pengembangan platform digital dengan memanfaatkan internet of things (IoT) di pelabuhan harus di imbangi dengan jaringan internet yang handal. Saat ini, kualitas jaringan internet tak seragam antara Jawa dan luar Jawa.
Termasuk skill SDM di pelabuhan-pelabuhan di luar pula Jawa harus ditingkatkan, sehingga kegiatan handling barang di pelabuhan bisa berjalan dengan cepat. Contohnya, kegiatan bongkar muat di Jakarta yang hanya butuh waktu 4 jam, tetapi di Belawan bisa memakan waktu hingga 7 jam. Persoalan service level yang tidak sama di tiap-tiap pelabuhan akan menyebabkan pencapaian ekosistem logistik yang berkelanjutan akan terkendala. Ditambah, masih ada pelabuhan-pelabuhan yang dikelola Kementerian Perhubungan yang sejatinya sudah harus dilepas ke operator lainnya.
Setidaknya, apa yang dilakukan The Maritime and Port Authority of Singapore (MPA) bisa menjadi contoh. MPA bekerja sama dengan operator pelabuhan dan perusahaan pelayaran untuk mengatur dan mengembangkan pelabuhan menjadi hub global, menawarkan one stop shop untuk komunitas maritim global. Terhubung dengan 600 pelabuhan di lebih dari 120 negara, Singapura menawarkan konektivitas perdagangan global tanpa batas kepada perusahaan pelayaran.
Menaruh Asa Kepada Pelindo II
Salah satu pihak yang digadang-gadang sebagai ujung tombak dalam keberhasilan ekosistem logistik nasional yakni PT Pelindo II atau yang dikenal dengan IPC. Sejauh ini, IPC menjadi bench mark bagi pelabuhan-pelabuhan besar di dalam negeri. IPC juga memiliki target ambisius untuk menjadi pemain kelas dunia. Memang, IPC menjadi satu-satunya pengelola pelabuhan yang sudah go international. Di Pelabuhan Tanjung Priok misalnya, kegiatan bongkar muat dilakukan lebih cepat dibandingkan pelabuhan-pelabuhan lainnya di Tanah Air.
Pengelola pelabuhan ini pun sejatinya sudah melakukan serangkaian langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas logistik melalui digitalisasi. Bahkan, digitalisasi yang dilakukan, sejajar dengan yang telah dilakukan pelabuhan Antwerp di Belgia, Rotterdam di Belanda, dan Calais di Prancis. IPC sudah menghadirkan vessel traffic sistem (VTS), peti kemas dan non peti kemas terminal operation sistem, dan platform marine operating sistem (MOS). Juga aplikasi auto tally, auto gate serta e-service. Sistem ini tak hanya diaplikasikan di Tanjung Priok, tetapi juga diaplikasikan seluruh pelabuhan yang dikelola IPC.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi salah satu andalan dalam meningkatkan devisa melalui kegiatan perdagangan itu telah menerapkan sistem informasi layanan tunggal secara elektronik berbasis internet (inaportnet). Sistem ini meliputi e-registration, e-booking, e-tracking dan tracing, e-payment, e-billing dan e-care. Tentu akan lebih mudah apabila ekosistem logisik nasional dikelola IPC sebagai super aplikator.
Sehingga, pemerintah tak perlu lagi menciptakan super aplikator baru, karena digitalisasi yang dilakukan IPC sudah terintegrasi dengan para stakeholder lainnya. Ditambah lagi, adanya TPS Online yang membantu otoritas kepabeanan (Bea Cukai) lebih cepat memonitor pergerakan kontainer di Tempat Penimbunan Sementara (TPS). Sehingga lebih cepat merespons Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang diajukan oleh pemilik barang.
Aplikas ini, selain terbukti mengurangi proses pemeriksaan secara manual, terminal peti kemas bisa mencocokkan keaslian dokumen Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) yang diunggah pemilik barang melalui aplikasi e-service dengan data yang ada di Bea Cukai. Hal ini bisa mencegah keluarnya peti kemas yang belum memiliki izin dari Bea Cukai. IPC kini sudah memiliki bank data, sehingga akan semakin mudah meningkatkan produktivitas pelabuhan.
Dengan adanya bank data, IPC bisa menghitung berapa kapasitas angkutan barang di masing-masing pelabuhan yang dikelola, berapa besar space yang tersedia untuk menyimpan kontainer di masing-masing pelabuhan, juga berapa lama dwelling time di masing-masing pelabuhan. Sehingga bisa segera dicarikan solusi jika terjadi permasalahan. Digitalisasi yang dilakukan IPC membuat antarpelabuhan terkoneksi dengan baik.
Sehingga, produk dan layanan kepelabuhanan di Indonesia juga menjadi semakin baik. Kelebihan dan keunggulan daya saing yang dimiliki IPC seharusnya dimanfaatkan oleh regulator untuk mempercepat integrasi ekosistem logistik nasional. Sehingga apa yang dicita-citakan Presiden Jokowi bisa segera tercapai.
Namun demikian, dengan keunggulan-keuanggulan yang dimiliki, sudah seharusnya IPC lebih berani bersaing di pentas global dengan melakukan penetrasi ke luar negeri seperti yang dilakukan Hutchison Ports Holdings di Jakarta dan Dubai Port yang menggandeng Maspion membangun terminal peti kemas di Gresik, Jawa Timur. Sehingga ambisi besar menjadi trade facilitator global pada 2024 bisa terwujud.
Tidaklah berlebihan apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode pertama kepemimpinannya mencanangkan lima pilar utama dalam mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia. Lima pilar itu diantaranya, pertama pembangunan kembali budaya maritim Indonesia. Kedua, berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.
Pilar ketiga yakni, mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim. Keempat, diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan. Sedangkan pilar kelima yakni membangun kekuatan pertahanan maritim. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, tentunya perlu dilakukan banyak hal. Selain membangun infrastruktur, juga perlu dilakukan pendekatan politik, sosial-budaya, hukum, keamanan,dan ekonomi.
Penguatan dan pengembangan konektivitas maritim, peningkatan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) kelautan, adalah program-program utama yang harus dilakukan dalam upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk mengakselerasi program dan target tersebut Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional.
Dalam Inpres tersebut, sinergi antar kementerian dimaksimalkan. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomioan misalnya, ditugaskan untuk mengkoordinasikan penyusunan arah dan kebijakan umum penataan ekosistem logistik nasional. Juga mengkoordinasikan penetapan langkah-langkah penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan penataan ekosistem logistik nasional. Sementara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bertanggung jawab untuk melakukan penyederhanaan proses bisnis layanan pemerintah di bidang logistik yang berbasis teknologi informasi untuk menghilangkan duplikasi kebijakan.
Kemenkeu juga diarahkan untuk mengkolaborasikan sistem layanan logistik baik internasional maupun domestik antar pelaku kegiatan logistik di sektor pemerintah maupun swasta. Sedangkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) diinstruksikan untuk mengintegrasikan sistem perizinan, layanan ekspor, impor, dan logistik melalui Indonesia National Single Window (INSW). Presiden juga menginstruksikan Kemenhub untuk melakkan penataan tata ruang kepelabuhanan dan jalur distribusi barang.
Sedangkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) di instruksikan mengintegrasikan sistem pengajuan perijinan ekspor dan impor di Kemendag dengan ekosistem logistik melalui INSW. Kemendag juga harus mengintegrasikan proses bisnis pelaporan perdagangan antar pulau dengan proses bisnis keberangkatan dan kedatangan sarana pengangkut dalam ekosistem logistik nasional melalui INSW. Kementerian Perindustrian di instruksikan untuk menyederhanakan proses bisnis untuk mengintegrasikan sistem pengajuan persyaratan perizinan ekspor dan impor melalui INSW.
Dengan adanya kebijakan ekosistem logistik nasional tersebut, diharapkan Indonesia bisa memiliki ekosistem logistik yang terintegrasi, efisien dan handal. Ekosistem logistik nasional atau National Logistic Ecosistem (NLE) digadang-gadang bisa menurunkan biaya logistik yang sebelumya sebesar 23,5% menjadi hanya 17% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan demkian, Indonesia akan memiliki daya saing dengan negara lain seperti Malaysia dan Singapura yang selama ini memiliki ongkos logistik lebih murah. NLE akan menjadi suatu platform bagi para stakeholder lain seperti perusahaan transportasi, shipping, kepelabuhanan, pergudangan hingga depo. Namun demikian, kebijakan yang spektakuler karena bisa memangkas rantai birokrasi itu harus diikuti dengan langkah yang paling penting, yakni eksekusi kebijakan tersebut di lapangan.
Masih Menghadapi Tantangan
Kebijakan strategis dalam ekosistem logistik nasional ke depan masih akan menghadapi banyak tantangan. Salah satunya yakni sistem yang diciptakan masih belum terintegrasi dengan ekosistem logistik internasional. Padahal, untuk meningkatkan daya saing logistik, tidak hanya memperhatikan ekosistem di dalam negeri saja, tetapi juga ekosistem logistik global. Bahkan, salah satu lembaga yang melakukan studi tentang kemaritiman yakni The National Maritime Institue (Namarin) menyoroti sinergi antar pemangku kepentingkan di dalam ekosistem logistik nasional. Misalnya, masih banyaknya kegiatan ekspor impor yang menggunakan kapal asing. Sementara ekosistem logistik nasional belum terintegrasi dengan platform logistik di luar negeri.
Dalam ekosistem logistik global, beragam kegiatan logistik di integrasikan dengan Trade Lanes Blockchain yang merupakan platform yang dikembangkan perusahaan swasta. Inisiatif mengkolaborasikan dan mensinergikan para stakeholder logistik internasional datang dari sektor swasta. Hal ini bertolak belakang dengan di Indonesia, inisiatif berasal dari pemerintah dan bersifat top down. Sehingga agar terkoneksi dengan dunia internasional, perlu dipikirkan siapakah pihak yang akan diberikan kewenangan untuk melakukan integrasi sistem di masing-masing sub sektor logistik.
Selama ini, Trade Lanes Blockchain telah terintegrasi dengan ribuan perusahaan logistik, angkutan dan pergudangan di Indonesia. Sementara di dalam ekosistem logistik nasional belum diketahui berapa banyak para pelaku usaha yang sudah terintegrasi di dalam ekosistem yang dikembangkan oleh pemerintah. Ini berarti, kebijakan ekosistem logistik nasional tersebut masih perlu ada perbaikan-perbaikan. Masih diperlukan semacam super aplikator yang menjembatani beragam kepentingan di dalamnya.
Semisal Gojek atau Grab yang menjadi super aplikator yang mengintegrasikan sistem pembayaran, pemesanan, pemantauan lokasi barang dan armada di dalam satu aplikasi. Begitu juga di dalam ekosistem logistik nasional, perlu ada super aplikator sehingga kolaborasi dan sinergi antar pemangku kepentingan yakni pemerintah, operator pelabuhan, perusahaan logistik, perusahaan pergudangan dan angkutan bisa terjalin dengan baik. Dengan demikian, cita-cita untuk mewujudkan sistem logistik di Indonesia yang efisien, transparan, dan terintegrasi dari end to end dapat segera terwujud Selain itu, harus ada integrasi antara pelabuhan dengan industri.
Salah satu tujuannya adalah untuk menekan biaya logistik. Misalnya, pelabuhan Tanjung Priok harus terintegrasi dengan kawasan industri di Cikarang, begitupula pelabuhan-pelabuhan lainnya. Perlu juga segera ada solusi dalam penguasaan teknologi informasi dan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor kepelabuhanan agar tercipta sinergi yang beriringan. Misalnya, pengembangan platform digital dengan memanfaatkan internet of things (IoT) di pelabuhan harus di imbangi dengan jaringan internet yang handal. Saat ini, kualitas jaringan internet tak seragam antara Jawa dan luar Jawa.
Termasuk skill SDM di pelabuhan-pelabuhan di luar pula Jawa harus ditingkatkan, sehingga kegiatan handling barang di pelabuhan bisa berjalan dengan cepat. Contohnya, kegiatan bongkar muat di Jakarta yang hanya butuh waktu 4 jam, tetapi di Belawan bisa memakan waktu hingga 7 jam. Persoalan service level yang tidak sama di tiap-tiap pelabuhan akan menyebabkan pencapaian ekosistem logistik yang berkelanjutan akan terkendala. Ditambah, masih ada pelabuhan-pelabuhan yang dikelola Kementerian Perhubungan yang sejatinya sudah harus dilepas ke operator lainnya.
Setidaknya, apa yang dilakukan The Maritime and Port Authority of Singapore (MPA) bisa menjadi contoh. MPA bekerja sama dengan operator pelabuhan dan perusahaan pelayaran untuk mengatur dan mengembangkan pelabuhan menjadi hub global, menawarkan one stop shop untuk komunitas maritim global. Terhubung dengan 600 pelabuhan di lebih dari 120 negara, Singapura menawarkan konektivitas perdagangan global tanpa batas kepada perusahaan pelayaran.
Menaruh Asa Kepada Pelindo II
Salah satu pihak yang digadang-gadang sebagai ujung tombak dalam keberhasilan ekosistem logistik nasional yakni PT Pelindo II atau yang dikenal dengan IPC. Sejauh ini, IPC menjadi bench mark bagi pelabuhan-pelabuhan besar di dalam negeri. IPC juga memiliki target ambisius untuk menjadi pemain kelas dunia. Memang, IPC menjadi satu-satunya pengelola pelabuhan yang sudah go international. Di Pelabuhan Tanjung Priok misalnya, kegiatan bongkar muat dilakukan lebih cepat dibandingkan pelabuhan-pelabuhan lainnya di Tanah Air.
Pengelola pelabuhan ini pun sejatinya sudah melakukan serangkaian langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas logistik melalui digitalisasi. Bahkan, digitalisasi yang dilakukan, sejajar dengan yang telah dilakukan pelabuhan Antwerp di Belgia, Rotterdam di Belanda, dan Calais di Prancis. IPC sudah menghadirkan vessel traffic sistem (VTS), peti kemas dan non peti kemas terminal operation sistem, dan platform marine operating sistem (MOS). Juga aplikasi auto tally, auto gate serta e-service. Sistem ini tak hanya diaplikasikan di Tanjung Priok, tetapi juga diaplikasikan seluruh pelabuhan yang dikelola IPC.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi salah satu andalan dalam meningkatkan devisa melalui kegiatan perdagangan itu telah menerapkan sistem informasi layanan tunggal secara elektronik berbasis internet (inaportnet). Sistem ini meliputi e-registration, e-booking, e-tracking dan tracing, e-payment, e-billing dan e-care. Tentu akan lebih mudah apabila ekosistem logisik nasional dikelola IPC sebagai super aplikator.
Sehingga, pemerintah tak perlu lagi menciptakan super aplikator baru, karena digitalisasi yang dilakukan IPC sudah terintegrasi dengan para stakeholder lainnya. Ditambah lagi, adanya TPS Online yang membantu otoritas kepabeanan (Bea Cukai) lebih cepat memonitor pergerakan kontainer di Tempat Penimbunan Sementara (TPS). Sehingga lebih cepat merespons Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang diajukan oleh pemilik barang.
Aplikas ini, selain terbukti mengurangi proses pemeriksaan secara manual, terminal peti kemas bisa mencocokkan keaslian dokumen Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) yang diunggah pemilik barang melalui aplikasi e-service dengan data yang ada di Bea Cukai. Hal ini bisa mencegah keluarnya peti kemas yang belum memiliki izin dari Bea Cukai. IPC kini sudah memiliki bank data, sehingga akan semakin mudah meningkatkan produktivitas pelabuhan.
Dengan adanya bank data, IPC bisa menghitung berapa kapasitas angkutan barang di masing-masing pelabuhan yang dikelola, berapa besar space yang tersedia untuk menyimpan kontainer di masing-masing pelabuhan, juga berapa lama dwelling time di masing-masing pelabuhan. Sehingga bisa segera dicarikan solusi jika terjadi permasalahan. Digitalisasi yang dilakukan IPC membuat antarpelabuhan terkoneksi dengan baik.
Sehingga, produk dan layanan kepelabuhanan di Indonesia juga menjadi semakin baik. Kelebihan dan keunggulan daya saing yang dimiliki IPC seharusnya dimanfaatkan oleh regulator untuk mempercepat integrasi ekosistem logistik nasional. Sehingga apa yang dicita-citakan Presiden Jokowi bisa segera tercapai.
Namun demikian, dengan keunggulan-keuanggulan yang dimiliki, sudah seharusnya IPC lebih berani bersaing di pentas global dengan melakukan penetrasi ke luar negeri seperti yang dilakukan Hutchison Ports Holdings di Jakarta dan Dubai Port yang menggandeng Maspion membangun terminal peti kemas di Gresik, Jawa Timur. Sehingga ambisi besar menjadi trade facilitator global pada 2024 bisa terwujud.
(ton)