Pelatihan Online di Kartu Prakerja Tidak Lebih Baik dari Konten Gratis Youtube

Selasa, 19 Mei 2020 - 19:05 WIB
loading...
Pelatihan Online di Kartu Prakerja Tidak Lebih Baik dari Konten Gratis Youtube
Ada perbincangan tentang konflik kepentingan dan kelas online dalam program Kartu Prakerja yang ternyata tidak lebih baik dibandingkan konten gratis di Youtube. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja, menurut Institute For Development of Economics and Finance (Indef) ada beberapa isu krusial yang perlu diperhatikan. Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti mengatakan, bahwa berdasarkan survei yang dilakukan terkait persepsi publik di media sosial terhadap Kartu Prakerja, terdapat 67,77% sentimen negatif dan 32,23% sentimen positif.

Data tersebut diambil dari survei terhadap 476.696 perbincangan online terkait Kartu Prakerja di media sosial dan 397.246 orang. "Ada perbincangan tentang konflik kepentingan dan kelas online yang ternyata tidak lebih baik dibandingkan konten gratis di Youtube," ujar Esther dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (19/5/2020).

( )

Ia mengatakan, salah satu isu krusial itu adalah metode pelatihan online yang ditawarkan oleh Kartu Prakerja. Metode pelatihan online itu hanya bisa menjangkau usia tenaga kerja yang melek teknologi.

"Sementara jika dilihat dari struktur tenaga kerja Indonesia, hampir 87% pendidikannya hanya SD, SMP, dan SMA, lalu 13% nya yang memperoleh pendidikan tinggi. Hal ini berarti, metode ini tidak bisa meng-capture mereka yang gagap teknologi (gaptek)," lanjut Esther.

Selain itu, metode pelatihan online dinilai kurang efektif karena sangat bergantung pada kualitas internet, dan juga interaksi antara instruktur dan peserta yang minim. Kemudian, ia mengatakan bahwa materi pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Menurutnya dipetakan industri mana yang banyak membutuhkan tenaga kerja. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tahun 2020, saat ini industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja antara lain industri sarung tangan, hand sanitizer, dan ethanol.

"Materi pelatihan ini harusnya bisa di-link and match dengan perusahaan-perusahaan penampung, sehingga kurikulumnya bisa sesuai dengan kebutuhan perusahaan penampung dan tenaga kerja. Jadi begitu lulus, mereka bisa langsung diterima," ungkap Esther.

Sementara itu terang dia sudah banyak materi gratis di Youtube, dan di Kartu Prakerja harganya lebih mahal. Beberapa perusahaan swasta juga sudah menyediakan tawaran pelatihan keterampilan secara cuma-cuma. "Seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menggandeng pihak-pihak yang menyelenggarakan pelatihan gratis itu," tambah Esther.

Ia juga mempertanyakan mengapa proses pemilihan mitra Kartu Prakerja harus melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko). Padahal, menurut Esther, pemilihan mitra bisa dilakukan melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018.

"Anggaran pelatihan juga perlu diperhatikan, karena butuh standarisasi biaya pelatihan disertai materi pelatihan. Perlu juga adanya kepastian bekerja setelah mengikuti pelatihan dan sertifikasi, dengan keterlibatan perusahaan yang akan menampung peserta yang lulus pelatihan Kartu Prakerja, misal Apple Academy," terang Esther.

INDEF juga mengkritik skema Kartu Prakerja yang perlu untuk menyelesaikan training, setelah itu baru mendapatkan bantuan sosial (bansos) sebesar Rp600 ribu per bulannya. "Ini akan mengakibatkan moral hazard, karena ada godaan besar bagi peserta untuk memilih training yang paling pendek dan murah asal mereka mendapatkan bansos. Pemerintah perlu memitigasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya moral hazard seperti itu," pungkas Esther.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2196 seconds (0.1#10.140)