Ini Alasan Anies Tagih Dana Bagi Hasil ke Kemenkeu yang Memicu Polemik
loading...
A
A
A
Tak ingin dianggap sebagai penghalang pencairan DBH Provinsi Jakarta, Ketua BPK Agung Firman pun ikut bersuara. Menurutnya, tidak ada kaitan antara pemeriksaan BPK dengan pembayaran DBH. Menurutnya, tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk membayar DBH. "Tidak ada hubungannya," tegas Agung.
Ketua BPK menjelaskan, audit yang dilakukan oleh BPK terhadap laporan keuangan yang diserahkan Kemenkeu merupakan pemeriksaan. Sedangkan yang dilakukan oleh Kemenkeu merupakan pengelolaan uang negara. Tidak ada ketentuannya di Undang-Undang Dasar maupun UU terkait pemeriksaan/keuangan negara/perbendaharaan negara yang mengatur pembayaran kewajiban DBH menunggu hasil audit BPK.
Jadi, silahkan saja Kementerian Keuangan untuk membuat keputusan masalah bayar atau tidak bayar di tangan Kemenkeu. Tidak perlu dihubungkan dengan pemeriksaan atau audit BPK.
Defisit APBD
Di saat pandemi seperti ini DBH memang amat dibutuhkan oleh Pemprov, pasalnya pendapatan Pemprov pun anjlok diterpa corona. Seperti yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, akibat pandemi ini, pendapatan Pemprov DKI diprediksi turun hingga 53% terutama dari sektor pajak karena pelemahan ekonomi.
Pemprov DKI Jakarta pun harus putar otak menata ulang struktur APDD 2020. Awalnya APBD DKI 2020 telah ditetapkan sebesar Rp 87,95 triliun kini berubah menjadi hanya Rp 44,66 triliun. Terkait DBH tahun 2020 yang diterima Pemprov Jakarta juga bakal merosot, karena karena pendapatan pemerintah pusat turun serta adanya kebijakan untuk menangani covid-19.
Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 54 tahun 2020 yang mengoreksi pendapatan, maka DBU untuk provinsi juga turun. Untuk DKI, kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti, turun dari Rp17 triliun menjadi Rp14 triliun. Astrea pun meminta agar jajaran Pemprov DKI menyesuaikan rancangan APBD 2020 serta 2021 berdasarkan pengurangan ini.
Dari hasil rapat DPRD DKI dengan Pemprov DKI Jakarta pada 5 Mei 2020, disepakati Pemprov akan menghapus anggaran gaji ke-13 dan 14 untuk seluruh aparatur sipil negara (ASN). Tunjangan kinerja daerah (TKD) atau tunjangan penghasilan pegawai (TPP) para pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta juga akan dipangkas 50% mulai Mei 2020 ini. Sebagai catatan kebijakan ini masih harus digodok Pemprov DKI dan akan dituangkan ke dalam Peraturan Gubernur (Pergub).
Pengurangan lainnya dilakukan pada pos belanja barang dan jasa. Semula mencapai Rp 23,67 triliun dipotong menjadi Rp 11,22 triliun. Pengurangan ini akan berakibat diantaranya, memangkas subsidi untuk PT Transportasi Jakarta (Transjakarta), PT Mass Rapid Transit (MRT), dan PT Lintas Rel Terpadu (LRT) sebesar 50%.
Artinya, subsidi untuk Transjakarta dari Rp 3,29 triliun menjadi Rp 1,97 triliun. Sedangkan subsidi MRT merosot dari Rp 825 miliar menjadi Rp 412,5 miliar. Lalu subsidi LRT menurun dari Rp 439,62 miliar menjadi Rp 219,81 miliar.
Ketua BPK menjelaskan, audit yang dilakukan oleh BPK terhadap laporan keuangan yang diserahkan Kemenkeu merupakan pemeriksaan. Sedangkan yang dilakukan oleh Kemenkeu merupakan pengelolaan uang negara. Tidak ada ketentuannya di Undang-Undang Dasar maupun UU terkait pemeriksaan/keuangan negara/perbendaharaan negara yang mengatur pembayaran kewajiban DBH menunggu hasil audit BPK.
Jadi, silahkan saja Kementerian Keuangan untuk membuat keputusan masalah bayar atau tidak bayar di tangan Kemenkeu. Tidak perlu dihubungkan dengan pemeriksaan atau audit BPK.
Defisit APBD
Di saat pandemi seperti ini DBH memang amat dibutuhkan oleh Pemprov, pasalnya pendapatan Pemprov pun anjlok diterpa corona. Seperti yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, akibat pandemi ini, pendapatan Pemprov DKI diprediksi turun hingga 53% terutama dari sektor pajak karena pelemahan ekonomi.
Pemprov DKI Jakarta pun harus putar otak menata ulang struktur APDD 2020. Awalnya APBD DKI 2020 telah ditetapkan sebesar Rp 87,95 triliun kini berubah menjadi hanya Rp 44,66 triliun. Terkait DBH tahun 2020 yang diterima Pemprov Jakarta juga bakal merosot, karena karena pendapatan pemerintah pusat turun serta adanya kebijakan untuk menangani covid-19.
Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 54 tahun 2020 yang mengoreksi pendapatan, maka DBU untuk provinsi juga turun. Untuk DKI, kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti, turun dari Rp17 triliun menjadi Rp14 triliun. Astrea pun meminta agar jajaran Pemprov DKI menyesuaikan rancangan APBD 2020 serta 2021 berdasarkan pengurangan ini.
Dari hasil rapat DPRD DKI dengan Pemprov DKI Jakarta pada 5 Mei 2020, disepakati Pemprov akan menghapus anggaran gaji ke-13 dan 14 untuk seluruh aparatur sipil negara (ASN). Tunjangan kinerja daerah (TKD) atau tunjangan penghasilan pegawai (TPP) para pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta juga akan dipangkas 50% mulai Mei 2020 ini. Sebagai catatan kebijakan ini masih harus digodok Pemprov DKI dan akan dituangkan ke dalam Peraturan Gubernur (Pergub).
Pengurangan lainnya dilakukan pada pos belanja barang dan jasa. Semula mencapai Rp 23,67 triliun dipotong menjadi Rp 11,22 triliun. Pengurangan ini akan berakibat diantaranya, memangkas subsidi untuk PT Transportasi Jakarta (Transjakarta), PT Mass Rapid Transit (MRT), dan PT Lintas Rel Terpadu (LRT) sebesar 50%.
Artinya, subsidi untuk Transjakarta dari Rp 3,29 triliun menjadi Rp 1,97 triliun. Sedangkan subsidi MRT merosot dari Rp 825 miliar menjadi Rp 412,5 miliar. Lalu subsidi LRT menurun dari Rp 439,62 miliar menjadi Rp 219,81 miliar.