Pakar Hukum: Transisi Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina Jangan Menyisakan Masalah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar hukum Universitas Hasanuddin, Abrar Saleng mengatakan, proses transisi pengelolaan blok Rokan dari Chevron ke Pertamina harus mulus tanpa menimbulkan persoalan di kemudian hari. Untuk itu, semua keraguan hukum terkait pengelolaan Blok Rokan harus dituntaskan dan harus jelas agar jangan sampai ada masalah di kemudian hari.
"Semua harus dijelaskan dan kuat secara hukum. Karena kalau ada apa-apa, arbitrase akan melihat ke isi kontrak," ujarnya dalam webinar bertajuk "Transisi Blok Rokan : Peluang dan Tantangan" yang diselenggarakan Forum Diskusi dan Ekonomi Politik.
Menurut dia, ada beberapa pertanyaan hukum terkait Blok Rokan. Salah satunya terkait lahan negara yang dipakai sebagai lokasi pembangkit listrik PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN), anak usaha Chevron sekaligus pemasok listrik ke Blok Rokan beberapa tahun terakhir. "Chevron tidak memiliki tanahnya. Hanya memiliki minyak yang menjadi hak bagi hasilnya," ujarnya
Penyelesaian isu terkait lahan, karena ada kabar MCTN akan menjual pembangkit tersebut melalui tender. Jika tender benar-benar akan diselenggarakan, maka negara sebagai pemilik lahan harus dilibatkan dan dimintai persetujuan. Ia juga mengatakan, secara hukum Pertamina tidak dapat memutuskan apakah daerah bisa terlibat dalam pengelolaan Blok Rokan. Keputusan itu ada di tangan pemerintah pusat sebagai pemilik Blok Rokan.
Kalau pun daerah akan terlibat, maka harus melalui BUMD yang terbukti profesional dan menguntungkan. Sementara anggota Fraksi PKB dari daerah pemilihan Riau, Abdul Wahid mengatakan, bahwa Chevron sudah mendapat banyak sekali dari penambangan minyak di Blok Rokan. Selama ini, seluruh aktivitasnya ditanggung negara melalui Cost Recovery. "Saya berharap, setelah kontrak selesai, ada legacy untuk Riau," ujarnya.
Warisan itu antara lain aset pembangkit PT MCTN yang diharapkan dapat dihibahkan ke Provinsi Riau. Harapan dilontarkan di tengah kabar MCTN akan menjual pembangkit tersebut. Bagi Wahid, penjualan pembangkit MCTN akan menambah masalah.
Sebab, sebelum ini sudah ada sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya soal penggunaan lahan tempat pembangkit berdiri. Lahan itu milik negara. Namun, selama ini tidak ada keterangan soal sewa lahan untuk MCTN. Setidaknya karena tidak ada bukti pendapatan negara dari hasil sewa lahan MCTN. "Ini akan kami dalami ke SKK Migas," ujarnya.
Persoalan itu serius karena selama 20 tahun aset negara digunakan tanpa kejelasan. "Saya heran, kenapa persoalan itu tidak menjadi temuan di BPK," ujarnya.
"Semua harus dijelaskan dan kuat secara hukum. Karena kalau ada apa-apa, arbitrase akan melihat ke isi kontrak," ujarnya dalam webinar bertajuk "Transisi Blok Rokan : Peluang dan Tantangan" yang diselenggarakan Forum Diskusi dan Ekonomi Politik.
Menurut dia, ada beberapa pertanyaan hukum terkait Blok Rokan. Salah satunya terkait lahan negara yang dipakai sebagai lokasi pembangkit listrik PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN), anak usaha Chevron sekaligus pemasok listrik ke Blok Rokan beberapa tahun terakhir. "Chevron tidak memiliki tanahnya. Hanya memiliki minyak yang menjadi hak bagi hasilnya," ujarnya
Penyelesaian isu terkait lahan, karena ada kabar MCTN akan menjual pembangkit tersebut melalui tender. Jika tender benar-benar akan diselenggarakan, maka negara sebagai pemilik lahan harus dilibatkan dan dimintai persetujuan. Ia juga mengatakan, secara hukum Pertamina tidak dapat memutuskan apakah daerah bisa terlibat dalam pengelolaan Blok Rokan. Keputusan itu ada di tangan pemerintah pusat sebagai pemilik Blok Rokan.
Kalau pun daerah akan terlibat, maka harus melalui BUMD yang terbukti profesional dan menguntungkan. Sementara anggota Fraksi PKB dari daerah pemilihan Riau, Abdul Wahid mengatakan, bahwa Chevron sudah mendapat banyak sekali dari penambangan minyak di Blok Rokan. Selama ini, seluruh aktivitasnya ditanggung negara melalui Cost Recovery. "Saya berharap, setelah kontrak selesai, ada legacy untuk Riau," ujarnya.
Warisan itu antara lain aset pembangkit PT MCTN yang diharapkan dapat dihibahkan ke Provinsi Riau. Harapan dilontarkan di tengah kabar MCTN akan menjual pembangkit tersebut. Bagi Wahid, penjualan pembangkit MCTN akan menambah masalah.
Sebab, sebelum ini sudah ada sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya soal penggunaan lahan tempat pembangkit berdiri. Lahan itu milik negara. Namun, selama ini tidak ada keterangan soal sewa lahan untuk MCTN. Setidaknya karena tidak ada bukti pendapatan negara dari hasil sewa lahan MCTN. "Ini akan kami dalami ke SKK Migas," ujarnya.
Persoalan itu serius karena selama 20 tahun aset negara digunakan tanpa kejelasan. "Saya heran, kenapa persoalan itu tidak menjadi temuan di BPK," ujarnya.