Masa Krisis, Stabilitas Perbankan Perlu Dijaga
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat ekonomi dan perbankan Eko B Supriyanto menegaskan, dalam masa krisis saat ini perbankan merupakan jantung perekonomian bangsa. Untuk itu semua pihak perlu menjaga stabilitas, bukan malah membuat efek buruk terhadap sistem perbankan Indonesia.
Eko menyayangkan pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna yang mengumumkan nama 7 bank yang tidak diawasi dengan baik oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pernyataan tersebut dinilai terlalu lebay.
"Semua pihak setidaknya harus menjaga agar tidak celometan dalam memberi komentar “miring” mengenai bank. Jangan sampai penyataan disalah persepsikan oleh public. Adalah hak BPK untuk mengumumkan hasil itu, namun harusnya tidak memberi highlight nama 7 bank yang bisa menimbulkan persepsi yang berbeda di masyarakat. Apalagi, hasil audit itu tidak terjadi pada tahun 2020. Past performance yang situasi dan kondisinya berubah," ujar Eko dalam keterangannya.
Menurutnya sebuah bank berbeda dengan rumah sakit, atau perusahaan di sektor riil. Pasalnya, kepanikan pada satu bank akan menimbulkan kepanikan pada bank lain. "Pertanyaan yang selalu muncul, bank-bank mana lagi? Tapi, menurut pengalaman krisis 1998 dan 2008, selalu ada yang namanya fligt to quality, dana berpindah ke tempat yang dinilai lebih aman," katanya.
Dia menuturkan, efek pengungkapan nama-nama bank ke publik akan membuat nasabah gelisah, meski kondisi bank-bank yang disebut BPK itu sudah berbeda dari temuan BPK antara tahun 2017-2019. Bisa jadi bank-bank itu tidak seperti yang digambarkan dari temuan BPK.
Persepsi publik inilah yang harus dijaga, karena begitu BPK mengumumkan ketujuh bank tersebut terkait pengawasan OJK, sontak industri perbankan seperti tersulut api. "Bisik-bisik pun muncul ke grup-grup WhatsApp. Para direksi bank yang disebut sibuk menjawab pertanyaan nasabah, dan juga media," tegasnya.
Eko mengakui krisis kali ini berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Namun yang namanya perilaku pemilik uang tetap sama. "Nasabah memilih bank dengan risiko lebih kecil. Hukum itu berlangsung ketika krisis 1997/1998 lalu, dan tahun 2008. Hal ini, bukan tak mungkin bisa terulang di tahun 2020 jika tidak menjaga suasana confidence di industri perbankan. Situasi memang belum krisis, tapi krisis bisa dipicu dari sini," jelasnya.
Menurut Eko, jangan sampai Covid-19 ini menyerang bank lebih cepat hanya karena “kebanyakan komentar” yang tidak jelas. Persoalan fligft to quality ini sedang menunggu momentum untuk bergerak. Siklus krisis Covid-19, krisis keuangan, krisis sosial dan terakhir krisis politik. "Kita semua harus menjaga agar tidak sampai masuk ke krisis keuangan. Jika toh harus kena, tapi tidak seperti menghancurkan seperti tahun 1998 lalu," paparnya.
Eko menyayangkan pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna yang mengumumkan nama 7 bank yang tidak diawasi dengan baik oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pernyataan tersebut dinilai terlalu lebay.
"Semua pihak setidaknya harus menjaga agar tidak celometan dalam memberi komentar “miring” mengenai bank. Jangan sampai penyataan disalah persepsikan oleh public. Adalah hak BPK untuk mengumumkan hasil itu, namun harusnya tidak memberi highlight nama 7 bank yang bisa menimbulkan persepsi yang berbeda di masyarakat. Apalagi, hasil audit itu tidak terjadi pada tahun 2020. Past performance yang situasi dan kondisinya berubah," ujar Eko dalam keterangannya.
Menurutnya sebuah bank berbeda dengan rumah sakit, atau perusahaan di sektor riil. Pasalnya, kepanikan pada satu bank akan menimbulkan kepanikan pada bank lain. "Pertanyaan yang selalu muncul, bank-bank mana lagi? Tapi, menurut pengalaman krisis 1998 dan 2008, selalu ada yang namanya fligt to quality, dana berpindah ke tempat yang dinilai lebih aman," katanya.
Dia menuturkan, efek pengungkapan nama-nama bank ke publik akan membuat nasabah gelisah, meski kondisi bank-bank yang disebut BPK itu sudah berbeda dari temuan BPK antara tahun 2017-2019. Bisa jadi bank-bank itu tidak seperti yang digambarkan dari temuan BPK.
Persepsi publik inilah yang harus dijaga, karena begitu BPK mengumumkan ketujuh bank tersebut terkait pengawasan OJK, sontak industri perbankan seperti tersulut api. "Bisik-bisik pun muncul ke grup-grup WhatsApp. Para direksi bank yang disebut sibuk menjawab pertanyaan nasabah, dan juga media," tegasnya.
Eko mengakui krisis kali ini berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Namun yang namanya perilaku pemilik uang tetap sama. "Nasabah memilih bank dengan risiko lebih kecil. Hukum itu berlangsung ketika krisis 1997/1998 lalu, dan tahun 2008. Hal ini, bukan tak mungkin bisa terulang di tahun 2020 jika tidak menjaga suasana confidence di industri perbankan. Situasi memang belum krisis, tapi krisis bisa dipicu dari sini," jelasnya.
Menurut Eko, jangan sampai Covid-19 ini menyerang bank lebih cepat hanya karena “kebanyakan komentar” yang tidak jelas. Persoalan fligft to quality ini sedang menunggu momentum untuk bergerak. Siklus krisis Covid-19, krisis keuangan, krisis sosial dan terakhir krisis politik. "Kita semua harus menjaga agar tidak sampai masuk ke krisis keuangan. Jika toh harus kena, tapi tidak seperti menghancurkan seperti tahun 1998 lalu," paparnya.
(akr)