Kendalikan Harga Pangan Jelang Ramadhan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menjelang bulan Ramadhan dan Idulfitri, seperti tahun-tahun sebelumnya harga beberapa barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik. Paling mencolok harga cabai rawit merah yang sudah mencapai di atas Rp100.000 per kg, jauh di atas harga normal di kisaran Rp35-40.000 per kg.
Selain cabai, pantauan KORAN SINDO di toko sembako di Kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, harga beberapa barang kebutuhan pokok juga mulai merangkak naik. Di antaranya, gula pasir dari sebelumnya Rp13.000 menjadi Rp14.000 per kg.
Jenis sembako lainnya seperti minyak goreng curah juga mengalami kenaikan dari sebelumnya Rp12.000 per kg menjadi Rp15.000 per kg. Adapun harga daging sapi, menurut data Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (DPP APDI) menyebutkan, dibandingkan posisi Desember 2020 yang tingkat eceran Rp120.000 per kg, pada Maret ini sudah berada di kisaran Rp130.000-140.000 per kg.
Ihkwal kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadan ini diakui oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (PDN Kemendag) Syailendra. Menurutnya, harga cabai memang belum stabil hingga saat ini. Berdasarkan informasi di hargapangan.id, harga cabai rawit merah di Jawa Barat masih berada di kisaran Rp124.700 per kg, Banten Rp132.500 per kg, dan DKI Jakarta Rp135.000 per kg. Harga tersebut jauh di atas harga normal di kisaran Rp35-40.000 per kg.
Melihat kondisi tersebut, Kemendag terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan sejumlah asosiasi untuk mengamankan stok pangan jelang Ramadan dan Idul Fitri. Menurut Syailendra, daerah penghasil cabai rawit merah memang tidak banyak. Salah satunya adalah Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim).
“Kami sudah melakukan komunikasi dengan asosiasi dan petani cabai di sana dan berdasarkan informasi, harga cabai yang tak turun itu karena dataran rendah terkena banjir. 30-40% enggak produksi. Tinggal dataran tinggi yang produksi,” kata Syailendra kepada KORAN SINDO, Minggu (21/3) malam.
Di luar persoalan harga cabai, Syailendra memastikan stok pangan lainnya, seperti beras dan gula, aman. Khusus gula, ketika harga lebih dari Rp12.500 per kg di suatu daerah, Ditjen PDN Kemendag langsung berkoordinasi dengan asosiasi untuk meredam kenaikan harga.
“Saya panggil. Kita sudah bagi, yang produsen ini ke wilayah ini dan (produsen lain suplai) ke sini. Aceh itu butuh tambahan dan sudah kita kondisikan. Itu harus ada yang bertanggung jawab yang suplai ke sana. Dia butuh tambahan 8.000 ton. Aceh tinggi kalau bulan puasa, banyak bikin kolak,” tuturnya.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementrian Pertanian (Kementan) Prihasto Setyanto mengatakan, pihaknya telah berupaya agar harga cabai bisa kembali normal, dengan melakukan berbagai program dan kegiatan stabilisasi pasokan dan harga.
Menurut dia, pada program bebasis Early Warning System (EWS) yang disusun hingga lima bulan ke depan, memang ada menunjukkan terjadinya penurunan surplus pada komoditi cabai pada bulan Februari.
“Namun, akan kembali meningkat surplusnya di akhir Maret, selanjutnya diprediksi terjadi panen raya di bulan April sampai Juli," ujarnya kepada KORAN SINDO kemarin.
Dia menambahkan, berdasarkan data yang diambil dari sistem informasi pemasaran hortikultura, harga beberapa komoditas strategis seperti cabai merah keriting relatif masih terkendali.
Harga ini memang sempat tinggi pada pertengahan Desember 2020 hingga pertengahan Januari 2021, tetapi kembali turun pada akhir Januari 2021. Kondisi ini, menurutnya, bersifat sementara dan masyarakat diharap dapat berlaku tenang.
"Angka kebutuhan cabai rawit pada Februari 70.005 ton sementara prognosa diperkirakan 89.717 ton. Ini artinya terjadi surplus yang kemungkinan besar harga akan kembali normal," tutur Prihasto.
Dia juga mengakui, cuaca menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya harga cabai. Saat ini terjadi kondisi yang tidak mampu dikendalikan yaitu faktor alam dan tingginya curah hujan yang terjadi sejak Desember atau fenomena la Nina.
Curah hujan yang tinggi ini tidak dapat dipungkiri berpengaruh pada proses produksi cabai maupun distribusinya dari wilayah produsen ke wilayah konsumen.
"Hujan juga menyebabkan banjir di beberapa wilayah sentra dan jalur distribusi. Salah satunya Kabupaten Malang, Lumajang, Nganjuk, dan Probolinggo. Lahan cabai di daerah tersebut tergenang akibat hujan yang cukup tinggi sejak Desember lalu, inilah yang menjadi salah satu faktor tingginya harga cabai," kata Prihasto.
Untuk mengatasi gejolak harga cabai, saat Ramadan dan Lebaran nanti, Kementan telah melakukan usaha pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Selain itu, Kementan juga mengarahkan produk hortikultura dari daerah yang sedang panen ke titik-titik pasar yang membutuhkan.
"Jika pengiriman mengalami kendala para petani bisa menghubungi kami untuk dikirimkan truk berpendingin yang akan menjemput produk tersebut dan mendistribusikannya ke pasar tujuan," tegasnya.
Sedangkan dari sisi pengolahan dan pemasaran pascapanen, Prihasto menegaskan bahwa pemerintah ikut memfasilitasi rumah produksi, alat-alat pengering (dome drying), alat pengolahan pasta cabai. Tidak hanya itu, pihaknya juga menyediakan aplikasi penjualan daring (online) produk segar dan olahan secara gratis untuk pelaku agribisnis melalui hortitraderoom.com.
Harga Bawang Putih Juga Naik
Selain cabai, komoditas lain yang mengalami kenaikan adalah bawang putih. Menanggapi hal ini, Prihasto menjelaskan, kebutuhan impor bawang putih tahun ini mencapai 532.000 ton. Saat ini, masih terdapat sisa stok bawang putih dari 2020 sebanyak 134.000 ton. Dengan demikian, Indonesia masih kurang 398.000 ton untuk impor bawang putih.
Data Kementan menyebutkan, secara ‎keseluruhan kebutuhan bawang putih nasional sebanyak 591.000 ton. Namun, hanya 59.000 ton yang dipenuhi produksi dalam negeri, sehingga diperkukan impor untuk memenuhinya.
Secara umum, hingga saat ini terdapat lima perusahaan yang mengajukan rekomendasi izin impor produk hortikultura (RIPH) dengan volume sebanyak 46.00 ton. Secara keseluruhan, Kementan mencatat adanya pengajuan RIPH untuk 157.000 ton produk hortikultura, baik bawang putih dan produk lainnya dari sayur-sayuran dan buah-buahan.
Gejolak harga untuk komoditas bawang merah, kata Prihasto, bukan karena kekurangan pasokan, tetapi lebih kepada karakteristik dari komoditas tersebut. Namun, Prihasto menuturkan harga bawang merah relatif stabil jika dibandingkan dengan cabai, karakteristiknya yang lebih tahan lama dan mengalami penyusutan yang lebih sedikit.
"Sesuai dengan arahan Pak Menteri kita mulai dari hulu-nya dahulu yaitu selalu mendampingi selama masa budidaya bahkan hingga sisi pascapanen. Hingga saat ini, secara kumulatif nasional surplus produksi bawang merah bulan Januari hingga April sebanyak 57.000 ton rogol," tambahnya.
Sedangkan dari sisi hilir-nya Kementan menyediakan transportasi agar bawang merah dapat dibawa dari daerah yang harganya rendah ke daerah yang harganya tinggi. Dengan begitu, menurut Prihasto bisa menekan kenaikan harga dan produsen maupun konsumen sama-sama bisa membantu.
Optimistis Harga Terkendali
Di bagian lain, Badan Urusan Logistik (Bulog) yang menjadi lembaga penyangga kebutuhan pangan nasional kini mulai sibuk menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Instansi ini pun terus melakukan penyerapan gabah dari petani untuk mengamankan cadangan beras.
Sekretaris Perusahaan Bulog Awaludin Iqbal mengatakan, stok beras yang dikuasai lembaganya mencapai 907.000 ton. Stok tersebut akan bertambah seiring dengan panen raya bulan ke waktu ke depan.
“Kami sedang fokus melakukan penyerapan produksi petani yang sedang panen,” ujar Awaludin di Jakarta kemarin.
Bulog merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan pemerintah untuk menstabilkan harga ketika ada lonjakan di pasar. Salah satu caranya dengan operasi pasar di daerah-daerah.
“Bulog diperintahkan untuk melakukan operasi pasar sepanjang tahun. Namanya, ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH) oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). Jadi ini untuk mengantisipasi gejolak harga di tingkat konsumen,” tutur Awaludin.
Untuk harga beras, Bulog meyakini tidak akan ada gejolak. Pasalnya, Ramadan tahun ini bertepatan dengan masa panen raya. Selain itu, Bulog selalu melakukan KPSH sepanjang waktu. “Jadi untuk beras pasti akan terkendali,” ucapnya.
Pengamat Indef Agus Herta Sumarto mengatakan, Ramadhan kali ini adalah yang kedua dijalani masyarakat saat pandemi. Jika tahun lalu daya beli turun drastis maka tahun ini diperkirakan berangsur normal.
Meski demikian, dia menilai, kenaikan harga tidak bisa serta merta dijadikan indikator kenaikan daya beli masyarakat. “Jika kenaikan harga tersebut disebabkan oleh naiknya harga-harga input/faktor produksi seperti biaya transport dan bahan baku yang naik maka kenaikan harga tersebut tidak mencerminkan naiknya daya beli, malah sebaliknya, menurunkan daya beli,” kata dia.
Selain cabai, pantauan KORAN SINDO di toko sembako di Kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, harga beberapa barang kebutuhan pokok juga mulai merangkak naik. Di antaranya, gula pasir dari sebelumnya Rp13.000 menjadi Rp14.000 per kg.
Jenis sembako lainnya seperti minyak goreng curah juga mengalami kenaikan dari sebelumnya Rp12.000 per kg menjadi Rp15.000 per kg. Adapun harga daging sapi, menurut data Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (DPP APDI) menyebutkan, dibandingkan posisi Desember 2020 yang tingkat eceran Rp120.000 per kg, pada Maret ini sudah berada di kisaran Rp130.000-140.000 per kg.
Ihkwal kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadan ini diakui oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (PDN Kemendag) Syailendra. Menurutnya, harga cabai memang belum stabil hingga saat ini. Berdasarkan informasi di hargapangan.id, harga cabai rawit merah di Jawa Barat masih berada di kisaran Rp124.700 per kg, Banten Rp132.500 per kg, dan DKI Jakarta Rp135.000 per kg. Harga tersebut jauh di atas harga normal di kisaran Rp35-40.000 per kg.
Melihat kondisi tersebut, Kemendag terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan sejumlah asosiasi untuk mengamankan stok pangan jelang Ramadan dan Idul Fitri. Menurut Syailendra, daerah penghasil cabai rawit merah memang tidak banyak. Salah satunya adalah Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim).
“Kami sudah melakukan komunikasi dengan asosiasi dan petani cabai di sana dan berdasarkan informasi, harga cabai yang tak turun itu karena dataran rendah terkena banjir. 30-40% enggak produksi. Tinggal dataran tinggi yang produksi,” kata Syailendra kepada KORAN SINDO, Minggu (21/3) malam.
Di luar persoalan harga cabai, Syailendra memastikan stok pangan lainnya, seperti beras dan gula, aman. Khusus gula, ketika harga lebih dari Rp12.500 per kg di suatu daerah, Ditjen PDN Kemendag langsung berkoordinasi dengan asosiasi untuk meredam kenaikan harga.
“Saya panggil. Kita sudah bagi, yang produsen ini ke wilayah ini dan (produsen lain suplai) ke sini. Aceh itu butuh tambahan dan sudah kita kondisikan. Itu harus ada yang bertanggung jawab yang suplai ke sana. Dia butuh tambahan 8.000 ton. Aceh tinggi kalau bulan puasa, banyak bikin kolak,” tuturnya.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementrian Pertanian (Kementan) Prihasto Setyanto mengatakan, pihaknya telah berupaya agar harga cabai bisa kembali normal, dengan melakukan berbagai program dan kegiatan stabilisasi pasokan dan harga.
Menurut dia, pada program bebasis Early Warning System (EWS) yang disusun hingga lima bulan ke depan, memang ada menunjukkan terjadinya penurunan surplus pada komoditi cabai pada bulan Februari.
“Namun, akan kembali meningkat surplusnya di akhir Maret, selanjutnya diprediksi terjadi panen raya di bulan April sampai Juli," ujarnya kepada KORAN SINDO kemarin.
Dia menambahkan, berdasarkan data yang diambil dari sistem informasi pemasaran hortikultura, harga beberapa komoditas strategis seperti cabai merah keriting relatif masih terkendali.
Harga ini memang sempat tinggi pada pertengahan Desember 2020 hingga pertengahan Januari 2021, tetapi kembali turun pada akhir Januari 2021. Kondisi ini, menurutnya, bersifat sementara dan masyarakat diharap dapat berlaku tenang.
"Angka kebutuhan cabai rawit pada Februari 70.005 ton sementara prognosa diperkirakan 89.717 ton. Ini artinya terjadi surplus yang kemungkinan besar harga akan kembali normal," tutur Prihasto.
Dia juga mengakui, cuaca menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya harga cabai. Saat ini terjadi kondisi yang tidak mampu dikendalikan yaitu faktor alam dan tingginya curah hujan yang terjadi sejak Desember atau fenomena la Nina.
Curah hujan yang tinggi ini tidak dapat dipungkiri berpengaruh pada proses produksi cabai maupun distribusinya dari wilayah produsen ke wilayah konsumen.
"Hujan juga menyebabkan banjir di beberapa wilayah sentra dan jalur distribusi. Salah satunya Kabupaten Malang, Lumajang, Nganjuk, dan Probolinggo. Lahan cabai di daerah tersebut tergenang akibat hujan yang cukup tinggi sejak Desember lalu, inilah yang menjadi salah satu faktor tingginya harga cabai," kata Prihasto.
Untuk mengatasi gejolak harga cabai, saat Ramadan dan Lebaran nanti, Kementan telah melakukan usaha pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Selain itu, Kementan juga mengarahkan produk hortikultura dari daerah yang sedang panen ke titik-titik pasar yang membutuhkan.
"Jika pengiriman mengalami kendala para petani bisa menghubungi kami untuk dikirimkan truk berpendingin yang akan menjemput produk tersebut dan mendistribusikannya ke pasar tujuan," tegasnya.
Sedangkan dari sisi pengolahan dan pemasaran pascapanen, Prihasto menegaskan bahwa pemerintah ikut memfasilitasi rumah produksi, alat-alat pengering (dome drying), alat pengolahan pasta cabai. Tidak hanya itu, pihaknya juga menyediakan aplikasi penjualan daring (online) produk segar dan olahan secara gratis untuk pelaku agribisnis melalui hortitraderoom.com.
Harga Bawang Putih Juga Naik
Selain cabai, komoditas lain yang mengalami kenaikan adalah bawang putih. Menanggapi hal ini, Prihasto menjelaskan, kebutuhan impor bawang putih tahun ini mencapai 532.000 ton. Saat ini, masih terdapat sisa stok bawang putih dari 2020 sebanyak 134.000 ton. Dengan demikian, Indonesia masih kurang 398.000 ton untuk impor bawang putih.
Data Kementan menyebutkan, secara ‎keseluruhan kebutuhan bawang putih nasional sebanyak 591.000 ton. Namun, hanya 59.000 ton yang dipenuhi produksi dalam negeri, sehingga diperkukan impor untuk memenuhinya.
Secara umum, hingga saat ini terdapat lima perusahaan yang mengajukan rekomendasi izin impor produk hortikultura (RIPH) dengan volume sebanyak 46.00 ton. Secara keseluruhan, Kementan mencatat adanya pengajuan RIPH untuk 157.000 ton produk hortikultura, baik bawang putih dan produk lainnya dari sayur-sayuran dan buah-buahan.
Gejolak harga untuk komoditas bawang merah, kata Prihasto, bukan karena kekurangan pasokan, tetapi lebih kepada karakteristik dari komoditas tersebut. Namun, Prihasto menuturkan harga bawang merah relatif stabil jika dibandingkan dengan cabai, karakteristiknya yang lebih tahan lama dan mengalami penyusutan yang lebih sedikit.
"Sesuai dengan arahan Pak Menteri kita mulai dari hulu-nya dahulu yaitu selalu mendampingi selama masa budidaya bahkan hingga sisi pascapanen. Hingga saat ini, secara kumulatif nasional surplus produksi bawang merah bulan Januari hingga April sebanyak 57.000 ton rogol," tambahnya.
Sedangkan dari sisi hilir-nya Kementan menyediakan transportasi agar bawang merah dapat dibawa dari daerah yang harganya rendah ke daerah yang harganya tinggi. Dengan begitu, menurut Prihasto bisa menekan kenaikan harga dan produsen maupun konsumen sama-sama bisa membantu.
Optimistis Harga Terkendali
Di bagian lain, Badan Urusan Logistik (Bulog) yang menjadi lembaga penyangga kebutuhan pangan nasional kini mulai sibuk menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Instansi ini pun terus melakukan penyerapan gabah dari petani untuk mengamankan cadangan beras.
Sekretaris Perusahaan Bulog Awaludin Iqbal mengatakan, stok beras yang dikuasai lembaganya mencapai 907.000 ton. Stok tersebut akan bertambah seiring dengan panen raya bulan ke waktu ke depan.
“Kami sedang fokus melakukan penyerapan produksi petani yang sedang panen,” ujar Awaludin di Jakarta kemarin.
Bulog merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan pemerintah untuk menstabilkan harga ketika ada lonjakan di pasar. Salah satu caranya dengan operasi pasar di daerah-daerah.
“Bulog diperintahkan untuk melakukan operasi pasar sepanjang tahun. Namanya, ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH) oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). Jadi ini untuk mengantisipasi gejolak harga di tingkat konsumen,” tutur Awaludin.
Untuk harga beras, Bulog meyakini tidak akan ada gejolak. Pasalnya, Ramadan tahun ini bertepatan dengan masa panen raya. Selain itu, Bulog selalu melakukan KPSH sepanjang waktu. “Jadi untuk beras pasti akan terkendali,” ucapnya.
Pengamat Indef Agus Herta Sumarto mengatakan, Ramadhan kali ini adalah yang kedua dijalani masyarakat saat pandemi. Jika tahun lalu daya beli turun drastis maka tahun ini diperkirakan berangsur normal.
Meski demikian, dia menilai, kenaikan harga tidak bisa serta merta dijadikan indikator kenaikan daya beli masyarakat. “Jika kenaikan harga tersebut disebabkan oleh naiknya harga-harga input/faktor produksi seperti biaya transport dan bahan baku yang naik maka kenaikan harga tersebut tidak mencerminkan naiknya daya beli, malah sebaliknya, menurunkan daya beli,” kata dia.
(ynt)