Insentif Bikin Dunia Usaha Bangkit
loading...
A
A
A
JAKARTA-Sudah setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Wabah itu telah berimbas besar. Tidak hanya dari segi kesehatan, dampaknya juga menimpa perekonomian nasiona l. Tidak sedikit korporasi atau industri yang terkena guncangan ekonomi. Ada yang bertahan, namun ada juga yang gulung tikar.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana menuturkan pemerintah menjanjikan mengeluarkan insentif kepada dunia usaha seperti pajak dan substitusi. Begitu juga perbankan dengan kredit pinjaman dan pelunakan kredit pembayaran.
Namun pihaknya tidak mengetahui siapa saja industri yang menerima fasilitas insentif tersebut. Sebab, pemanfaatannya kembali pada masing-masing perusahaan. (Baca juga:Relaksasi PPnBM Jadi Momen Pemulihan Ekonomi Lewat Otomotif)
“Apakah secara makro, sekarang masih membutuhkan insentif dalam bentuk lain? Ini yang harus lebih dibahas lebih detail. Kadang-kadang pemerintah tidak melibatkan dunia usaha dalam membahas kebijakan insentif ini sehingga yang diterbitkan atas regulasi pemerintah itu justru tidak tepat sasaran. Hanya termanfaatkan oleh industri kelompok tertentu,” ujarnya kepada KORAN SINDO, kemarin.
Menurut Danang, insentif yang digelontorkan pemerintah harusnya dilakukan secara terbuka dan transparan. Hal ini supaya semua pengusaha bisa mengakses dengan mudah apabila mereka mengalami kendala produksi atau ekspansi di perusahaan. “Sehingga mempertahankan karyawan bisa diprioritaskan,” katanya.
Meski begitu, Danang menilai korporasi atau industri juga tidak mudah cengeng untuk mengharapkan insentif pemerintah di tengah anomali atau situasi tidak normal karena pandemi saat ini. Sebab pemerintah juga memiliki keterbatasan dalam memberikan bantuan. Selain itu, tingkat kepercayaan pemerintah terhadap perusahaan terhadap kondisi finansial perusahaan juga memiliki batasnya.
“Jadi, kita sebagai pengusaha juga bisa melihat dari sisi yang lain. Jangan terus menerus mendesak pemerintah untuk mengeluarkan insentif. Tetapi konteks berpikirnya adalah seberapa jauh dunia usaha memanfaatkan insentif yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dan secara transparan memberikan usulan dibarengi data kebutuhan spesifik di sektornya,” ujarnya.
Sekarang beban bea masuk maupun keluar untuk produk-produk komponen industri sudah relatif banyak diberikan insentif dan kemudahan oleh pemerintah. Hanya saja, ada saja regulasi yang dianggap kontradiktif dengan kebutuhan produksi industri di dalam negeri.
“Memang pemerintah juga berulangkali menerbitkan kebijakan yang sangat tidak akurat. Ini yang harusnya kalangan dunia usaha harus kritis kepada pemerintah. Misalnya, aturan baru Permenperin tentang Gula Rafinasi yang diterbitkan. Itu menunjukkan bahwa pemerintah juga tidak memberikan sensitivitas bisnis kepada dunia usaha yang mampu berinovasi. Ini menunjukkan pemerintah masih berpihak pada dunia bisnis konvensional,” celetuknya.
Ia juga menilai pemerintah juga sudah memberikan insentif langsung ke konsumen. Hal ini dilakukan untuk mendongkrak daya beli. Misalnya melalui bantuan sosial tunai (BST), bantuan presiden, subsidi upah, dan lainnya.
Dia menyebutkan ada dua insentif fiskal yang yang dapat diberikan untuk memacu daya beli masyarakat, yakni pajak pertambahan nilai (PPN) dan cukai. selama ini PPN berkontribusi cukup besar terhadap pendapatan negara. Karena itu, pembebasan PPN juga akan berdampak cukup besar terhadap penerimaan negara. Namun, di sisi lain, pembebasan PPN dapat membantu menjaga daya beli masyarakat.
Danang berpendapat pemulihan ekonomi sebenarnya bisa dimulai dari sektor industri tertentu. Menurutnya, ada tiga jenis industri yang bisa mengerek atau menjadi gerbong lokomotif dari industri terkait lainnya. Ketiganya yaitu industri logistik dan transportasi, industri pertanian-perkebunan, dan industri berteknologi tinggi menggantikan bahan bakar fosil.
“Tiga industri ini kalau didorong, dikembangkan dan difokuskan oleh pemerintah, maka akan mengerek industri-industri lainnya. Properti tumbuh, perbankan tumbuh, sandang-pangan tumbuh, otomotif tumbuh. Jadi tidak perlu berpikir pada semua, tapi bukan berarti semua ditinggalkan. Tapi lokomotifnya harus jelas. Ibaratnya, garda depannya itu tiga industri tadi,” jelasnya.
Menurut dia, salah satu tantangan sekaligus solusi ke depan yaitu memodernisasi birokrasi. Pemerintah harus membuat regulasi dengan benar-benar mendengar kebutuhan dunia usaha dengan membuka ruang komunikasi. Sementara di sisi lain, pengusaha juga harus lebih realistis dengan kondisi saat ini.
Sementara, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai bantuan dana PEN tahun lalu untuk sektor industri melalui insentif keringanan pajak belum efektif. Hal itu dilihat dari realisasinya yang lebih rendah dibandingkan pos lain seperti perlindungan sosial, pembiayaan korporasi, bantuan bagi UMKM, sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Ada beberapa alasan realisasi itu belum efektif. Pertama, momentum pemberian insentif pajak dianggap belum tepat waktunya. “Insentif pajak itu betul tapi momentumnya yang harus disesuaikan. Pemberian insentif pajak itu akan lebih tepat diberlakukan, akan lebih optimal setelah pemulihan ekonomi sudah berjalan lebih stabil,” kata Yusuf kepada KORAN SINDO, kemarin.
Memang ada beberapa industri yang menggunakan insentif tersebut. Tetapi masalah utama dari mereka bukanlah di pajaknya. Yusuf menilai ketika industri mengalami kehilangan atau penurunan pendapatan, tentu pembayaran pajaknya akan menyesuaikan.
Kedua, lanjut dia, berkaitan dengan masalah sosialisasi. Di tahun lalu, pemerintah memberikan insentif pajak kepada sekitar 1.000 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Namun, Yusuf tidak meyakini semua industri yang masuk dalam sektor tersebut mengetahui adanya insentif pajak tersebut.
“Tantangannya adalah melakukan sosialisasi. Ketika tidak dilakukan sosialisasi secara massif, apalagi calon penerimanya itu sangat banyak, ini yang kemudian menurunkan efektivitas dari kebijakan insentif ini,” jelas dia.
Persoalan itu juga tidak hanya terhadap industri. Tantangan insentif pajak ini juga diberikan kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Menurut dia, ada beberapa aturan yang sempat berubah dari kebijakan pemberian insentif tersebut. Meski tujuannya untuk memudahkan calon penerimanya, tetapi insentif khususnya bagi UMKM itu membuat bingung atas perubahan kebijakan yang dilakukan.
Yusuf berpendapat kebijakan insentif yang diberikan pemerintah untuk sektor industri tidak bisa berjalan sendiri. Sebab, pemulihan ekonomi tetap bergantung penuh pada seberapa besar kasus Covid-19 bisa ditanggulangi. “Itu menjadi kunci mengapa proses pemulihan di tahun lalu meskipun ada progres perbaikan, tetapi kalau dari kuartal II hingga IV ternyata relatif berjalan lebih lambat. Akhirnya, beberapa jenis industri harus melakukan penyesuaian karena pendapatan usaha mereka berkurang,” tambahnya.
Lebih lanjut, insentif pajak bisa berjalan efektif jika didahului dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya mendorong pemulihan ekonomi lebih cepat. Ia menyarankan pemerintah perlu mengkaji lagi atau mengevaluasi tahapan-tahapan pemulihan ekonomi sebelum memberikan insentif di kemudian hari.
Yusuf menilai bantuan yang paling tepat untuk sektor industri saat ini yaitu kredit penjaminan modal usaha. Insentif itu sebenarnya juga diberikan pemerintah di tahun lalu. Selain BUMN, bantuan tersebut juga diperuntukkan bagi lapangan usaha atau industri padat karya.
“Saya kira ini bisa dielaborasi, dipertajam lagi untuk bisa diberikan kepada para pelaku industri. Banyak dari industri itu masih membutuhkan jaminan untuk melakukan ekspansi usaha. Tetapi, tetap saja proses pemulihan kasus Covid dulu yang harus lebih stabil. Kuncinya di situ. Kalau tidak menyasar kunci itu, akhirnya fluktuatif. Oke, pemulihan ekonomi berjalan tetapi ada potensi lebih lambat dan potensi kembali melambat ketika kasus Covid kembali meningkat. Ini menjadi tantangan bagi apapun bentuk bantuannya,” tukasnya.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menilai berbagai insentif yang diterbitkan pemerintah serta besarnya anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) dapat membangkitkan perekonomian Indonesia. Namun, hasilnya belum bisa dirasakan pada kuartal I/2021 ini.
Dia memprediksi ekonomi akan tumbuh positif pada kuartal II/2021. Hal itu seiring dengan tren data kasus Covid-19 yang terus menurun.
Menurut dia, pada tahun lalu, pemerintah membantu dan mendorong masyarakat kelas bawah dengan perlindungan sosial. Namun, pertumbuhan ekonomi tetap minus. Setelah ditelusuri, konsumsi kelas menengah masih kurang besar. Maka tahun ini, pemerintah berusaha keras mendorong konsumsi dari masyarakat kelas menengah.
“Sekarang kebijakan-kebijakan banyak diarahkan untuk meningkatkan konsumsi kelas menengah. Makanya, PPnBM diturunkan dan pajak properti diperingan. Itu untuk mendorong konsumsi kelas menengah. Itu salah satu strategi agar kuartal I dan II sudah tumbuh positif. Menurut saya, sudah pada track yang tepat,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin.
Telisa memaparkan upaya lain memacu ekonomi dengan program penjaminan dan penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI). Pemerintah telah menunjuk Askrindo dan Jamkrindo untuk penjaminan modal kerja. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BI pun telah melakukan sejumlah relaksasi aturan untuk sektor properti dan kendaraan bermotor.
“Dengan itu, diharapkan pengusaha-pengusaha bisa berekspansi meningkatkan usahanya melalui pengambilan kredit baru untuk mendorong tumbuhnya aktivitas ekonomi. Kemudian pada sejumlah sektor tertentu diberikan penjaminan kredit UMKM. Kemudian, percepatan vaksin itu untuk meningkatkan confident pengusaha, makanya ada vaksin mandiri,” tuturnya.Faorick Pakpahan/FW Bahtiar
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana menuturkan pemerintah menjanjikan mengeluarkan insentif kepada dunia usaha seperti pajak dan substitusi. Begitu juga perbankan dengan kredit pinjaman dan pelunakan kredit pembayaran.
Namun pihaknya tidak mengetahui siapa saja industri yang menerima fasilitas insentif tersebut. Sebab, pemanfaatannya kembali pada masing-masing perusahaan. (Baca juga:Relaksasi PPnBM Jadi Momen Pemulihan Ekonomi Lewat Otomotif)
“Apakah secara makro, sekarang masih membutuhkan insentif dalam bentuk lain? Ini yang harus lebih dibahas lebih detail. Kadang-kadang pemerintah tidak melibatkan dunia usaha dalam membahas kebijakan insentif ini sehingga yang diterbitkan atas regulasi pemerintah itu justru tidak tepat sasaran. Hanya termanfaatkan oleh industri kelompok tertentu,” ujarnya kepada KORAN SINDO, kemarin.
Menurut Danang, insentif yang digelontorkan pemerintah harusnya dilakukan secara terbuka dan transparan. Hal ini supaya semua pengusaha bisa mengakses dengan mudah apabila mereka mengalami kendala produksi atau ekspansi di perusahaan. “Sehingga mempertahankan karyawan bisa diprioritaskan,” katanya.
Meski begitu, Danang menilai korporasi atau industri juga tidak mudah cengeng untuk mengharapkan insentif pemerintah di tengah anomali atau situasi tidak normal karena pandemi saat ini. Sebab pemerintah juga memiliki keterbatasan dalam memberikan bantuan. Selain itu, tingkat kepercayaan pemerintah terhadap perusahaan terhadap kondisi finansial perusahaan juga memiliki batasnya.
“Jadi, kita sebagai pengusaha juga bisa melihat dari sisi yang lain. Jangan terus menerus mendesak pemerintah untuk mengeluarkan insentif. Tetapi konteks berpikirnya adalah seberapa jauh dunia usaha memanfaatkan insentif yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dan secara transparan memberikan usulan dibarengi data kebutuhan spesifik di sektornya,” ujarnya.
Sekarang beban bea masuk maupun keluar untuk produk-produk komponen industri sudah relatif banyak diberikan insentif dan kemudahan oleh pemerintah. Hanya saja, ada saja regulasi yang dianggap kontradiktif dengan kebutuhan produksi industri di dalam negeri.
“Memang pemerintah juga berulangkali menerbitkan kebijakan yang sangat tidak akurat. Ini yang harusnya kalangan dunia usaha harus kritis kepada pemerintah. Misalnya, aturan baru Permenperin tentang Gula Rafinasi yang diterbitkan. Itu menunjukkan bahwa pemerintah juga tidak memberikan sensitivitas bisnis kepada dunia usaha yang mampu berinovasi. Ini menunjukkan pemerintah masih berpihak pada dunia bisnis konvensional,” celetuknya.
Ia juga menilai pemerintah juga sudah memberikan insentif langsung ke konsumen. Hal ini dilakukan untuk mendongkrak daya beli. Misalnya melalui bantuan sosial tunai (BST), bantuan presiden, subsidi upah, dan lainnya.
Dia menyebutkan ada dua insentif fiskal yang yang dapat diberikan untuk memacu daya beli masyarakat, yakni pajak pertambahan nilai (PPN) dan cukai. selama ini PPN berkontribusi cukup besar terhadap pendapatan negara. Karena itu, pembebasan PPN juga akan berdampak cukup besar terhadap penerimaan negara. Namun, di sisi lain, pembebasan PPN dapat membantu menjaga daya beli masyarakat.
Danang berpendapat pemulihan ekonomi sebenarnya bisa dimulai dari sektor industri tertentu. Menurutnya, ada tiga jenis industri yang bisa mengerek atau menjadi gerbong lokomotif dari industri terkait lainnya. Ketiganya yaitu industri logistik dan transportasi, industri pertanian-perkebunan, dan industri berteknologi tinggi menggantikan bahan bakar fosil.
“Tiga industri ini kalau didorong, dikembangkan dan difokuskan oleh pemerintah, maka akan mengerek industri-industri lainnya. Properti tumbuh, perbankan tumbuh, sandang-pangan tumbuh, otomotif tumbuh. Jadi tidak perlu berpikir pada semua, tapi bukan berarti semua ditinggalkan. Tapi lokomotifnya harus jelas. Ibaratnya, garda depannya itu tiga industri tadi,” jelasnya.
Menurut dia, salah satu tantangan sekaligus solusi ke depan yaitu memodernisasi birokrasi. Pemerintah harus membuat regulasi dengan benar-benar mendengar kebutuhan dunia usaha dengan membuka ruang komunikasi. Sementara di sisi lain, pengusaha juga harus lebih realistis dengan kondisi saat ini.
Sementara, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai bantuan dana PEN tahun lalu untuk sektor industri melalui insentif keringanan pajak belum efektif. Hal itu dilihat dari realisasinya yang lebih rendah dibandingkan pos lain seperti perlindungan sosial, pembiayaan korporasi, bantuan bagi UMKM, sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Ada beberapa alasan realisasi itu belum efektif. Pertama, momentum pemberian insentif pajak dianggap belum tepat waktunya. “Insentif pajak itu betul tapi momentumnya yang harus disesuaikan. Pemberian insentif pajak itu akan lebih tepat diberlakukan, akan lebih optimal setelah pemulihan ekonomi sudah berjalan lebih stabil,” kata Yusuf kepada KORAN SINDO, kemarin.
Memang ada beberapa industri yang menggunakan insentif tersebut. Tetapi masalah utama dari mereka bukanlah di pajaknya. Yusuf menilai ketika industri mengalami kehilangan atau penurunan pendapatan, tentu pembayaran pajaknya akan menyesuaikan.
Kedua, lanjut dia, berkaitan dengan masalah sosialisasi. Di tahun lalu, pemerintah memberikan insentif pajak kepada sekitar 1.000 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Namun, Yusuf tidak meyakini semua industri yang masuk dalam sektor tersebut mengetahui adanya insentif pajak tersebut.
“Tantangannya adalah melakukan sosialisasi. Ketika tidak dilakukan sosialisasi secara massif, apalagi calon penerimanya itu sangat banyak, ini yang kemudian menurunkan efektivitas dari kebijakan insentif ini,” jelas dia.
Persoalan itu juga tidak hanya terhadap industri. Tantangan insentif pajak ini juga diberikan kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Menurut dia, ada beberapa aturan yang sempat berubah dari kebijakan pemberian insentif tersebut. Meski tujuannya untuk memudahkan calon penerimanya, tetapi insentif khususnya bagi UMKM itu membuat bingung atas perubahan kebijakan yang dilakukan.
Yusuf berpendapat kebijakan insentif yang diberikan pemerintah untuk sektor industri tidak bisa berjalan sendiri. Sebab, pemulihan ekonomi tetap bergantung penuh pada seberapa besar kasus Covid-19 bisa ditanggulangi. “Itu menjadi kunci mengapa proses pemulihan di tahun lalu meskipun ada progres perbaikan, tetapi kalau dari kuartal II hingga IV ternyata relatif berjalan lebih lambat. Akhirnya, beberapa jenis industri harus melakukan penyesuaian karena pendapatan usaha mereka berkurang,” tambahnya.
Lebih lanjut, insentif pajak bisa berjalan efektif jika didahului dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya mendorong pemulihan ekonomi lebih cepat. Ia menyarankan pemerintah perlu mengkaji lagi atau mengevaluasi tahapan-tahapan pemulihan ekonomi sebelum memberikan insentif di kemudian hari.
Yusuf menilai bantuan yang paling tepat untuk sektor industri saat ini yaitu kredit penjaminan modal usaha. Insentif itu sebenarnya juga diberikan pemerintah di tahun lalu. Selain BUMN, bantuan tersebut juga diperuntukkan bagi lapangan usaha atau industri padat karya.
“Saya kira ini bisa dielaborasi, dipertajam lagi untuk bisa diberikan kepada para pelaku industri. Banyak dari industri itu masih membutuhkan jaminan untuk melakukan ekspansi usaha. Tetapi, tetap saja proses pemulihan kasus Covid dulu yang harus lebih stabil. Kuncinya di situ. Kalau tidak menyasar kunci itu, akhirnya fluktuatif. Oke, pemulihan ekonomi berjalan tetapi ada potensi lebih lambat dan potensi kembali melambat ketika kasus Covid kembali meningkat. Ini menjadi tantangan bagi apapun bentuk bantuannya,” tukasnya.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menilai berbagai insentif yang diterbitkan pemerintah serta besarnya anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) dapat membangkitkan perekonomian Indonesia. Namun, hasilnya belum bisa dirasakan pada kuartal I/2021 ini.
Dia memprediksi ekonomi akan tumbuh positif pada kuartal II/2021. Hal itu seiring dengan tren data kasus Covid-19 yang terus menurun.
Menurut dia, pada tahun lalu, pemerintah membantu dan mendorong masyarakat kelas bawah dengan perlindungan sosial. Namun, pertumbuhan ekonomi tetap minus. Setelah ditelusuri, konsumsi kelas menengah masih kurang besar. Maka tahun ini, pemerintah berusaha keras mendorong konsumsi dari masyarakat kelas menengah.
“Sekarang kebijakan-kebijakan banyak diarahkan untuk meningkatkan konsumsi kelas menengah. Makanya, PPnBM diturunkan dan pajak properti diperingan. Itu untuk mendorong konsumsi kelas menengah. Itu salah satu strategi agar kuartal I dan II sudah tumbuh positif. Menurut saya, sudah pada track yang tepat,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin.
Telisa memaparkan upaya lain memacu ekonomi dengan program penjaminan dan penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI). Pemerintah telah menunjuk Askrindo dan Jamkrindo untuk penjaminan modal kerja. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BI pun telah melakukan sejumlah relaksasi aturan untuk sektor properti dan kendaraan bermotor.
“Dengan itu, diharapkan pengusaha-pengusaha bisa berekspansi meningkatkan usahanya melalui pengambilan kredit baru untuk mendorong tumbuhnya aktivitas ekonomi. Kemudian pada sejumlah sektor tertentu diberikan penjaminan kredit UMKM. Kemudian, percepatan vaksin itu untuk meningkatkan confident pengusaha, makanya ada vaksin mandiri,” tuturnya.Faorick Pakpahan/FW Bahtiar
(bai)