Restrukturisasi Kredit, Pelaku Industri Tunggu OJK Tunjuk Bank Jangkar

Rabu, 20 Mei 2020 - 07:35 WIB
loading...
Restrukturisasi Kredit, Pelaku Industri Tunggu OJK Tunjuk Bank Jangkar
Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Pelaku industri perbankan menunggu langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan menunjuk bank jangkar dalam rangka kebijakan restrukturisasi kredit perbankan di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah telah menyiapkan dana senilai Rp35 triliun bagi bank bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang akan disalurkan oleh bank jangkar yang akan ditetapkan pemerintah.

Kepala Ekonomi BNI Ryan Kiryanto mengatakan, skema pengucuran dana likuiditas yang ditempuh pemerintah sekarang memang berbeda dengan penanganan yang dilakukan pada masa krisis ekonomi 1998. Likuiditas disalurkan bukan secara langsung oleh Bank Indonesia (BI) atau pemerintah, melainkan oleh bank jangkar yang akan ditunjuk. (Baca: Aliran Modal Asing Mulai Masuk ke RI Capai US4,1 Miliar)

Menurut dia, penunjukan bank jangkar atau bank pelaksana penyaluran likuiditas ini akan ditetapkan oleh OJK melalui mekanisme apraisal yang ketat. "Setelah dilakukan penilaian oleh OJK, kemudian ditentukan bank-bank yang layak menjadi bank jangkar atau bank pelaksana," kata Ryan di Jakarta kemarin.

Dia menyatakan OJK akan menunjuk di antara 15 bank yang memiliki aset terbesar atau bank-bank yang masuk dalam Buku 4. Dari 15 bank ini, kemudian diseleksi bank-bank yang memenuhi persyaratan untuk menyalurkan bantuan kepada bank-bank di buku lainnya yang mengalami kesulitan likuiditas dalam rangka program restrukturisasi kredit debitur.

"Bank-bank yang akan ditunjuk sebagai bank jangkar atau bank pelaksana ini tentu akan sangat hati-hati dalam mencari pasangannya," ungkap dia. Hal ini bisa dipahami karena dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, praktik bisnis tidak bisa berjalan seperti biasa. (Baca juga: BI Suntik Likuidtas ke Pasar Uang dan Perbankan Rp583,5 Triliun)

Menurut Ryan, bank jangkar tentu juga akan meminta jaminan dari bank-bank peserta yang akan menerima bantuan likuiditas dari pemerintah. Selain itu, bank-bank jangkar yang menyalurkan likuiditas kepada bank-bank peserta, juga akan secermat mungkin dalam menghitung margin keuntungan dan risiko yang mungkin terjadi. "Cost and benefit benar-benar akan dihitung secara matang dan kebijakan setiap bank tentu akan berbeda, karena ini menjadi urusan dapur masing-masing bank tersebut," papar Ryan.

Nantinya, lanjut dia, bank jangkar bisa mengambil keuntungan atau margin dari kebijakan relaksasi ini. Namun sebaliknya, risiko yang dihadapi juga adanya kenaikan non-performing loan (NPL) jika penyaluran kredit tidak berjalan lancar.

Menurut Ryan, OJK selaku pengawas penyaluran dana likuiditas ini juga harus mengawasi secara reguler. Lembaga ini bisa mencari terobosan baru apabila antara bank jangkar dan bank peserta tidak terjadi titik temu atau no deal. "Dalam situasi seperti ini, tanpa campur tangan pemerintah maka bank-bank yang membutuhkan likuiditas akan mengalami kesulitan," imbuh dia.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Amir Uskara mengakui bahwa kebijakan yang diiniasi Presiden Joko Widodo itu memang termasuk kebijakan darurat, sehingga OJK dan sektor jasa keuangan dituntut bekerja cepat menyiapkan perangkat regulasinya agar tidak keburu memicu kenaikan rasio kredit bermasalah atau NPL yang tidak terkendali. (Baca juga: Pelatihan Online di Kartu Prakerja Tidak Lebih Baik dari Konten di Youtube)

"Bank atau perusahaan pembiayaan pun harus selektif terutama dalam menganalisis, memilih, dan memutuskan debitur yang benar-benar layak mendapat relaksasi karena usahanya terdampak Covid-19," bebernya. Menurut dia, salah satu bank yang dinilai lebih sigap merestrukturisasi kredit debiturnya yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk. Hingga kuartal I/2020, BRI telah merestrukturisasi kredit senilai Rp101 triliun kepada sekitar 1,4 juta debiturnya terutama usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang merupakan pangsa terbesar bank tersebut.

Dengan restrukturisasi, rasio NPL bank yang fokus di pembiayaan UMKM itu, trennya sedikit naik ke level 3%. "Sekalipun masih aman karena di bawah batas ambang maksimal yang ditetapkan regulator sebesar 5%," ungkap dia. (Kunthi Fahmar Sandy)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1211 seconds (0.1#10.140)