Duhh..... RPP Sektor Kehutanan dan Perkebunan Rugikan Petani Rp546 Triliun

Kamis, 14 Januari 2021 - 14:49 WIB
loading...
Duhh..... RPP Sektor Kehutanan dan Perkebunan Rugikan Petani Rp546 Triliun
Apkasindo menilai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Cipta Kerja sektor Kehutanan dan Perkebunan merugikan petani sawit. (Foto: Dok. Sindonews)
A A A
JAKARTA - Akhir Desember 2020, Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) berkirim surat kepada Presiden Jokowi terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Cipta Kerja Sektor Kehutanan dan Perkebunan. RPP ini adalah salah satu turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) Nomor 11 Tahun 2020.

Perkumpulan petani kelapa sawit terbesar di dunia ini terpaksa mengirim surat setebal 17 halaman itu lantaran isi RPP tadi sangat tidak berpihak kepada petani kelapa sawit .

(Baca juga:Gawattt….. RPP Cipta Kerja Sektor Kehutanan Bebani Petani Sawit)

Sanksi administrasi yang ada di RPP itu sangat tidak berpihak kepada petani kelapa sawit. Mulai dari denda yang tidak masuk akal hingga luasan maksimal kebun petani sawit yang bertentangan dengan Undang-Undang 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

“Di UU 39 itu disebutkan bahwa kebun petani kelapa sawit maksimal 25 hektare (ha). Sementara di RPP disebut hanya 5 ha yang diakomodir,” kata Ketua DPP Apkasindo Gulat Medali Emas Manurung dalam keterangannya, Kamis (14/1/2021).

(Baca juga:Kemnaker Libatkan Akademisi Susun RPP UU Cipta Kerja)

Adapun soal sanksi denda yang tak masuk akal tadi dikatakan lelaki 48 tahun ini, bahwa RPP dibuat simulasi rumus bahwa denda yang harus dibayar petani adalah Rp25 juta dikalikan lama menguasai lahan dikali luas lahan dikali volume kayu yang ditebang saat membuka lahan.

“Rumus ini sangat tidak masuk akal dan saya pastikan petani tak akan ada yang sanggup membayar. Nilainya puluhan miliar rupiah hingga ratusan miliar rupiah jika menggunakan rumus tersebut,” rinci Gulat.

(Baca juga:Tingkatkan Produktivitas, 2,8 Juta Hektar Kebun Sawit Rakyat Perlu Diremajakan)

Yang paling membikin Apkasindo khawatir, kata Gulat, di RPP itu disebutkan bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang sudah ditetapkan. “Sementara itu, mayoritas petani sawit justru ada di kawasan hutan yang masih dalam penunjukan, pemetaan dan penataan batas,” akunya.

Petani sawit adalah investor karena petani menanam sendiri, memupuk sendiri, memodali sendiri, membuat jalan sendiri semua serba sendiri. Dengan luas kebun petani dalam kawasan hutan seluas 2,73 juta ha jika tidak diakomodir dalam RPP dalam bentuk pasal khusus, maka investasi petani dengan luas 2,73 juta ha tersebut akan hilang sebesar Rp546 triliun, termasuk biaya sosialnya.

Belum lagi dihitung kerugian pemerintah untuk menghutankan kembali dan hilangnya potensi penerimaan negara yang diperkirakan mencapai Rp825 triliun. Jika digabung semua kerugian inventasi ini, maka totalnya mencapai Rp1.370 triliun.

Untuk kerugian penerimaan negara (Bea Keluar dan Pungutan Ekspor) baru dihitung satu tahun, jika umur tanaman masih produktif 10 tahun lagi maka tinggal mengalikan saja.

“UUCK hanya memberikan batas waktu 3 tahun untuk menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan tadi. Kalau persoalan klaim kawasan hutan tadi baru bisa kelar setelah pengukuhan kawasan hutan, kami pastikan waktu 3 tahun itu tidak akan cukup,” tambah Gulat.

Menurutnya, apabila tak terselesaikan maka petani sawit akan terus bermasalah dengan kawasan hutan. Akibatnya, program strategis Presiden-Wakil Presiden terkait perkebunan sawit rakyat (PSR) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) tidak akan pernah bisa digapai petani. Ini berdampak secara menyeluruh, sehingga menabrakkan Program Strategis Presiden/Wapres di Bidang Ketahanan Energi, Bidang Sawit berkelanjutan dan Program PSR ke RPP yang sedang dirancang ini. Terganggunya hulu (aspek budidaya dan produksi) akan praktis mengganggu hilir (industrilisasi).

(Baca juga:Jalan Tengah Penyelesaian Sawit Rakyat dalam Kawasan Hutan)

“Kita harus mensyukuri anugerah Tuhan kepada NKRI, yaitu sawit dapat tumbuh subur di Indonesia dan menjadi kebanggaan dan penopang ekonomi Indonesia dan sudah teruji saat krisis moneter 1998 dan Covid-19 bahwa sawitlah menjadi penopang ekonomi Indonesia, sebagaimana Pidato Presiden saat Rakernas Pembangunan Pertanian (11-01-2021) tentang ekonomi Indonesia bahwa sawit adalah penyumbang nilai ekspor tertinggi Indonesia,” jelas Gulat.

Dia berharap Presiden menegur semua perangkat yang terlibat dalam penyusunan RPP ini. “Sebab dalam UU Cipta Kerja sudah bagus dan kami Apkasindo setuju dengan roh UUCK tersebut,” katanya.

Tapi dalam RPP tidak sesuai dengan harapan besar yang sudah disampaikan presiden di beberapa kali pidato. “Kami menduga ada niat jahat yang terstruktur, masif dan sistematis dalam rencana besar Presiden Jokowi memperbaiki sistem regulasi kehutanan dan perkebunan di Indonesia ini yang sudah puluhan tahun sengaja dibiarkan berantakan,” tegasnya.

Makanya sejak awal dibahas Rancangan UUCK ini, kata Gulat, petani sawit Apkasindo mendukung sepenuhnya dan setelah disahkan oleh DPR RI pihaknya juga yang pertama menyatakan dukungan penuh melalui deklarasi di 134 Kabupaten/Kota dari 22 Provinsi DPW Apkasindo seluruh Indonesia. “Untuk itu kami petani sawit jangan dikhianati Tim RPP UUCK ini. Kami jangan dianaktirikan,” katanya.

Satu lagi yang dianggap kebijakan pemerintah tidak berpihak pada petani sawit, kata Gulat, kalau kebun perusahaan terindikasi dalam kawasan hutan lindung, diberi waktu berusaha di sana selama 15 tahun. “Tapi kalau petani sawit di kawasan hutan lindung, harus segera dikembalikan kepada negara,” kata Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.

Lantaran itulah, kata Gulat, di surat Apkasindo kepada Presiden meminta semua kebun sawit petani yang berada dalam kawasan hutan yang masih dalam tahap penunjukan, pemetaan dan penataan batas, berdasarkan tanda bukti hak berupa Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya UUCK, dikeluarkan dari klaim kawasan hutan.

“Kami juga minta dimasukkan hak dan kepentingan rakyat yang terindikasi dalam kawasan hutan ke dalam penyusunan RPP dengan membuat pasal-pasal khusus tentang penyelesaian kepemilikan lahan pekebun sawit dan kami juga minta difasilitasi untuk mempermudah proses penyelesaian klaim kawasan hutan itu,” ujarnya.

Selain itu DPP Apkasindo juga menyoroti dan keberatan dengan ketentuan Pasal 55 RPP yang bertentangan dengan Pasal 110B UU Cipta Kerja karena mengatur ketentuan proses penyidikan yang sedang berjalan atas dugaan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja tetap dilanjutkan. Padahal ketentuan Pasal 110B UU Cipta Kerja sudah jelas mengatur kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tersebut tidak dikenakan sanksi pidana, melainkan sanksi administrasi.

Dengan demikian jika pun ada proses penyidikan yang sedang berjalan seharusnya dihentikan demi hukum karena bukan tidak pidana, bukan malah melanjutkan proses penyidikannya.

“Proses penyidikan itu muaranya adalah sanksi pidana, jadi kalau UU CK sudah menentukan sanksinya adalah administrasi, maka adalah salah besar melanjutkan proses penyidikan itu”, kata Gulat Manurung.

Sementara itu, Pakar Perhutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo, justru meminta supaya pemerintah segera membuat pasal torpedo berupa pasal pengakuan sementara atas hak rakyat yang ada di dalam klaim kawasan hutan itu. “Mumpung Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kehutanan sedang digodok, bikin saja itu,” pintanya.

Pengakuan sementara tadi kata Sudarsono sangat penting biar rakyat bisa segera mengakses sumber daya. “Kalau rakyat itu petani sawit, biar dia bisa mengakses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” katanya.

Toh juga, kata dia, tidak ada kesalahan rakyat diklaim kawasan hutan itu, otoritas kehutanan saja yang lamban melakukan tata batas.

“Kalau dalam 5 tahun pemerintah belum juga bisa menyelesaikan pekerjaannya, pengakuan sementara tadi dipermanenkan saja, biar ada kepastian hukum bagi rakyat,” pintanya.

Sudarsono mengingatkan supaya otoritas kehutanan jangan sesekali memaksakan langgamnya kepada rakyat yang tidak mengerti apa-apa soal hukum. “Tak akan kelar-kelar. Ada saja nanti alasannya kenapa lambat. Alasan anggaranlah, inilah. Jangan digantung-gantung nasib rakyat itu,” pintanya.

Di sisi lain, Anggota Divisi Riset dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) Petrus Gunarso menyebut tujuan Presiden Jokowi memerintahkan anak buahnya menyusun UUCK adalah untuk memastikan orang bisa berinvestasi dengan tenang, mudah, murah dan tenaga kerja pun terserap.

“Kalau RPP yang disusun menimbulkan kegaduhan, kebun yang tumpang tindih dengan kawasan hutan yang sangat luas, sejatinya juga investasi. Penyelesaian untuk investasi ini perlu dicari,” kata ayah tiga anak ini.
(dar)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1684 seconds (0.1#10.140)