Menakar Kesiapan Industri Jelang Pemberlakuan Zero ODOL 2023
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah nampaknya belum satu suara perihal rencana pemberlakuan kebijakan Zero Over Dimension Over Load (ODOL) pada 2023 mendatang. Apalagi jika menilik kesiapan sektor industri yang saat ini masih dalam tahap pemulihan usai dihantam pandemi Covid-19.
Badai Covid-19 menyebabkan pertumbuhan industri pengolahan nonmigas anjlok 158% dari 4,34% menjadi minus 2,52%. Pada kuartal I/2021, kinerja industri pengolahan nonmigas juga masih menurun 135% dari 2,01% pada kuartal yang sama tahun lalu menjadi minus 0,71%. Pertumbuhan ekonomi dan industri di Indonesia juga masih dibayangi oleh gelombang pandemi berikutnya.
Kepala Seksi Sumber Daya Industri dan Sarana Prasarana Industri, Subdirektorat Industri Semen dan Barang dari Semen Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Ashady Hanafie, dalam acara FGD “Kebijakan Zero ODOL, Kesiapan Industri dan Tantangan Menjaga Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19" mengatakan, sektor industri salah salah tulang punggung untuk perekonomian nasional dan menjadi sektor penyumbang terbesar terhadap PDB nasional.
Dengan banyaknya perusahaan yang tutup akibat pandemi ini, kata dia, berakibat pada penurunan tenaga kerja. "Nah penurunan tenaga kerja ini juga berpotensi memperbesar permasalahan sosial. Tercatat, jumlah tenaga kerja industri sampai dengan Februari 2021 mengalami penurunan sebesar 5% (year-on-year-yoy)," ujarnya, dikutip Jumat (11/6/2021).
Dia pun meminta agar permasalahan yang dihadapi industri saat ini jangan dulu dibebani lagi dengan hal-hal lain seperti kebijakan Zero ODOL yang akan diterapkan di awal 2023.
Pihaknya meminta semua pihak bersama-sama menjaga agar kondisi industri di Indonesia ini tetap kondusif. Oleh sebab itu, dia meminta agar kebijakan Zero ODOL ini bisa diundur lagi hingga 2025 mendatang sampai kondisi sektor industri pulih kembali.
Menurut dia, industri saat ini tengah fokus pada usaha untuk bertahan agar tidak sampai menutup usahanya. Pada 2021, industri mulai bangkit kembali. Dengan demikian, industri telah kehilangan waktu selama 2 tahun untuk persiapan penerapan kebijakan Zero ODOL.
“Saya yakin tadinya semua industri pasti komitmen untuk menjalankan kebijakan Zero ODOL ini pada awal tahun 2023. Tapi, karena kondisinya tiba-tiba terjadi pandemi, mereka cuma meminta kelonggaran waktu saja hingga 2025 mendatang,” tukasnya.
Penerapan kebijakan Zero ODOL memerlukan perencanaan yang tepat sasaran agar tidak berdampak negatif, dan menimbulkan shock terhadap makro perekonomian dan khususnya pada perkembangan industri.Untuk suksesnya penerapan kebijakan Zero ODOL ini, dia menyebutkan, ada tiga hal yang segera harus diselesaikan.
Pertama, penyesuaian KEUR/KIR yang ada terhadap desain kendaraan dan kelas jalan. Kedua, kebijakan penerapan multi axle, dan peningkatan kualitas daya dukung jalan sesuai kelas jalan.
“Apabila penyesuaian belum dapat dilaksanakan dan kondisi industri masih belum membaik atau bahkan kembali memburuk,maka dapat dipertimbangkan untuk melakukan penyesuaian kembali waktu pemberlakuan kebijakan Zero ODOL secara penuh,” sarannya.
Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DanangGirindrawardana mengatakan, pemerintah tidak bisa jalan sendiri meregulasi sesuai keinginannya tanpa melibatkan sektor swasta guna mendengar permasalahan yang mereka hadapi.
Pelaku industri dari GabunganPengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) yang diwakili Agung Wibowo dan Rachmat Hidayat dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) menyampaikan bahwa pada prinsipnya industri tidak menolak Zero ODOL.
Hal itu dibuktikan dengan industri telah mulai mempersiapkan diri menuju terwujudkan Zero ODOL. Namun mereka meminta agar penerapan Zero ODOL ini dilakukan pada awal 2025. Alasannya, industri saat ini tengah berbenah untuk pulih kembali dari situasi yang terpukul akibat pandemi.
Guru Besar Fakultak Teknik UGM yang juga Ketua Tim TeknisPenyusun KajianIndonesia MenujuZero Odol, Sigit Priyanto, menjelaskan, penerapan kebijakan Zero ODOL yang persis dengan di Indonesia tidak ada.
“Di kita itu, penerapan Zero ODOL disertai masalah pandemi. Kalau di negara lain kan penerapan Zero ODOL itu dilakukan pas tidak ada pandemi, dan mereka mungkin solusinya lebih mudah,” cetusnya.
Dia juga mengakui bahwa studi kajian Indonesia Menuju Zero ODOL yang dibuatnya bersama rekan-rekan dosen di UGM itu dilakukan sebelum terjadi Covid-19.
“Jadi, waktu itu kita mengusulkan penerapan Zero ODOL pada 1 Januari 2023, dengan mempertimbangkan bahwa dalam dua tahun ke depan itu kondisi ekonomi kita stabil. Kita kan tidak bisa memprediksi kondisi pandemi akan terjadi dan sampai kapan. Apakah akan lebih memburuk lagi atau membaik, dan kelihatnnya memburuk,” ungkap Sigit.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar Kementerian Perhubungan (Kemenhub) perlu mengkaji kembali usulan-usulan industri dengan bukti-bukti otentik yang bisa untuk dipertanggungjawabkan.
“UGM itu sifatnya studi, tentunya berdasarkan fakta-fakta yang ada. Dan ini juga tidak menutup kemungkinan untuk studi itu di-review karena perkembangan yang terjadi saat ini,” ujarnya.
Dia menegaskan, Zero ODOL itu untuk kebutuhan bersama dan permasalahan bersama. “Jadi, mari kita selesaikan ini bukan sebagai suatu paksaan, tapi kesadaran,” kata dia.
Sementara, Asdep Pengembangan Logistik Nasional Kemenko Perekonomian, Erwin Raza, dan Direktur Prasarana Transportasi Jalan Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, meminta industri untuk tetap mempersiapkan diri menuju Zero ODOL pada awal 2023 mendatang. Menurut mereka, jika industri tidak mulai menjalankannya, maka tidak bisa terlihat apa yang menjadi kekurangan dari kebijakan ini.
Erwin sendiri mengakui sulit bagi pemerintah untuk menerapkan Zero ODOL ini tanpa memberatkan industri. “Jadi, marilah kita jalankan dulu perlahan-lahan kebijakan ini sambil kita evaluasi,” pungkasnya.
Badai Covid-19 menyebabkan pertumbuhan industri pengolahan nonmigas anjlok 158% dari 4,34% menjadi minus 2,52%. Pada kuartal I/2021, kinerja industri pengolahan nonmigas juga masih menurun 135% dari 2,01% pada kuartal yang sama tahun lalu menjadi minus 0,71%. Pertumbuhan ekonomi dan industri di Indonesia juga masih dibayangi oleh gelombang pandemi berikutnya.
Kepala Seksi Sumber Daya Industri dan Sarana Prasarana Industri, Subdirektorat Industri Semen dan Barang dari Semen Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Ashady Hanafie, dalam acara FGD “Kebijakan Zero ODOL, Kesiapan Industri dan Tantangan Menjaga Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19" mengatakan, sektor industri salah salah tulang punggung untuk perekonomian nasional dan menjadi sektor penyumbang terbesar terhadap PDB nasional.
Dengan banyaknya perusahaan yang tutup akibat pandemi ini, kata dia, berakibat pada penurunan tenaga kerja. "Nah penurunan tenaga kerja ini juga berpotensi memperbesar permasalahan sosial. Tercatat, jumlah tenaga kerja industri sampai dengan Februari 2021 mengalami penurunan sebesar 5% (year-on-year-yoy)," ujarnya, dikutip Jumat (11/6/2021).
Dia pun meminta agar permasalahan yang dihadapi industri saat ini jangan dulu dibebani lagi dengan hal-hal lain seperti kebijakan Zero ODOL yang akan diterapkan di awal 2023.
Pihaknya meminta semua pihak bersama-sama menjaga agar kondisi industri di Indonesia ini tetap kondusif. Oleh sebab itu, dia meminta agar kebijakan Zero ODOL ini bisa diundur lagi hingga 2025 mendatang sampai kondisi sektor industri pulih kembali.
Menurut dia, industri saat ini tengah fokus pada usaha untuk bertahan agar tidak sampai menutup usahanya. Pada 2021, industri mulai bangkit kembali. Dengan demikian, industri telah kehilangan waktu selama 2 tahun untuk persiapan penerapan kebijakan Zero ODOL.
“Saya yakin tadinya semua industri pasti komitmen untuk menjalankan kebijakan Zero ODOL ini pada awal tahun 2023. Tapi, karena kondisinya tiba-tiba terjadi pandemi, mereka cuma meminta kelonggaran waktu saja hingga 2025 mendatang,” tukasnya.
Penerapan kebijakan Zero ODOL memerlukan perencanaan yang tepat sasaran agar tidak berdampak negatif, dan menimbulkan shock terhadap makro perekonomian dan khususnya pada perkembangan industri.Untuk suksesnya penerapan kebijakan Zero ODOL ini, dia menyebutkan, ada tiga hal yang segera harus diselesaikan.
Pertama, penyesuaian KEUR/KIR yang ada terhadap desain kendaraan dan kelas jalan. Kedua, kebijakan penerapan multi axle, dan peningkatan kualitas daya dukung jalan sesuai kelas jalan.
“Apabila penyesuaian belum dapat dilaksanakan dan kondisi industri masih belum membaik atau bahkan kembali memburuk,maka dapat dipertimbangkan untuk melakukan penyesuaian kembali waktu pemberlakuan kebijakan Zero ODOL secara penuh,” sarannya.
Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DanangGirindrawardana mengatakan, pemerintah tidak bisa jalan sendiri meregulasi sesuai keinginannya tanpa melibatkan sektor swasta guna mendengar permasalahan yang mereka hadapi.
Pelaku industri dari GabunganPengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) yang diwakili Agung Wibowo dan Rachmat Hidayat dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) menyampaikan bahwa pada prinsipnya industri tidak menolak Zero ODOL.
Hal itu dibuktikan dengan industri telah mulai mempersiapkan diri menuju terwujudkan Zero ODOL. Namun mereka meminta agar penerapan Zero ODOL ini dilakukan pada awal 2025. Alasannya, industri saat ini tengah berbenah untuk pulih kembali dari situasi yang terpukul akibat pandemi.
Guru Besar Fakultak Teknik UGM yang juga Ketua Tim TeknisPenyusun KajianIndonesia MenujuZero Odol, Sigit Priyanto, menjelaskan, penerapan kebijakan Zero ODOL yang persis dengan di Indonesia tidak ada.
“Di kita itu, penerapan Zero ODOL disertai masalah pandemi. Kalau di negara lain kan penerapan Zero ODOL itu dilakukan pas tidak ada pandemi, dan mereka mungkin solusinya lebih mudah,” cetusnya.
Dia juga mengakui bahwa studi kajian Indonesia Menuju Zero ODOL yang dibuatnya bersama rekan-rekan dosen di UGM itu dilakukan sebelum terjadi Covid-19.
“Jadi, waktu itu kita mengusulkan penerapan Zero ODOL pada 1 Januari 2023, dengan mempertimbangkan bahwa dalam dua tahun ke depan itu kondisi ekonomi kita stabil. Kita kan tidak bisa memprediksi kondisi pandemi akan terjadi dan sampai kapan. Apakah akan lebih memburuk lagi atau membaik, dan kelihatnnya memburuk,” ungkap Sigit.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar Kementerian Perhubungan (Kemenhub) perlu mengkaji kembali usulan-usulan industri dengan bukti-bukti otentik yang bisa untuk dipertanggungjawabkan.
“UGM itu sifatnya studi, tentunya berdasarkan fakta-fakta yang ada. Dan ini juga tidak menutup kemungkinan untuk studi itu di-review karena perkembangan yang terjadi saat ini,” ujarnya.
Dia menegaskan, Zero ODOL itu untuk kebutuhan bersama dan permasalahan bersama. “Jadi, mari kita selesaikan ini bukan sebagai suatu paksaan, tapi kesadaran,” kata dia.
Sementara, Asdep Pengembangan Logistik Nasional Kemenko Perekonomian, Erwin Raza, dan Direktur Prasarana Transportasi Jalan Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, meminta industri untuk tetap mempersiapkan diri menuju Zero ODOL pada awal 2023 mendatang. Menurut mereka, jika industri tidak mulai menjalankannya, maka tidak bisa terlihat apa yang menjadi kekurangan dari kebijakan ini.
Erwin sendiri mengakui sulit bagi pemerintah untuk menerapkan Zero ODOL ini tanpa memberatkan industri. “Jadi, marilah kita jalankan dulu perlahan-lahan kebijakan ini sambil kita evaluasi,” pungkasnya.
(ind)