Daya Beli Pengaruhi Permintaan Kredit
loading...
A
A
A
JAKARTA-Perbankan nasional mengklaim turunnya permintaan kredit bukan disebabkan suku bunga kredit perbankan yang dinilai masih tinggi. Namun lebih disebabkan tingkat konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat juga menurun.
“Bagi BRI, untuk mendorong roda perekonomian atau dunia usaha melalui pertumbuhan kredit, maka yang perlu dilakukan adalah meningkatkan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat,” ujar Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Aestika Oryza kepada KORAN SINDO.
Dia melanjutkan, untuk menggerakkan dan memulihkan perekonomian di masa pandemi Covid-19, langkah pemerintah dinilai sudah tepat dengan mengeluarkan berbagai stimulus yang diterima masyarakat bawah, yang diberikan kepada pengusaha mikro dan kecil. Pasalnya dengan stimulus tersebut dapat menggerakkan perekonomian, khususnya mengungkit daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga.
"Kedua hal tersebutlah yang menjadi faktor utama yang akan mendorong permintaan/pertumbuhan kredit perbankan," papar Aestika. (Baca juga:Walah! Suku Bunga Turun Kredit Masih Bisa Seret Lho)
Menurut dia, dalam konteks permintaan kredit dari dunia usaha, lanjut dia, BRI terus berperan dalam menjalankan counter cyclical melalui fungsi agent of development. Hal ini terlihat dari penyaluran kredit yang tetap tumbuh positif meskipun ekonomi nasional terkontraksi.
Hingga akhir Desember 2020, kata Aestika, secara konsolidasian BRI berhasil menyalurkan kredit senilai Rp938,37 triliun atau tumbuh 3,89% year on year. Bahkan, khusus kredit mikro BRI tumbuh double digit mencapai 14,18 persen."Angka tersebut jauh lebih baik, jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit nasional di tahun 2020 yang diperkirakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berada dikisaran minus 1 hingga 2 persen," ungkapnya.
Sementara, Direktur Finance & SPAPM PT Bank CIMB Niaga Tbk Lee Kai Kwong mengatakan, penurunan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 125 basis point dari 5% menjadi 3,75% selama tahun 2020 telah diikuti penurunan suku bunga produk-produk perbankan baik pinjaman maupun simpanan nasabah.
Dia memaparkan, CIMB Niaga sebagai bank swasta nasional terbesar kedua di Indonesia dari sisi aset, secara bertahap juga telah melakukan penyesuaian suku bunga produk-produk pinjaman dan simpanan nasabah sejalan dengan penurunan suku bunga acuan.
"Suku bunga produk-produk CIMB Niaga, baik suku bunga pinjaman maupun simpanan nasabah, selalu disesuaikan dengan suku bunga acuan sembari tetap mempertimbangkan faktor-faktor lainnya seperti kondisi pasar keuangan, industri perbankan secara umum, faktor likuiditas pasar, dan faktor risiko kredit," tegas Lee Kai Kwong kepada KORAN SINDO.
Dia membeberkan, berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan kredit perbankan pada tahun 2020 turun 2,4% year on year yang mencerminkan turunnya permintaan baik dari sisi konsumen maupun bisnis sebagai dampak pandemi Covid-19.
CIMB Niaga, kata Lee Kai Kwong, memperkirakan pertumbuhan kredit akan positif pada 2021. Ada dua alasan yang disodorkan CIMB Niaga yakni dimulainya program vaksinasi Covid-19 dan perbaikan sejumlah indikator makro sejak kuartal III/2020 baik dari sisi konsumen (seperti Indeks Keyakinan Kosumen) maupun sisi bisnis (seperti Indeks PMI Manufakur).
"Kami perkirakan pertumbuhan kredit akan membaik (positif) pada tahun 2021 sejalan dengan ekspektasi perbaikan pertumbuhan ekonomi nasional," bebernya.
Menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, BI memiliki ruang untuk menekan suku bunga acuan hingga batas terendah atau 0%. Hal tersebut bisa saja dilakukan karena sejatinya bank sentral mempunyai independensi kelembagaan.
“Saat ini dalam kondisi krisis ekonomi, BI seharusnya menurunkan suku bunga. Bisa turun hingga paling rendah yakni 0 persen,” ujar Anthony.
Dia menambahkan, batasan suku bunga minimum tersebut disebutnya dapat memancing dana yang mengendap di sejumlah lembaga keuangan untuk bisa tersalurkan ke sektor yang lebih produktif. "Untuk dunia usaha ini bisa jadi kabar positif juga," katanya.
Sementara Chief Economist TanamDuit Ferry Latuhihin menilai suku bunga BI 0% tidak mungkin bisa dilakukan. Menurutnya untuk deposit rate atau suku bunga dana memungkinkan turun sampai ke 0%. "Tapi untuk lending rate (bunga kredit) tidak mungkin. Bank-bank setidaknya harus punya net interest margin atau NIM sebesar 5%. Ini untuk membiayai operasional," papar Ferry.Dia menjelaskan, lending rate di Indonesia masih tetap tinggi terus dan sulit turun justru disebabkan oleh lemahnya produktivitas. Ini tercermin pada statistik ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang berada di atas level 6.
"Jadi untuk menurunkan lending rate bank, produktivitas kita harus naik tajam. Tidak bisa secara artifisial diturunkan oleh pemerintah atau BI. Itulah pentingnya membangun infrastruktur. Sekarang Presiden Jokowi berani mengambil langkah itu dan sudah benar,” katanya. (sabir laluhu/hafid fuad)
“Bagi BRI, untuk mendorong roda perekonomian atau dunia usaha melalui pertumbuhan kredit, maka yang perlu dilakukan adalah meningkatkan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat,” ujar Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Aestika Oryza kepada KORAN SINDO.
Dia melanjutkan, untuk menggerakkan dan memulihkan perekonomian di masa pandemi Covid-19, langkah pemerintah dinilai sudah tepat dengan mengeluarkan berbagai stimulus yang diterima masyarakat bawah, yang diberikan kepada pengusaha mikro dan kecil. Pasalnya dengan stimulus tersebut dapat menggerakkan perekonomian, khususnya mengungkit daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga.
"Kedua hal tersebutlah yang menjadi faktor utama yang akan mendorong permintaan/pertumbuhan kredit perbankan," papar Aestika. (Baca juga:Walah! Suku Bunga Turun Kredit Masih Bisa Seret Lho)
Menurut dia, dalam konteks permintaan kredit dari dunia usaha, lanjut dia, BRI terus berperan dalam menjalankan counter cyclical melalui fungsi agent of development. Hal ini terlihat dari penyaluran kredit yang tetap tumbuh positif meskipun ekonomi nasional terkontraksi.
Hingga akhir Desember 2020, kata Aestika, secara konsolidasian BRI berhasil menyalurkan kredit senilai Rp938,37 triliun atau tumbuh 3,89% year on year. Bahkan, khusus kredit mikro BRI tumbuh double digit mencapai 14,18 persen."Angka tersebut jauh lebih baik, jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit nasional di tahun 2020 yang diperkirakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berada dikisaran minus 1 hingga 2 persen," ungkapnya.
Sementara, Direktur Finance & SPAPM PT Bank CIMB Niaga Tbk Lee Kai Kwong mengatakan, penurunan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 125 basis point dari 5% menjadi 3,75% selama tahun 2020 telah diikuti penurunan suku bunga produk-produk perbankan baik pinjaman maupun simpanan nasabah.
Dia memaparkan, CIMB Niaga sebagai bank swasta nasional terbesar kedua di Indonesia dari sisi aset, secara bertahap juga telah melakukan penyesuaian suku bunga produk-produk pinjaman dan simpanan nasabah sejalan dengan penurunan suku bunga acuan.
"Suku bunga produk-produk CIMB Niaga, baik suku bunga pinjaman maupun simpanan nasabah, selalu disesuaikan dengan suku bunga acuan sembari tetap mempertimbangkan faktor-faktor lainnya seperti kondisi pasar keuangan, industri perbankan secara umum, faktor likuiditas pasar, dan faktor risiko kredit," tegas Lee Kai Kwong kepada KORAN SINDO.
Dia membeberkan, berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan kredit perbankan pada tahun 2020 turun 2,4% year on year yang mencerminkan turunnya permintaan baik dari sisi konsumen maupun bisnis sebagai dampak pandemi Covid-19.
CIMB Niaga, kata Lee Kai Kwong, memperkirakan pertumbuhan kredit akan positif pada 2021. Ada dua alasan yang disodorkan CIMB Niaga yakni dimulainya program vaksinasi Covid-19 dan perbaikan sejumlah indikator makro sejak kuartal III/2020 baik dari sisi konsumen (seperti Indeks Keyakinan Kosumen) maupun sisi bisnis (seperti Indeks PMI Manufakur).
"Kami perkirakan pertumbuhan kredit akan membaik (positif) pada tahun 2021 sejalan dengan ekspektasi perbaikan pertumbuhan ekonomi nasional," bebernya.
Menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, BI memiliki ruang untuk menekan suku bunga acuan hingga batas terendah atau 0%. Hal tersebut bisa saja dilakukan karena sejatinya bank sentral mempunyai independensi kelembagaan.
“Saat ini dalam kondisi krisis ekonomi, BI seharusnya menurunkan suku bunga. Bisa turun hingga paling rendah yakni 0 persen,” ujar Anthony.
Dia menambahkan, batasan suku bunga minimum tersebut disebutnya dapat memancing dana yang mengendap di sejumlah lembaga keuangan untuk bisa tersalurkan ke sektor yang lebih produktif. "Untuk dunia usaha ini bisa jadi kabar positif juga," katanya.
Sementara Chief Economist TanamDuit Ferry Latuhihin menilai suku bunga BI 0% tidak mungkin bisa dilakukan. Menurutnya untuk deposit rate atau suku bunga dana memungkinkan turun sampai ke 0%. "Tapi untuk lending rate (bunga kredit) tidak mungkin. Bank-bank setidaknya harus punya net interest margin atau NIM sebesar 5%. Ini untuk membiayai operasional," papar Ferry.Dia menjelaskan, lending rate di Indonesia masih tetap tinggi terus dan sulit turun justru disebabkan oleh lemahnya produktivitas. Ini tercermin pada statistik ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang berada di atas level 6.
"Jadi untuk menurunkan lending rate bank, produktivitas kita harus naik tajam. Tidak bisa secara artifisial diturunkan oleh pemerintah atau BI. Itulah pentingnya membangun infrastruktur. Sekarang Presiden Jokowi berani mengambil langkah itu dan sudah benar,” katanya. (sabir laluhu/hafid fuad)
(bai)