Bangun Kilang Baru, Kilang LNG Badak Jangan Dilupakan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta tidak melupakan nasib Kilang LNG Badak di tengah tingginya perhatian untuk mewujudkan lahirnya kilang-kilang baru di Indonesia. Turunnya permintaan gas dunia berpotensi mengancam kelangsungan hidup kilang di Kalimantan Timur yang dibangun tahun 1974 itu.
Pengamat energi Sofyano Zakaria khawatir, luputnya perhatian pemerintah terhadap Kilang LNG Badak dapat menyebabkan tutupnya salah satu kilang LNG terbesar didunia tersebut. Kilang di Kalimantan Timur tersebut menghasilkan 22,5 juta metrik ton LNG per tahun. Kilang LNG Badak adalah kilang milik negara yang pengelolaannya diserahkan kepada PT Badak LNG.
(Baca Juga: Luhut: Masa Depan Bisnis Migas Ada di Kilang & Petrokimia)
Terlepas dari itu, kinerja Kilang LNG Badak tergolong sangat efisien. Kilang LNG badak hanya butuh biaya USD0,35-0,5 sen per MMBTU. Hal ini telah diakui dunia paling efisien dengan harga jual USD6 per MMBTU di dalam negeri.
"Di tengah gencarnya Pemerintahan Joko Widodo membangun kilang BBM baru di negeri ini, nasib Kilang LNG Badak juga tetap harus mendapat perhatian serius dari pemerintah," ujar Sofyano di Jakarta, Rabu (9/12/2020).
Dengan turunnya permintaan gas dunia, kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) tersebut, maka sudah saatnya pemerintah memikirkan ulang status PT Badak LNG dari non-profit company menjadi perusahaan yang mengejar laba. Diketahui, PT Badak LNG adalah sebuah perusahaan yang dinyatakan non-profit company atau perusahaan nirlaba.
Harapannya, agar perusahaan ini bisa dan mampu merawat dan menjaga keberlangsungan kilang LNG itu. "Utilisasi kilang ini sudah lama jauh di bawah kapasitasnya. Saat ini hanya sekitar 25% karena demand gas turun. Apalagi dengan telah beroperasinya terminal LNG di Singapura yang lebih efisien, ini sangat besar pengaruhnya bagi keberadaan dan keberlangsungan Kilang LNG Badak," ujarnya.
Jika kilang ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah, kata Sofyano, niscaya Kilang LNG Badak hanya akan menjadi monumen belaka. "Keberadaan PT Badak LNG sebagai nonprofit company, yang dipercaya pemerintah mengelola Kilang LNG Badak sudah saatnya ditinjau kembali, demi keberlangsungan kilang LNG milik negara ini," tandasnya.
Status PT Badak LNG sebagai non-profit company menurutnya pasti akan menimbulkan masalah terkait hubungan kerja dengan pekerja dan tenaga kerja outsourcing yang ada di PT Badak LNG yang jumlahnya lebih dari 3.000 orang. UU Tenaga Kerja dan UU Cipta Kerja mensyaratkan pemberian pesangon kepada pekerja jika terjadi pemutusan hubungan kerja.
(Baca Juga: Bisnis Kilang Sempoyongan, Shell PHK Ratusan Karyawan)
"Tapi bagaimana sebuah perusahaan yang nonprofit bisa membayar pesangon kepada pekerjanya? Bukankah perusahaan non profit tidak mencatat laba dan logikanya tidak memiliki dana buat pesangon," ujarnya.
Sofyano menyarankan pemerintah untuk memberlakukan pola cost and fee kepada PT Badak LNG dan juga membolehkan perusahaan untuk melakukan bisnis lain terkait LNG. Dengan begitu, dia yakin perusahaan mampu menjaga keberlangsungan hidup kilang LNG itu ."SKK Migas pun perlu memberi perhatian dan dukungan lebih kepada kilang LNG milik negara ini," tandasnya.
Pengamat energi Sofyano Zakaria khawatir, luputnya perhatian pemerintah terhadap Kilang LNG Badak dapat menyebabkan tutupnya salah satu kilang LNG terbesar didunia tersebut. Kilang di Kalimantan Timur tersebut menghasilkan 22,5 juta metrik ton LNG per tahun. Kilang LNG Badak adalah kilang milik negara yang pengelolaannya diserahkan kepada PT Badak LNG.
(Baca Juga: Luhut: Masa Depan Bisnis Migas Ada di Kilang & Petrokimia)
Terlepas dari itu, kinerja Kilang LNG Badak tergolong sangat efisien. Kilang LNG badak hanya butuh biaya USD0,35-0,5 sen per MMBTU. Hal ini telah diakui dunia paling efisien dengan harga jual USD6 per MMBTU di dalam negeri.
"Di tengah gencarnya Pemerintahan Joko Widodo membangun kilang BBM baru di negeri ini, nasib Kilang LNG Badak juga tetap harus mendapat perhatian serius dari pemerintah," ujar Sofyano di Jakarta, Rabu (9/12/2020).
Dengan turunnya permintaan gas dunia, kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) tersebut, maka sudah saatnya pemerintah memikirkan ulang status PT Badak LNG dari non-profit company menjadi perusahaan yang mengejar laba. Diketahui, PT Badak LNG adalah sebuah perusahaan yang dinyatakan non-profit company atau perusahaan nirlaba.
Harapannya, agar perusahaan ini bisa dan mampu merawat dan menjaga keberlangsungan kilang LNG itu. "Utilisasi kilang ini sudah lama jauh di bawah kapasitasnya. Saat ini hanya sekitar 25% karena demand gas turun. Apalagi dengan telah beroperasinya terminal LNG di Singapura yang lebih efisien, ini sangat besar pengaruhnya bagi keberadaan dan keberlangsungan Kilang LNG Badak," ujarnya.
Jika kilang ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah, kata Sofyano, niscaya Kilang LNG Badak hanya akan menjadi monumen belaka. "Keberadaan PT Badak LNG sebagai nonprofit company, yang dipercaya pemerintah mengelola Kilang LNG Badak sudah saatnya ditinjau kembali, demi keberlangsungan kilang LNG milik negara ini," tandasnya.
Status PT Badak LNG sebagai non-profit company menurutnya pasti akan menimbulkan masalah terkait hubungan kerja dengan pekerja dan tenaga kerja outsourcing yang ada di PT Badak LNG yang jumlahnya lebih dari 3.000 orang. UU Tenaga Kerja dan UU Cipta Kerja mensyaratkan pemberian pesangon kepada pekerja jika terjadi pemutusan hubungan kerja.
(Baca Juga: Bisnis Kilang Sempoyongan, Shell PHK Ratusan Karyawan)
"Tapi bagaimana sebuah perusahaan yang nonprofit bisa membayar pesangon kepada pekerjanya? Bukankah perusahaan non profit tidak mencatat laba dan logikanya tidak memiliki dana buat pesangon," ujarnya.
Sofyano menyarankan pemerintah untuk memberlakukan pola cost and fee kepada PT Badak LNG dan juga membolehkan perusahaan untuk melakukan bisnis lain terkait LNG. Dengan begitu, dia yakin perusahaan mampu menjaga keberlangsungan hidup kilang LNG itu ."SKK Migas pun perlu memberi perhatian dan dukungan lebih kepada kilang LNG milik negara ini," tandasnya.
(fai)