Awas Diskon Gede di Harlbolnas, Ternyata Ada Harga yang Dikerek Dulu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Nika Pranata menilai agenda Harbolnas sangat strategis bagi bangsa Indonesia ke depannya. Terutama untuk mendongkrak minat konsumsi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 yang masih lesu.
Karena itu dibutuhkan peran dan dukungan dari pemerintah terutama untuk pengawasan dan perlindungan konsumen. "Perlindungan data pribadi dan cybersecurity itu butuh pemerintah. Sampai sekarang RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) masih belum disahkan, padahal sangat dinantikan dalam e-commerce dan fintech," ujar Nika saat dihubungi hari ini (12/12) di Jakarta. ( Baca juga:Ini Kumpulan Promo Harbolnas 12.12, dari Shopee, Blibli, Hingga Garuda Indonesia! )
Dia mengatakan sering kali kasus kebocoran data konsumen tidak mendapat tindak lanjut berarti dari pemerintah. Makanya, butuh jaminan keamanan konsumen karena pastinya data itu akan tersebar dan diperdagangkan.
Keamanan siber yang terkait finansial penting untuk mengatur platform e-commerce skala kecil, seperti website usaha rumahan. Kemudian juga perlindungan dari praktik phising, OTP, dan lainnya.
Menurut dia, muatan RUU PDP sudah cukup bagus karena tegas melindungi data pribadi. Juga termasuk siapa yang berhak menyimpan dan memproses, berapa lama boleh disimpan, sampai sanksi menyebarkan data pribadi.
Untuk regulasi terkait Harbolnas secara langsung sebenarnya tidak ada. Tapi yang secara tidak langsung ada dalam PP 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik pada Pasal 35.
Pada intinya setiap pelaku usaha bertanggung jawab terhadap kebenaran substansi atau materi iklan yang disampaikan. Meskipun suatu iklan belum dapat dinyatakan sebagai kondisi penawaran, namun pihak yang mempercayai iklan tersebut dianggap telah memberikan kepercayaan terhadap subtansi yang ditawarkan.
Menurut dia contoh penawaran yang tidak sesuai, banyak pada diskon yang marak di Harbolnas. Faktanya banyak pedagang online yang mengerek harganya dulu. "Jadi seolah-olah diskonnya besar. Itu sebenarnya termasuk dalam Pasal 35 mengenai kesesuaian penawaran dengan substansi," ujar dia.
Tapi menurut dia pemerintah tidak seharusnya intervensi langsung ke penjual. Pemerintah bisa mengatur melalui pihak marketplace. "Jadi penyedia platformnya diberi kewajiban melindungi konsumen dari praktik-praktik tersebut," ujarnya. ( Baca juga:Preview Real Madrid vs Atletico Madrid: Siapa yang Bakal Dimangsa )
Sementara pengamat ekonomi dari INDEF Bhima Yudhistira juga turut menilai kenaikan volume transaksi e-commerce tidak diimbangi dengan pengawasan aduan konsumen. "Memang di setiap perusahaan e-commerce ada layanan aduan. Tapi tidak cukup dan respons setiap aduan berbeda-beda, dan tidak ada standarnya juga," ujar Bhima.
Berikutnya dalam jual beli secara online di media sosial lebih rentan bagi konsumen terkena penipuan. Pasar media sosial sangat potensial karena cakupannya relatif luas dibandingkan pada platform resmi. "Harusnya ada aturan yang lebih jelas terkait mekanisme pengaduan dan perlindungan konsumen di e-commerce," terangnya.
Karena itu dibutuhkan peran dan dukungan dari pemerintah terutama untuk pengawasan dan perlindungan konsumen. "Perlindungan data pribadi dan cybersecurity itu butuh pemerintah. Sampai sekarang RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) masih belum disahkan, padahal sangat dinantikan dalam e-commerce dan fintech," ujar Nika saat dihubungi hari ini (12/12) di Jakarta. ( Baca juga:Ini Kumpulan Promo Harbolnas 12.12, dari Shopee, Blibli, Hingga Garuda Indonesia! )
Dia mengatakan sering kali kasus kebocoran data konsumen tidak mendapat tindak lanjut berarti dari pemerintah. Makanya, butuh jaminan keamanan konsumen karena pastinya data itu akan tersebar dan diperdagangkan.
Keamanan siber yang terkait finansial penting untuk mengatur platform e-commerce skala kecil, seperti website usaha rumahan. Kemudian juga perlindungan dari praktik phising, OTP, dan lainnya.
Menurut dia, muatan RUU PDP sudah cukup bagus karena tegas melindungi data pribadi. Juga termasuk siapa yang berhak menyimpan dan memproses, berapa lama boleh disimpan, sampai sanksi menyebarkan data pribadi.
Untuk regulasi terkait Harbolnas secara langsung sebenarnya tidak ada. Tapi yang secara tidak langsung ada dalam PP 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik pada Pasal 35.
Pada intinya setiap pelaku usaha bertanggung jawab terhadap kebenaran substansi atau materi iklan yang disampaikan. Meskipun suatu iklan belum dapat dinyatakan sebagai kondisi penawaran, namun pihak yang mempercayai iklan tersebut dianggap telah memberikan kepercayaan terhadap subtansi yang ditawarkan.
Menurut dia contoh penawaran yang tidak sesuai, banyak pada diskon yang marak di Harbolnas. Faktanya banyak pedagang online yang mengerek harganya dulu. "Jadi seolah-olah diskonnya besar. Itu sebenarnya termasuk dalam Pasal 35 mengenai kesesuaian penawaran dengan substansi," ujar dia.
Tapi menurut dia pemerintah tidak seharusnya intervensi langsung ke penjual. Pemerintah bisa mengatur melalui pihak marketplace. "Jadi penyedia platformnya diberi kewajiban melindungi konsumen dari praktik-praktik tersebut," ujarnya. ( Baca juga:Preview Real Madrid vs Atletico Madrid: Siapa yang Bakal Dimangsa )
Sementara pengamat ekonomi dari INDEF Bhima Yudhistira juga turut menilai kenaikan volume transaksi e-commerce tidak diimbangi dengan pengawasan aduan konsumen. "Memang di setiap perusahaan e-commerce ada layanan aduan. Tapi tidak cukup dan respons setiap aduan berbeda-beda, dan tidak ada standarnya juga," ujar Bhima.
Berikutnya dalam jual beli secara online di media sosial lebih rentan bagi konsumen terkena penipuan. Pasar media sosial sangat potensial karena cakupannya relatif luas dibandingkan pada platform resmi. "Harusnya ada aturan yang lebih jelas terkait mekanisme pengaduan dan perlindungan konsumen di e-commerce," terangnya.
(uka)