Ada Utang Jatuh Tempo di Balik Kenaikan Iuran BPJS, Buruh Siapkan Gugatan

Jum'at, 15 Mei 2020 - 08:10 WIB
loading...
Ada Utang Jatuh Tempo di Balik Kenaikan Iuran BPJS, Buruh Siapkan Gugatan
Foto: dok/SINDOphoto
A A A
JAKARTA - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan terus menyulut kecaman. Salah satunya dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menolak keras terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 64/2020 yang merevisi Perpres No 82/2018 terkait iuran BPJS Kesehatan.

Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan, setidaknya ada tiga alasan yang mendasari penolakan KSPI terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pertama, melanggar ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Menurut dia, negara seharusnya berkewajiban untuk melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Bukan malah membebani rakyat dengan menaikkan iuran. "Dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehaatan, maka ada potensi hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan akan terganggu. Karena kenaikan itu memberatkan masyarakat sehingga mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk membayar," kata Said kemarin. (Baca: Bebani Masyarakat, PAN Desak Pemerintah Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)

Kedua, KSPI menilai kenaikan iuran BPJS bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU 40/2004 tentang SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS. Dalam beleid itu disebutkan bahwa BPJS Kesehatan bukanlah BUMN, tetapi berbentuk badan hukum publik.

Said menuding pemerintah tidak boleh seenaknya menaikkan iuran secara sepihak tanpa meminta persetujuan dari pemilik BPJS Kesehatan. Adapun pemilik BPJS Kesehatan adalah mereka yang membayar iuran yang terdiri atas pemerintah yang membayar biaya untuk penerima bantuan iuran, pengusaha yang membayar iuran untuk buruh sebesar 4% dari gaji, buruh yang membayar iuran sebesar 1% dari gaji, dan masyarakat yang mengiur sesuai dengan kelas yang dipilihnya. "Karena itu, BPJS harus bertanya kepada masyarakat jika ingin menaikkan iuran. Tidak boleh seenaknya menaikkan secara sepihak," tegasnya.

Ketiga, Mahkamah Agung sudah membatalkan Perpres No 75/2019 yang sebelumnya menaikkan iuran. KSPI menilai, seharusnya untuk sesuatu yang sudah diputuskan oleh hukum, harus dijalankan. Tidak boleh diakal-akali untuk memaksakan kehendak.

"Oleh karena itu, KSPI meminta pemerintah menaati putusan MA. Jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak dibatalkan, sehabis Lebaran, KSPI akan mengajukan gugatan ke MA agar membatalkan Perpres tersebut," jelasnya. (Baca juga: Utang Jatuh Tempo BPJS Kesehatan Capai Rp4,4 Triliun)

Said juga meminta DPR untuk mengambil sikap politik dengan memanggil Menteri Kesehatan dan Direksi BPJS Kesehatan untuk melakukan rapat dengar pendapat (RDP) guna membatalkan Perpres tersebut.

Diketahui, Perpres No 64/2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan kembali menaikkan tarif iuran BPJS untuk kelas I dan kelas II sampai pada angka 90% lebih. Kelas I yang sebelumnnya membayar Rp80.000, sekarang menjadi Rp150.000. Sementara kelas II yang awalnya dikenakan tarif iuran Rp51.000, mulai 1 Juli nanti naik menjadi Rp100.000.

Wakil Ketua Komite III DPD Evi Apita Maya mengatakan, pemerintah seharusnya mengedepankan isi pertimbangan hukum putusan MA Nomor 7 P/HUM/2020. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa terjadinya defisit anggaran BPJS karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan BPJS Kesehatan tidak boleh dibebankan kepada masyarakat. “Putusan MA soal pembatalan kenaikan iuran BPJS telah terang benderang mengamanatkan agar pemerintah tidak boleh memberikan beban kepada masyarakat,” ujar senator asal NTB itu.

Anggota Komite III Evi Zainal Abidin menambahkan, pemerintah seharusnya mempertimbangkan juga kemampuan masyarakat. Pihaknya sangat memahami kondisi keuangan negara yang saat ini mengalami defisit karena penanganan Covid-19. Namun, tidak seharusnya negara yang berkewajiban memberi jaminan kesehatan kepada rakyatnya, justru ngeyel menaikkan iuran BPJS pada saat kondisi rakyat sedang terpuruk.

Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP PAN Yandri Susanto menyesalkan kebijakan Presiden yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan saat masyarakat tengah tertekan karena pandemi Covid-19. Karena itu, dia mendesak pemerintah untuk membatalkan kebijakan itu karena akan semakin meruntuhkan antibodi masyarakat di tengah berbagai terpaan persoalan akibat pandemi yang berkepanjangan. “Ini sungguh mengagetkan kita semua dan kita minta pemerintah membatalkan keputusan itu. Karena hari ini rakyat sedang kesusahan luar biasa,” kata Yandri.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Irwan mengungkapkan, kenaikan iuran BPJS berpotensi menghilangkan hak rakyat atas jaminan kesehatan karena tidak mampu membayar di tengah kondisi pandemi Covid-19. “Keputusan Presiden Jokowi itu telah mengabaikan hak konstitusional rakyat, di mana saat rakyat tengah terjepit akibat menurunnya pendapatan, kemudian dibebankan dengan naiknya iuran BPJS,” kata Irwan.

Utang Jatuh Tempo Rp4,4 Triliun

Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat BPJS Kesehatan memiliki utang jatuh tempo mencapai Rp4,443 triliun per 13 Mei 2020. Jumlah tersebut merupakan nilai yang harus dibayarkan kepada rumah sakit dari total klaim yang mencapai Rp6,212 triliun.

Lalu utang klaim yang belum jatuh tempo mencapai Rp1,031 triliun. Staf Ahli Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Pengeluaran Negara Kunta Dasa mengatakan, tercatat sampai dengan 13 Mei 2020 masih mempunyai utang klaim yang jatuh tempo kepada rumah sakit sekitar Rp4,4 triliun.

Dari jumlah itu, BPJS Kesehatan tercatat sudah menyelesaikan pembayaran dengan total Rp192,539 triliun. Namun, angka ini adalah akumulasi sejak 2018. Dia merinci klaim BPJS, di antaranya untuk outstanding klaim mencapai Rp6,21 triliun, merupakan klaim yang masih dalam proses verifikasi.

Klaim yang belum jatuh tempo sebesar Rp1,03 triliun, sudah jatuh tempo Rp4,44 triliun, dan klaim yang sudah dibayar sejak 2018 totalnya Rp192,5 triliun. "Dampak putusan MA dengan dibatalkannya Pasal 24, kondisi keuangan DJS kesehatan tahun 2020 diperkirakan akan mengalami defisit sebesar Rp6,9 triliun, termasuk menampung carry over defisit tahun 2019 sekitar Rp15,5 triliun," papar Kunta.

Menurut dia, besarnya angka tunggakan itu disebabkan oleh putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran dalam Pasal 34 Perpres No 75/2019. Dengan demikian, BPJS Kesehatan perlu segera memperbaiki situasi ini dan mengatasi defisitnya. (Baca juga: Voucher Makan hingga Diskon Pesawat Cara Menkeu Pulihkan Ekonomi)

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, iuran JKN-KIS peserta PBPU dan BP/Mandiri untuk Januari, Februari, dan Maret 2020, mengikuti Perpres No 75/2019, yaitu Rp160.000 untuk kelas I, Rp110.000 untuk kelas II, Rp42.000 untuk kelas III.

Sementara untuk April, Mei, dan Juni 2020, besaran iurannya mengikuti Perpres No 82/2018, yaitu Rp80.000 untuk kelas I, Rp51.000 untuk kelas II, dan Rp25.500 untuk kelas III. “Per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp150.000 untuk kelas I, Rp100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III,” pungkas M Iqbal. (Kiswondari/Abdul Rochim/Rina Anggraeni)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1903 seconds (0.1#10.140)