Mendag Lutfi Perjuangkan Hambatan Ekspor Otomotif di Filipina

Jum'at, 15 Januari 2021 - 15:21 WIB
loading...
Mendag Lutfi Perjuangkan...
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhamad Lutfi. Foto/Dok Kemendag
A A A
JAKARTA - Otoritas Filipina memutuskan untuk melakukan pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) untuk produk otomotif berupa mobil penumpang/kendaraan (passenger cars/vehicles, AHTN 8703) dan kendaraan komersial ringan (light commercial vehicles, AHTN 8704) untuk semua negara yang melakukan ekspor ke Filipina, salah satunya Indonesia.

BMTPS tersebut berbentuk cash bond dengan nilai PHP 70.000/unit untuk mobil penumpang/kendaraan dan PHP 110.000/unit untuk kendaraan komersial ringan. Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia menyatakan akan terus memperjuangkan agar Indonesia terlepas dari pengenaan BMTPS tersebut.

“Kami akan terus melakukan berbagai langkah dan upaya agar Indonesia terbebas dari pengenaan BMTPS ini. Pemerintah Filipina seharusnya memiliki bukti kuat sebelum menerapkan pengenaan BMTPS terhadap produk otomotif Indonesia. Pengenaan BMTPS tersebut harus didasari bukti empiris yang kuat bahwa industri domestik Filipina mengalami kerugian serius akibat barang impor yang salah satunya berasal dari Indonesia,” ujar Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi dalam keterangan resminya, Jumat (15/1/2021).

( )

Dalam surat resminya, Kementerian Perdagangan dan Industri (DTI) Filipina selaku otoritas penyelidikan menginformasikan bahwa pengenaan BMTPS akan berlaku selama 200 hari dimulai sejak dikeluarkannya customs order Filipina. Custom order tersebut diperkirakan dikeluarkan pada Januari 2021.

Dalam keputusan tersebut, Indonesia dikenakan BMTPS untuk produk mobil penumpang/kendaraan dalam bentuk cash bond sekitar Rp20 juta/unit tetapi dikecualikan untuk produk mobil penumpang impor dalam bentuk completely knocked-down; semi knocked-down; kendaraan bekas; serta kendaraan untuk tujuan khusus seperti ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan listrik, dan kendaraan mewah dengan harga di atas USD 25 ribu (free on board). Selain itu, Indonesia juga dikecualikan/tidak menjadi subjek BMTPS untuk produk kendaraan kendaraan komersial ringan.

“Industri otomotif Indonesia semakin tumbuh dan telah menjadi produk ekspor andalan. Saya harap penggunaan instrumen tindakan pengamanan (safeguard) dan pengenaan BMTPS harus dipertimbangkan secara matang, karena instrumen ini pada dasarnya hanya dapat digunakan sebagai tindakan pengamanan darurat (emergency measures) pada lonjakan impor yang diakibatkan hal-hal yang tidak terduga (unforeseen development) dan mengakibatkan kerugian serius pada industri domestik,” terang Mendag Lutfi.

( )

Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi. Menurutnya, pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah terhadap kebijakan pemerintah Filipina.

“Pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah dan akan tetap menyampaikan keberatannya pada berbagai forum atas pengenaan BMTPS oleh Filipina tersebut. , kami telah menyampaikan keberatan dan pembelaan tersebut secara formal,” tegas Didi.

Didi menambahkan, argumen yang digunakan otoritas Filipina dalam pengenaan BMTPS ini sangat lemah dan tidak sejalan dengan kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Hal tersebut dapat menjadi poin pertimbangan otoritas Filipina untuk meninjau ulang penyelidikan safeguard yang saat ini masih berlangsung.

“Diharapkan penyelidikan ini dihentikan dan bea masuk tindakan pengamanan/safeguard measure yang bersifat definitif tidak dikenakan Filipina,” papar Didi.

( )

Filipina memulai penyelidikan safeguard pada 17 Januari 2020 berdasarkan permohonan dari Philippine Metal Workers Alliance (PMA), yaitu serikat pekerja yang anggotanya terdiri dari gabungan pekerja perusahaan otomotif di Filipina. PMA mengklaim mengalami kerugian serius akibat lonjakan impor otomotif pada periode 2014—2018.

Didi menjelaskan, berdasarkan data BPS, nilai ekspor mobil penumpang Indonesia ke Filipina pada 2017—2019 mengalami fluktuasi. “Pada 2017 ekspor mobil penumpang tercatat sebesar USD1,20 miliar, pada 2018 turun menjadi USD1,12 miliar, dan pada 2019 meningkat sedikit menjadi USD1,13 miliar. Melalui data tersebut dapat dilihat bahwa tidak terjadi lonjakan impor yang signifikan dari Indonesia yang mendasari penyelidikan safeguard oleh Filipina,” tutup Didi.
(ind)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1496 seconds (0.1#10.140)