Pandemi Runtuhkan Anomali Bunga Acuan BI dan Bunga Kredit

Senin, 31 Mei 2021 - 10:21 WIB
loading...
Pandemi Runtuhkan Anomali Bunga Acuan BI dan Bunga Kredit
Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sejatinya, sejak dua tahun lalu Bank Indonesia (BI) sudah menerapkan rezim suku bunga acuan yang rendah. Sejak Juni 2019 hingga Februari 2021, BI sudah memangkas suku bunga acuannya sebesar 250 basis poin, dari 6% menjadi 3,5%. Penurunan itu dilakukan oleh BI sebanyak sembilan kali, dan enam di antaranya dilakukan pada masa pandemi.

Sayangnya, penurunan suku bunga acuan ternyata tidak segera diikuti oleh suku bunga kredit perbankan. Sebagian besar bank memang sudah menurunkan suku bunga kredit, tetapi tidak secepat dan sebesar penurunan suku bunga acuan.

Sedikitnya penurunan suku bunga bank tentu membuat dunia usaha tak terlalu tertarik menarik pinjaman atau utang. Apalagi di saat pandemi seperti sekarang, ketika daya beli enggan meningkat.

Baca juga:Dijepit Hari Libur, Harga Emas Malas Bergerak dari Level Rp965.000 per Gram

Tak heran kalau kemudian kredit yang belum ditarik (undisbursed loan/UDL) di industri perbankan kian meninggi. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit perbankan yang belum ditarik debitur (undisbursed loan) hingga Juli 2020 mengalami peningkatan sebesar 9,17% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menjadi Rp1.654 triliun.

"Pertumbuhan kredit perbankan pada tahun 2020 terkontraksi 2,41%," ujar Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam di Jakarta (31/5/2021).

Bila dilihat data empiris, sebelum pandemi pertumbuhan kredit tinggi sering terjadi ketika suku bunga acuan tinggi. Ada anomali hubungan suku bunga dan penyaluran kredit di Indonesia. Pada tahun 2018, pertumbuhan kredit meningkat menjadi 12,45% dari sebelumnya 8,1%. Itu terjadi justru ketika BI menaikkan suku bunga acuan dari 4,25% menjadi 6,25%.

Sebelumnya lagi, pada tahun 2011, pertumbuhan kredit bisa mencapai angka tertinggi 24,59% justru ketika suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) masih sangat tinggi, yaitu sebesar 6,75%.

"Anomali hubungan suku bunga acuan dan penyaluran kredit perbankan ini menyiratkan bahwa kebijakan suku bunga tidak selalu efektif dalam mendorong pertumbuhan kredit. Diperlukan kebijakan-kebijakan lain untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan," katanya.

Penyaluran kredit perbankan di tengah pandemi saat ini lebih ditentukan oleh permintaan kredit. Sementara turunnya suku bunga tidak mampu meningkatkan permintaan kredit tersebut. Terbatasnya aktivitas sosial ekonomi masyarakat menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat dan produksi dunia usaha mengalami penurunan yang signifikan.

"Tidak heran jika kemudian kebutuhan pembiayaan baik untuk konsumsi maupun produksi juga turun drastis. Permintaan kredit menjadi sangat terbatas. Kalaupun ada permintaan kredit, risikonya juga tinggi dan harus diwaspadai," tambahnya.

Di sisi lain, ketika permintaan kredit demikian rendahnya dan berisiko, dalam rangka pembiayaan fiskal pemerintah menawarkan SBN dengan return yang menarik dan tingkat risiko yang minimal atau bahkan zero risk. Bagi sebagian bank, khususnya yang memiliki cost of fund yang rendah, SBN menjadi pilihan yang paling menguntungkan. Makanya, banyak bank lebih memilih "menyalurkan kreditnya" ke SBN ketimbang ke dunia usaha.

Bank yang memilih menempatkan dananya di SBN tidak dapat disalahkan. Mereka harus memastikan adanya penerimaan yang cukup guna membayar bunga kepada masyarakat pemilik dana.

Bank tidak perlu dipaksa menyalurkan kredit. Mereka akan kembali menyalurkan kredit ketika ada permintaan dan risiko kredit diyakini dapat dikelola.

"Memaksakan bank menyalurkan kredit justru bisa berdampak negatif meningkatkan risiko kegagalan bank," sebutnya.

Untuk meningkatkan penyaluran kredit perbankan, mutlak diperlukan adanya kebutuhan pendanaan dari masyarakat dan pelaku usaha. Karena itu kebijakan seperti pelonggaran PPNBM kendaraan bermotor dan PPN properti justru secara langsung meningkatkan pembelian kendaraan bermotor dan properti yang diikuti oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan kredit perbankan.

Perlu ada kebijakan-kebijakan terobosan lainnya untuk mengembalikan tingkat konsumsi. Yang paling utama adalah mengembalikan konfiden masyarakat untuk kembali belanja meskipun masih mengalami pandemi.

Baca juga:Kisruh TWK Pegawai KPK, AHY Minta Aparat Penegak Hukum Jadi Role Model

Untuk itu pemerintah hendaknya memastikan percepatan pelaksanaan vaksinasi dan peningkatan kedisiplinan melaksanakan protocol kesehatan. Kedua upaya ini akan mencegah terjadinya lonjakan kasus baru covid-19, sekaligus akan memunculkan konfiden masyarakat.

Pemerintah diharapkan bisa mengembangkan kebijakan yang serupa dengan pelonggaran PPNBM kendaraan bermotor, memberikan subsidi untuk konsumsi barang-barang atau jasa tertentu.

"Termasuk misalnya subsidi melakukan wisata di tengah pandemi. Subsidi tersebut bisa dalam bentuk subsidi tiket pesawat dan atau subsidi biaya hotel/penginapan. Subsidi wisata di tengah pandemi akan membangkitkan kembali industri pariwisata yang saat ini terpuruk, sekaligus juga memunculkan kembali kebutuhan akan modal kerja dan permintaan kredit," katanya.
(uka)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1489 seconds (0.1#10.140)