Restrukturisasi Kredit Lanjut hingga 2022, Ingat Hanya Perusahaan Terpilih
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit perbankan dari Maret 2021 menjadi Maret 2022 sangat signifikan membantu perbankan mengurangi risiko kredit selama krisis pandemi Covid-19 di masa pemulihan ekonomi nasional (PEN) .
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, OJK menerbitkan kebijakan restrukturisai kredit sejak Maret 2020 tepat setelah Indonesia dinyatakan berstatus pandemi Covid-19.
Dengan berkurangnya risiko kredit, perbankan juga memungkinkan untuk melakukan penyesuaian kebijakan yang mendorong pertumbuhan kredit, seperti memangkas suku bunga kredit secara bertahap hingga meningkatkan dana cadangan perbankan.
Andry menjelaskan restrukturisasi kredit diberikan terutama kepada nasabah dari pelaku bisnis yang sebelum pandemi Covid-19 mencetak kinerja keuangan positif dan memiliki prospek bisnis positif.
“Perusahaan yang sebelumnya memiliki kinerja keuangan bagus, tetapi terpukul karena pandemi, adalah sasaran restrukturisasi yang diharapkan bisa kembali bangkit dan ikut memulihkan perekonomian,” ujarnya dalam keteranganya, Jumat (16/4/2021).
Andry juga mengatakan, restrukturisasi kredit juga ikut membantu menciptakan stabilitas sistem keuangan. Sehingga, perbankan dapat fokus meningkatkan kinerja keuangannya dan lebih leluasa menyesuaikan kebijakan termasuk memangkas suku bunga kredit.
Di sisi lain, dia mengatakan meskipun suku bunga rendah, masih ada faktor lain yang dapat menahan pertumbuhan penyaluran kredit. Pertama, bisnis belum berjalan karena belum ada permintaan dari masyarakat, sehingga perusahaan menilai belum saatnya meningkatkan kapasitas bisnis.
Kedua, banyaknya sumber dana saat ini selain bank, seperti fintech. Ketiga, pelaku bisnis sebenarnya masih menyimpan kas cadangan yang akan digunakan ketika kondisi pasar sudah mulai ramai.
Dia menambahkan, jika suku bunga pinjaman turun, maka pertumbuhan penyaluran kredit di masa pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19 diperkirakan juga akan naik. Jika suku bunga rendah, maka kemampuan pelaku usaha yang menarik pinjaman untuk memulai bisnis atau melakukan ekspansi usaha akan meningkat.
Hingga tanggal 8 Februari 2021, data OJK menunjukkan nilai restrukturisasi kredit perbankan mencapai Rp 987,5 triliun yang tersebar di 101 bank di seluruh Indonesia. Nilai restrukturisasi terbanyak pada nasabah Usaha Mikro Kecil dan Menangah (UMKM) senilai Rp 388,3 triliun yang diberlakukan kepada 6,2 juta debitur. Untuk segmen non-UMKM senilai Rp 599,15 triliun yang dibagikan kepada 1,8 juta debitur.
Sementara itu, meski masih dalam zona negatif, pertumbuhan kredit sudah mulai membaik dibandingkan tahun lalu. Selama Februari 2021, penyaluran kredit naik sebesar 0,41% dari Januari 2021. Namun, jika dibandingkan Februari 2020 atau secara tahunan masih terkontraksi sebesar 2,15 persen.
Sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh double digit yaitu 10,11% dan loan to deposit ratio (LDR) juga berada di level terendah 81,54% yang mengindikasikan kondisi likuiditas yang sangat ample sehingga mampu mendukung pertumbuhan kredit.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, OJK menerbitkan kebijakan restrukturisai kredit sejak Maret 2020 tepat setelah Indonesia dinyatakan berstatus pandemi Covid-19.
Dengan berkurangnya risiko kredit, perbankan juga memungkinkan untuk melakukan penyesuaian kebijakan yang mendorong pertumbuhan kredit, seperti memangkas suku bunga kredit secara bertahap hingga meningkatkan dana cadangan perbankan.
Andry menjelaskan restrukturisasi kredit diberikan terutama kepada nasabah dari pelaku bisnis yang sebelum pandemi Covid-19 mencetak kinerja keuangan positif dan memiliki prospek bisnis positif.
“Perusahaan yang sebelumnya memiliki kinerja keuangan bagus, tetapi terpukul karena pandemi, adalah sasaran restrukturisasi yang diharapkan bisa kembali bangkit dan ikut memulihkan perekonomian,” ujarnya dalam keteranganya, Jumat (16/4/2021).
Andry juga mengatakan, restrukturisasi kredit juga ikut membantu menciptakan stabilitas sistem keuangan. Sehingga, perbankan dapat fokus meningkatkan kinerja keuangannya dan lebih leluasa menyesuaikan kebijakan termasuk memangkas suku bunga kredit.
Di sisi lain, dia mengatakan meskipun suku bunga rendah, masih ada faktor lain yang dapat menahan pertumbuhan penyaluran kredit. Pertama, bisnis belum berjalan karena belum ada permintaan dari masyarakat, sehingga perusahaan menilai belum saatnya meningkatkan kapasitas bisnis.
Kedua, banyaknya sumber dana saat ini selain bank, seperti fintech. Ketiga, pelaku bisnis sebenarnya masih menyimpan kas cadangan yang akan digunakan ketika kondisi pasar sudah mulai ramai.
Dia menambahkan, jika suku bunga pinjaman turun, maka pertumbuhan penyaluran kredit di masa pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19 diperkirakan juga akan naik. Jika suku bunga rendah, maka kemampuan pelaku usaha yang menarik pinjaman untuk memulai bisnis atau melakukan ekspansi usaha akan meningkat.
Hingga tanggal 8 Februari 2021, data OJK menunjukkan nilai restrukturisasi kredit perbankan mencapai Rp 987,5 triliun yang tersebar di 101 bank di seluruh Indonesia. Nilai restrukturisasi terbanyak pada nasabah Usaha Mikro Kecil dan Menangah (UMKM) senilai Rp 388,3 triliun yang diberlakukan kepada 6,2 juta debitur. Untuk segmen non-UMKM senilai Rp 599,15 triliun yang dibagikan kepada 1,8 juta debitur.
Sementara itu, meski masih dalam zona negatif, pertumbuhan kredit sudah mulai membaik dibandingkan tahun lalu. Selama Februari 2021, penyaluran kredit naik sebesar 0,41% dari Januari 2021. Namun, jika dibandingkan Februari 2020 atau secara tahunan masih terkontraksi sebesar 2,15 persen.
Sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh double digit yaitu 10,11% dan loan to deposit ratio (LDR) juga berada di level terendah 81,54% yang mengindikasikan kondisi likuiditas yang sangat ample sehingga mampu mendukung pertumbuhan kredit.
(akr)