Efek Suku Bunga BI Naik Jadi 6,25%, Siap-siap Kerek Cicilan KPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) resmi menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi level 6,25%. Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira pun buka suara.
Menurutnya, langkah BI dalam menaikan suku bunga acuan hanya sebagai obat parasetamol untuk meredam pelemahan Rupiah jangka pendek. Bhima menyebut langkah tersebut belum cukup untuk mencegah pelemahan Rupiah.
"Kenaikan suku bunga cuma obat parasetamol untuk redam pelemahan rupiah jangka pendek. Ya kalau mau pakai suku bunga terus jangankan 25 bps, sebanyak 50 bps saja belum cukup cegah pelemahan rupiah," kata dia melalui pernyataannya, Kamis (25/4/2024).
Lebih lanjut, Bhima berpendapat bahwa efek dari kenaikan bunga acuan hanya membuat masyarakat semakin terbebani. Pasalnya, pembelian rumah dan kendaraan bermotor yang biasa dilakukan masyarakat sebagian besar menggunakan fasilitas kredit.
"Kenaikan bunga acuan juga membuat kredit konsumsi lainnya mengalami pelambatan. Bunga di Indonesia sudah tinggi ditambah naiknya bunga acuan BI makin tinggi lagi," tutur Bhima.
"Pendapatan masyarakat yang dialokasikan untuk bayar cicilan kredit bisa makin besar porsinya dan mengurangi alokasi pembelian barang lainnya," tandasnya.
Untuk diketahui, langkah BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi level 6,25%, salah satu alasannya karena perubahan arah penurunan suku bunga The Fed dan meningkatnya ketegangan politik Timur Tengah.
"Skenario baseline di atas 75% Fed Fund Rate akan turun sekali di 25 bps di Kuartal IV, yang kemungkinan di Desember 2024," kata Perry dalam konferensi pers RDG BI Bulan April 2024.
Adapun perkiraan selanjutnya suku bunga acuan AS turun 50 bps di triwulan I atau triwulan II 2025. Namun demikian hal tersebut bisa berubah sesuai dengan risiko yang dihadapi ke depan. Perry menjelaskan skenario lainnya, suku bunga The Fed akan tetap tinggi lebih lama pada 2024 dan baru turun 25 bps di 2025.
"Itulah mengenai probabilitas yang kami lakukan untuk bagaimana nanti memitigasi potential risk agar kembali ke baseline," jelasnya.
Menurutnya, langkah BI dalam menaikan suku bunga acuan hanya sebagai obat parasetamol untuk meredam pelemahan Rupiah jangka pendek. Bhima menyebut langkah tersebut belum cukup untuk mencegah pelemahan Rupiah.
"Kenaikan suku bunga cuma obat parasetamol untuk redam pelemahan rupiah jangka pendek. Ya kalau mau pakai suku bunga terus jangankan 25 bps, sebanyak 50 bps saja belum cukup cegah pelemahan rupiah," kata dia melalui pernyataannya, Kamis (25/4/2024).
Lebih lanjut, Bhima berpendapat bahwa efek dari kenaikan bunga acuan hanya membuat masyarakat semakin terbebani. Pasalnya, pembelian rumah dan kendaraan bermotor yang biasa dilakukan masyarakat sebagian besar menggunakan fasilitas kredit.
"Kenaikan bunga acuan juga membuat kredit konsumsi lainnya mengalami pelambatan. Bunga di Indonesia sudah tinggi ditambah naiknya bunga acuan BI makin tinggi lagi," tutur Bhima.
"Pendapatan masyarakat yang dialokasikan untuk bayar cicilan kredit bisa makin besar porsinya dan mengurangi alokasi pembelian barang lainnya," tandasnya.
Untuk diketahui, langkah BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi level 6,25%, salah satu alasannya karena perubahan arah penurunan suku bunga The Fed dan meningkatnya ketegangan politik Timur Tengah.
"Skenario baseline di atas 75% Fed Fund Rate akan turun sekali di 25 bps di Kuartal IV, yang kemungkinan di Desember 2024," kata Perry dalam konferensi pers RDG BI Bulan April 2024.
Adapun perkiraan selanjutnya suku bunga acuan AS turun 50 bps di triwulan I atau triwulan II 2025. Namun demikian hal tersebut bisa berubah sesuai dengan risiko yang dihadapi ke depan. Perry menjelaskan skenario lainnya, suku bunga The Fed akan tetap tinggi lebih lama pada 2024 dan baru turun 25 bps di 2025.
"Itulah mengenai probabilitas yang kami lakukan untuk bagaimana nanti memitigasi potential risk agar kembali ke baseline," jelasnya.
(nng)