Indonesia Menuju Ekonomi Terbesar Dunia

Jum'at, 16 April 2021 - 05:57 WIB
loading...
Indonesia Menuju Ekonomi...
Indonesia dinilai sedang berada di jalur menuju negara maju. FOTO/DOK SINDO
A A A
JAKARTA - Indonesia segera menjadi negara dengan perekonomian terbesar dunia. Berbagai fakta yang ada menunjukkan bahwa hal tersebut di depan mata. Bahkan, pemerintah berani mencanangkan visi Indonesia menjadi kekuatan lima besar ekonomi dunia pada 2045 nanti.

Prediksi tentang masa depan negeri ini di antarnya disampaikan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Bila saat in peringkat produk domestik bruto (PDB) Indonesia berada 16 di antara negara-negara G20, dengan PDB sebesar USD1,07 triliun. Kedua lembaga itu memproyeksikan bahwa Indonesia akan masuk 10 besar ekonomi dunia.

Bahkan, pada 2024 mendatang RI akan menempati peringkat kelima dengan PDB tertinggi di dunia setelah China, AS, India, dan Jepang.



Standard Chartered juga menempatkan Indonesia pada peringkat keempat ekonomi terbesar dunia pada 2030 dengan nilai USD10,1 triliun di bawah China, India, dan AS. Lompatan ini seiring dengan pertumbuhan PDB di Asia yang terus meningkat, di mana pada 2030 mencapai 35% atau setara dengan gabungan Uni Eropa dan AS.

PricewaterhouseCoopers (PWC) juga tak luput. Melalui laporan bertajuk The Long View How Will the Global Economic Order Change by 2050, PWC memprediksi PDB Indonesia pada 2030 mencapai USD5,42 triliun. Bahkan, angka itu akan meningkat pesat pada 2050 dengan USD10,52 triliun. Penilaian itu didasarkan pada Purchasing Power Parity (PPP). Alhasil, posisi Indonesia pun bertengger pada posisi ke-4 perekonomian besar dunia.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, menegaskan optimisme terebut melalui visi Indonesia 2045 menjadi negara maju.

“Berdasarkan proyeksi demokrasi Indonesia mencapai 319 juta penduduk, apabila kita terus menjaga policy dan implementasi kebijakan yang baik dan juga inovatif, maka kita akan menjadi negara dengan ekonomi lima terbesar di dunia,” ungkap Sri Mulyani dilansir dari Antara (1/4).



Dia pun menggambarkan, pada saat itu penduduk usia produktif sebanyak 47 persen dan 73 persen penduduk Indonesia akan tinggal di daerah perkotaan, serta sebanyak 70 persen merupakan kelompok kelas menengah.

“Income per kapita kita mencapai USD23.199 yang berarti kita masuk dalam middle upper class dan tentu kita berharap struktur perekonomian kita akan didukung oleh struktur perekonomian yang memiliki daya kompetensi dan memiliki nilai tambah tinggi,” papar Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa kue perekonomian tanah air akan bergeser, di mana mayoritas produksi berasal dari sektor jasa yang memiliki daya saing tinggi dan tidak lagi sektor jasa informal yang memiliki daya tambah rendah.

“Ini bukan hanya sebuah visi cita-cita tapi sekaligus merupakan suatu road map bagi kita untuk mencapai tidak hanya impian tapi cita-cita yang harus disiapkan,” ujar dia.

Namun dia menggariskan, untuk bisa mencapai cita-cita tersebutm, adalah sejumlah prasyarat yang mesti dipenuhi. Apa saja? Pertama, membangun infrastruktur yang layak menjadi penyokong mobilitas dan mendorong pembangunan; kedua, penguatan SDM melalui riset, program kesehatan, dan perlindungan sosial.

Selanjutnya, keempat, Indonesia harus terus mampu, tidak hanya mengadopsi namun juga inverter dari teknologi; kelima, sektor publik seperti birokrasi harus terus diperbaiki kualitasnya; kelima, pengelolaan tata ruang yang baik dan didukung oleh sistem yang integratif; serta keenam sumber daya ekonomi dan keuangan dengan APBN sehat.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani menilai, untuk menjadi negara besar, maka Indonesia perlu memperluas kawasan pemasaran. Diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi dunia saat ini bergeser, dan Asia menjadi pendorong ekonomi. Oleh karena itu, Indonesia yang berada di kawasan ASEAN harus mampu memainkan perannya.

“Bicara dari sisi pasar itu tidak hanya pasar dalam negeri. Pasar kawasan regional pun kalau kita pintar memainkannya bisa mendapat manfaat yang besar. Banyak potensi. Untuk regional saja kalau kita bisa tandatangani perjanjian bilateral dengan mereka. Jadi, kalau kita bisa memainkan peran, tentu besar potensinya,” ungkapnya.

Haryadi menegaskan soal pentingnya peningkatan SDM untuk menopang agar Indonesia menjadi negara besar dunia. Dengan demikian, Indonesia harus bisa menguasai pasar baik dalam negeri dan regional hingga global. Hal itu perlu ditingkatkan dengan pembenahan sistem pendidikan yang saat ini sudah mulai ditata dengan baik melalui pendidikan vokasi. Dengan demikian akan tercipta SDM yang siap pakai di dunia industri.

“Mengarah pada pendidikan vokasi pengetahuan terapan itu akan mempercepat jadi tenaga kerja produktif. Sebelumnya, dari 4.000 perguruan tinggi hanya 10 persen yang pendidikan vokasi. Sekarang diberi perhatian lebih besar pada yang terapan. Ini akan mempercepat penyiapan tenaga kerja mereka yang bisa langsung dipakai,” tambahnya.

Dia lantas me nuturkan adanya sejumlah kendala yang dihadapi Indonesia, yaitu soal konsistensi pemerintah.Menurut dia, sebagus apa pun program yang dibuat pada pemerintahan yang berlangsung, jika tidak dilanjutkan dengan pemerintahan berikutnya, maka akan percuma.

“Lebih pada konsistensi pemerintah berikutnya, itu rawan karena sebagus pemerintahan bikin program kalau ngga dilanjutkan akan percuma. Kecenderungan pemerintah berikutnya tidak mau melanjutkan program pemerintah sebelumnya. Padahal, konsisten itu penting,” tandasnya.

Optimistis
Anggota Komisi VI DPR Marwan Jafar mengaku optimis Indonesia bisa menggapai mimpi tersebut. Namun, jalan itu tentu tidak mudah. Salah satu langkah yang harus dilakukan saat ini, yaitu restrukturisasi kelembagaan di kementerian/lembaga bidang ekonomi.

’’Namun, memang sekarang kondisinya (pertumbuhan ekonomi) masih minus. Makanya, yang pertama harus dilakukan atau diubah adalah restukturisasi kelembagaan di bidang ekonomi. The right man on the right place. Kalau masih begini, ya susah,” ujarnya kepada KORAN SINDO, Rabu (14/4/2021).

Menurut dia, perubahan itu bukan sekadar menyangkut kebijakan, tetapi membangun kepercayaan global kepada Indonesia. Mau tidak mau, harus ada gebrakan yang membuat dunia luar merasa optimistis, sehingga mereka percaya dan menjalin kerja sama yang kuat dengan Indonesia. Apalagi, posisi Indonesia saat ini masuk dalam G-20.



“Harus ditunjukkan betul-betul kalau anggota G-20. Karena kalau tidak, itu menjadi formalitas saja. Makanya, langkah pertama yang paling konkret adalah restrukturisasi kelembagaan di bidang ekonomi. Penataan kembali pada level kelembagaan maupun tim yang dibentuk seperti tim satgas pemulihan ekonomi ,” kata dia.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu melihat para pejabat di bidang ekonomi terkesan santai dan belum menunjukkan adanya gebrakan yang transformatif pada masa pandemi. Bahkan, dari sisi perdagangan ekspor-impor juga belum berjalan dengan baik. Padahal, kebijakan ekspor-impor akan berkorelasi dengan kebutuhan dasar dan berpengaruh terhadap PDB.

“Ini masih konsep lama semua, belum ada terobosan baru mengenai ekonomi. Jadi, belum menemukan kebijakan out of the box dalam konteks backthrough ekonomi secara nasional,” celetuknya.

Marwan menilai banyak tokoh atau ekonom di luar struktur pemerintah yang memiliki pandangan kritis dan masukan untuk memulihkan perekenomian nasional. Menurutnya, pemerintah perlu merangkul mereka untuk duduk bersama mencari solusi dalam mengatasi segala permasalahan ekonomi negara.

Dia juga mendorong pemerintah sebaiknya membuat kebijakan yang mengangkat nasib para petani, nelayan, dan pelaku UMKM. Bukan sebaliknya, malah menyulitkan kondisi mereka. Misalnya, mengeluarkan kebijakan impor pangan, garam, gula, dan komoditi lainnya.

Marwan juga berharap pemerintah membuat kebijakan konkret, bisa dalam bentuk keputusan presiden (Keppres) maupun peraturan pemerintah (PP) sehingga ada regulasi yang mampu memproteksi hasil produksi dalam negeri, terutama di kalangan petani lokal. Misalnya, kasus CPO sawit produksi Indonesia yang diembargo oleh Eropa. Keputusan itu membuat Presiden Jokowi berani memutuskan untuk memakai produk sawit dalam negeri.

“Itu kan bagus. Artinya, produksi lokal kita dipakai. Dengan begitu, petani sawit kita pede. Gitu juga karet. Kalau enggak bisa diekspor, ya pakai di dalam negeri sendiri. Intinya, kalau hal mendasar ini diselesaikan, otomatis dengan sendirinya target pertumbuhan ekonomi 6-7% itu akan tercapai,” tandasnya.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Mercu Buana, Agus Herta Sumarto juga menyampaikan optimismenya Indonesia bisa menjadi 10 negara besar dunia. Bahkan, Indonesia bisa menjadi lima negara besar dengan kekuatan yang ada.“Sikap optimisme wajib kita miliki. Kita harus yakin bahwa kita mampu menjadikan negara Indonesia sebagai 5 besar negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia,” katanya.

Namun, kata dia, perlu juga sikap hati-hati dengan berbagai skenario dan proyeksi yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional tersebut. Berbagai proyeksi dan perkiraan tersebut didasarkan pada berbagai asumsi.’’Jika asumsi-asumsi tersebut tidak terpenuhi maka bisa dipastikan proyeksi tersebut tidak akan terwujud. Apalagi dimensi waktu proyeksi ini adalah jangka panjang yang tentunya tingkat ketidakpastiannya juga tinggi,’’ tandasnya.

Karena itu dia menandaskan, untuk mencapai skenario keberhasilan tersebut, seluruh asumsi yang mendasarinya harus terpenuhi. Menurut dia, pernyataan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa untuk menjadi negara 5 besar ekonomi dunia maka diperlukan SDM yang unggul dan berkualitas, teknologi yang tepat guna dan sedang berkembang, infrastruktur yang mendukung dan berkualitas, serta sistem keuangan yang sehat dan kuat, sebagai pernyataan tepat.

“Ini bukanlah perkara mudah. Sebagai contoh, sampai saat ini kualitas SDM kita masih bisa dikatakan rendah. Struktur tenaga kerja kita 40% lebih berasal dari lulusan SD ke bawah, lebih dari 70% berasal dari lulusan SMP, SMA / sederajat,” katanya.


Agus juga menggariskan pentingnya infrastruktur sebagai salah satu syarat utama keberhasilan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Namun, di tengah anggaran negara yang sangat terbatas dan utang negara yang sudah sangat tinggi, maka pembangunan infrastruktur tidak lagi bisa dilakukan sembarangan tanpa perhitungan matang.

“Sebagai contoh, pembangunan kereta api cepat Jakarta – Bandung dari sisi urgensi pembangunan tidaklah begitu penting, lebih penting membangun jalan, pelabuhan, dan pasar di daerah-daerah sentral industri yang selama ini masih kurang,” katanya.

Menurut dia, sektor keuangan ini menjadi sektor paling berisiko karena arus keluar masuk modal sangat cepat dan besar. Cadangan devisa juga tidak begitu kuat karena neraca perdagangan RI juga tidak terlalu bagus. Ditandaskan bahwaIndonesia seringkali mengalami defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan, sehingga sektor keuangan rentan terhadap shock yang terjadi dari luar.

Apalagi sebagian besar lembaga perbankan juga dikuasai asing, sehingga potensi arus modal keluar juga sangat tinggi. “Untuk memperkuat sektor keuangan, kita harus memiliki regulasi kuat, penggunaan teknologi tepat guna dan modern, serta menciptakan sistem keuangan yang kuat dan terintegrasi antara pemerintah, swasta, BI, dan OJK,” katanya.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1626 seconds (0.1#10.140)