Masih Belum Bersaing, Akselerasi EBT Butuh Insentif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dan pelaku industri sepakat bahwa transisi energi dari berbasis fosil menuju ke energi baru terbarukan (EBT) merupakan sebuah keniscayaan. Kendati demikian, akselerasi pengembangan EBT membutuhkan insentif dari pemerintah.
Bauran EBT ditargetkan mencapai sebesar 23% pada 2025. Sementara, hingga 2020 realisasi bauran EBT baru sebesar 11,2% atau 10,6 didawatt (GW) dibandingkan target pada 2025 yang sebesar 24 GW.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar, seperti panas bumi, angin dan air. Selain itu, biaya pembangkitan EBT pun terus turun dari tahun ke tahun.
"Namun demikian, untuk mendukung pengembangan EBT tetap dibutuhkan insentif dari pemerintah," kata Rosan dalam webinar bertema "Collaboration to Accelerate Investment, Innovation and Technology in the Energy and Mineral Resources Sector, di Jakarta, Senin (12/4/2021).
Rektor Institut Teknologi PLN Iwa Garniwa menilai, target bauran energi 23% pada 2025 kurang realistis, berkaca pada realisasi hingga 2020 yang hanya 11,2%. "Saya perkirakan capaian pada 2025 maksimal tambahannya 8% jadi realistisnya 19-20%," kata Iwa.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial yang mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam diskusi tersebut menegaskan, pemerintah terus mendorong pengembangan EBT. Pemerintah, kata dia, telah dan akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mendorong pengembangan EBT. "Saat ini pemerintah sedang menyiapkan rancangan perpres pembelian tenaga listrik EBT," ujarnya.
Sementara itu, Menteri ESDM Periode 2000-2009 Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa transisi energi terkait erat dengan dua faktor, yaitu teknologi dan keekonomian. Purnomo mengindikasikan, biaya pembangkitan EBT saat ini masih kalah bersaing dibanding biaya pembangkitan berbasis batu bara, khususnya di wilayah Jawa. Karena itu, menurut Purnomo, transisi energi membutuhkan bahan bakar antara (bridging fuel) semisal gas dan batu bara yang menggunakan teknologi ramah lingkungan.
Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Martiono Hadianto mengatakan, untuk mendorong pengembangan EBT dibutuhkan kolaborasi antarsektor mulai dari sumber daya, pendidikan, perindustrian, hingga perdagangan. "Pendidikan menjadi akar dari penguasaan teknologi dan inovasi," katanya.
Sementara, sejumlah pelaku industri berbasis batu bara menegaskan sudah mulai menjajaki potensi EBT. Contohnya PT Indika Energy Tbk yang mempunyai visi mencatatkan 50% pendapatan dari non-batubara pada 2025.
Indika Energy membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di wilayah anak usahanya, PT Kideco Jaya Agung (Kideco), di Paser, Kalimantan Timur. "Aspek keekonomian EBT dan teknologi baterai semakin murah setiap tahun, hal ini dapat mengakselerasi pengembangan EBT,” kata Direktur Utama Indika Arsjad Rasjid.
Bauran EBT ditargetkan mencapai sebesar 23% pada 2025. Sementara, hingga 2020 realisasi bauran EBT baru sebesar 11,2% atau 10,6 didawatt (GW) dibandingkan target pada 2025 yang sebesar 24 GW.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar, seperti panas bumi, angin dan air. Selain itu, biaya pembangkitan EBT pun terus turun dari tahun ke tahun.
"Namun demikian, untuk mendukung pengembangan EBT tetap dibutuhkan insentif dari pemerintah," kata Rosan dalam webinar bertema "Collaboration to Accelerate Investment, Innovation and Technology in the Energy and Mineral Resources Sector, di Jakarta, Senin (12/4/2021).
Rektor Institut Teknologi PLN Iwa Garniwa menilai, target bauran energi 23% pada 2025 kurang realistis, berkaca pada realisasi hingga 2020 yang hanya 11,2%. "Saya perkirakan capaian pada 2025 maksimal tambahannya 8% jadi realistisnya 19-20%," kata Iwa.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial yang mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam diskusi tersebut menegaskan, pemerintah terus mendorong pengembangan EBT. Pemerintah, kata dia, telah dan akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mendorong pengembangan EBT. "Saat ini pemerintah sedang menyiapkan rancangan perpres pembelian tenaga listrik EBT," ujarnya.
Sementara itu, Menteri ESDM Periode 2000-2009 Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa transisi energi terkait erat dengan dua faktor, yaitu teknologi dan keekonomian. Purnomo mengindikasikan, biaya pembangkitan EBT saat ini masih kalah bersaing dibanding biaya pembangkitan berbasis batu bara, khususnya di wilayah Jawa. Karena itu, menurut Purnomo, transisi energi membutuhkan bahan bakar antara (bridging fuel) semisal gas dan batu bara yang menggunakan teknologi ramah lingkungan.
Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Martiono Hadianto mengatakan, untuk mendorong pengembangan EBT dibutuhkan kolaborasi antarsektor mulai dari sumber daya, pendidikan, perindustrian, hingga perdagangan. "Pendidikan menjadi akar dari penguasaan teknologi dan inovasi," katanya.
Sementara, sejumlah pelaku industri berbasis batu bara menegaskan sudah mulai menjajaki potensi EBT. Contohnya PT Indika Energy Tbk yang mempunyai visi mencatatkan 50% pendapatan dari non-batubara pada 2025.
Indika Energy membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di wilayah anak usahanya, PT Kideco Jaya Agung (Kideco), di Paser, Kalimantan Timur. "Aspek keekonomian EBT dan teknologi baterai semakin murah setiap tahun, hal ini dapat mengakselerasi pengembangan EBT,” kata Direktur Utama Indika Arsjad Rasjid.
(fai)