Jelang Serah Terima ke Pertamina, Persoalan di Blok Rokan Harus Tuntas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Alih kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia kepada PT Pertamina (Persero) tinggal menghitung hari, tepatnya pada 9 Agustus 2021. Namun, dalam waktu yang tinggal sebentar lagi itu, masih banyak persoalan yang belum selesaik dan berpotensi menghambat proses alih kelola tersebut.
Hal itu terungkap dalam diskusi panel virtual bertajuk "Tuntaskan Masalah Blok Rokan Sebelum Diserahkan ke Pertamina", yang digelar hari ini. Dalam diskusi tersebut peroalan yang mengemuka antara lain mengenai data pengolahan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) berupa tanah terkontaminasi minyak yang belum terselesaikan.
Kemudian, persoalan pembangkit listrik yang dikelola oleh anak usaha Chevron, PT MCTN. PT CPI telah memasukkan biaya operasional PT MCTN ke dalam cost recovery yang ditanggung negara, namun kemudian berupaya menjual pembangkit listrik PT MCTN ke PLN dengan harga tinggi melalui mekanisme tender, tanpa memperhitungkan cost recovery yang sudah dibayarkan negara.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Arie Gumilar dalam diskusi tersebut mengungkapkan, sejak 2018 ketika keputusan pengelolaan Blok Rokan diserahkan peemrintah kepada Pertamina mulai 9 Agustus 2021, Chevron sebagai kontraktor mulai mengurangi investasinya. Hal itu menyebabkan produksi harian di blok tersebut turun cukup drastis.
Meskipun pada tahun 2020, Chevron kembali melakukan investasi atas beban Pertamina, kata Arie, produksi harian yang sudah terlanjur turun drastis, menyebabkan performa blok migas itu sulit untuk kembali seperti semula.
"Proses transisi tidak berjalan dengan mulus, dimana Pertamina tidak diizinkan masuk untuk bisa mengakses, baik data-data produksi, data-data operasi, bahkan data-data pekerja. Hal ini menyebabkan Pertamina juga tidak bisa membantu mempertahankan produksi Blok Rokan yang menunjang produksi nasional," ujarnya, Sabtu (12/6/2021).
Persoalan-persoalan itu menurutnya menyebabkan angka produksi Blok Rokan terus turun. Tercatat, produksi Blok Rokan menurun dari 209 ribu Barel Oil Per Day (BOPD), turun menjadi 200 ribu BOPD. Bahkan di awal 2021, angka produksi Blok Rokan sudah turun hingga 165 ribu BOPD. "Ini karena proses transisi tidak mulus, PT CPI tidak mau mengeluarkan investasi, sementara Pertamina juga belum bisa masuk," ungkapnya.
Arie berharap, permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam proses alih kelola, bisa segera diselesaikan sebelum alih kelola pada 9 Agustus 2021 mendatang. "Kami mengajak seluruh elemen massa memberikan kontribusinya yang nyata, pengelolaan Blok Rokan oleh anak bangsa sendiri benar-benar harus menghasilkan sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengakui bahwa masih ada banyak persoalan yang harus diselesaikan sebelum Blok Rokan diserahterimakan kepada Pertamina. Dia memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hukum yang terjadi dalam proses serah terima tersebut.
"Sampai dengan hari ini tidak ada, kalau ada pasti sudah diperkarakan. Tapi kalau surat menyurat, pengaduan, sudah ada pelaporan, tapi kan kami tidak tahu sudah ditindaklanjuti atau belum. Disarankan oleh penasehat ahli bidang penegakan hukum SKK Migas untuk berkomunikasi dengan penegak hukum," ujar Julius.
Julius menambahkan, pada prinsipnya SKK Migas ingin agar transisi Blok Rokan ini berhasil. Proses transisi blok migas sendiri sudah pernah dilakukan sebelumnya dan melibatkan Pertamina. "Jadi apapun yang kita hadapi di depan mata, kita selesaikan dengan sebaik-baiknya. Tinggal dua bulan lagi, proses transisi harus kita selesaikan dengan tuntas," kata dia.
Hal itu terungkap dalam diskusi panel virtual bertajuk "Tuntaskan Masalah Blok Rokan Sebelum Diserahkan ke Pertamina", yang digelar hari ini. Dalam diskusi tersebut peroalan yang mengemuka antara lain mengenai data pengolahan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) berupa tanah terkontaminasi minyak yang belum terselesaikan.
Kemudian, persoalan pembangkit listrik yang dikelola oleh anak usaha Chevron, PT MCTN. PT CPI telah memasukkan biaya operasional PT MCTN ke dalam cost recovery yang ditanggung negara, namun kemudian berupaya menjual pembangkit listrik PT MCTN ke PLN dengan harga tinggi melalui mekanisme tender, tanpa memperhitungkan cost recovery yang sudah dibayarkan negara.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Arie Gumilar dalam diskusi tersebut mengungkapkan, sejak 2018 ketika keputusan pengelolaan Blok Rokan diserahkan peemrintah kepada Pertamina mulai 9 Agustus 2021, Chevron sebagai kontraktor mulai mengurangi investasinya. Hal itu menyebabkan produksi harian di blok tersebut turun cukup drastis.
Meskipun pada tahun 2020, Chevron kembali melakukan investasi atas beban Pertamina, kata Arie, produksi harian yang sudah terlanjur turun drastis, menyebabkan performa blok migas itu sulit untuk kembali seperti semula.
"Proses transisi tidak berjalan dengan mulus, dimana Pertamina tidak diizinkan masuk untuk bisa mengakses, baik data-data produksi, data-data operasi, bahkan data-data pekerja. Hal ini menyebabkan Pertamina juga tidak bisa membantu mempertahankan produksi Blok Rokan yang menunjang produksi nasional," ujarnya, Sabtu (12/6/2021).
Persoalan-persoalan itu menurutnya menyebabkan angka produksi Blok Rokan terus turun. Tercatat, produksi Blok Rokan menurun dari 209 ribu Barel Oil Per Day (BOPD), turun menjadi 200 ribu BOPD. Bahkan di awal 2021, angka produksi Blok Rokan sudah turun hingga 165 ribu BOPD. "Ini karena proses transisi tidak mulus, PT CPI tidak mau mengeluarkan investasi, sementara Pertamina juga belum bisa masuk," ungkapnya.
Arie berharap, permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam proses alih kelola, bisa segera diselesaikan sebelum alih kelola pada 9 Agustus 2021 mendatang. "Kami mengajak seluruh elemen massa memberikan kontribusinya yang nyata, pengelolaan Blok Rokan oleh anak bangsa sendiri benar-benar harus menghasilkan sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengakui bahwa masih ada banyak persoalan yang harus diselesaikan sebelum Blok Rokan diserahterimakan kepada Pertamina. Dia memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hukum yang terjadi dalam proses serah terima tersebut.
"Sampai dengan hari ini tidak ada, kalau ada pasti sudah diperkarakan. Tapi kalau surat menyurat, pengaduan, sudah ada pelaporan, tapi kan kami tidak tahu sudah ditindaklanjuti atau belum. Disarankan oleh penasehat ahli bidang penegakan hukum SKK Migas untuk berkomunikasi dengan penegak hukum," ujar Julius.
Julius menambahkan, pada prinsipnya SKK Migas ingin agar transisi Blok Rokan ini berhasil. Proses transisi blok migas sendiri sudah pernah dilakukan sebelumnya dan melibatkan Pertamina. "Jadi apapun yang kita hadapi di depan mata, kita selesaikan dengan sebaik-baiknya. Tinggal dua bulan lagi, proses transisi harus kita selesaikan dengan tuntas," kata dia.
(fai)