Peritel Ingin ‘Gas-Rem’ Diatur Secara Bijak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sektor ritel masih menghadapi tantangan besar seiring diperpanjangnya aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menyusul tingginya kasus penyebaran Covid-19 di Tanah Air. Namun, kalangan pelaku usaha optimistis bisa menghadapi badai kedua pandemi kali ini dengan menyapkan rencana kontingensi dan berbagai strategi penguatan bisnis.
Dalam situasi yang tidak pasti dan berkepanjangan ini, Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) memastikan bahwa industri ritel akan tetap mempertahankan bisnisnya. Namun, potensi penutupan gerai ritel tetap ada apabila pelaku usaha merasa tidak kuat lagi menanggung beban operasional.
“Menutup toko akan memberi dampak kepada UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) yang punya barang, juga PHK (pemutusan hubungan kerja). Dampak lain akan hilang juga pajak-pajak. Itu multiplier effect-nya,” ujar Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey di Jakarta kemarin.
Dia mengakui, lonjakan kasus positif Covid-19 dan pengetatan PPKM Mikro, semakin menekan sektor ritel. Hal itu berdampak pada gerai-gerai ritel karena menekan penjualan akibat dibatasinya jumlah pengunjung ke pusat perbelanjaan.
Di sisi lain, masyarakat mengurangi kegiatan di luar rumah karena khawatir terjadi penularan yang kian hari semakin banyak Data terkini yang dirilis Satgas Penanganan Covid-19 menyebutkan, penambahan kasus harian per Senin (21/06) mencapai 14.536 kasus. Adapun total yang terinfeksi kini tembus 2.004.445 orang.
Berdasarkan kondisi di atas, Aprindo ingin pemerintah pusat dan daerah (pemda) memainkan “gas dan rem” secara bijak. Gas atau pembukaan dengan prokes ketat dilakukan pada sektor esensial, seperti ritel dan rumah sakit. Begitu pun ritel dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Adapun rem, dimaksudkan untuk mengatur pembatasan aktivitas masyarakat.
“Tinggal pengelola mengatur dan menghindari kerumunan pengunjung agar tidak menjadi klaster penyebaran virus korona. Jangan sampai itu ditutup. Bukan hanya ekonomi, tetapi masyarakat (nanti) enggak bisa memenuhi kebutuhan pokok dan sehari-harinya. Jadi harus digas. Artinya, diberikan keluwesan saja untuk membuka jam operasional normal (selama) 12 jam supaya masyarakat tidak ramai-ramai (datang),” tuturnya.
Aprindo tidak keberatan jika kapasitas pengunjung dikurangi sampai 50% asal tetap bisa beroperasi. Selain mengandalkan gerai, peritel ini terus meningkatkan pelayanan daring dan delivery.
“Kita akan maksimalkan pengiriman. Kalau tokonya tutup bagaimana melakukan pengiriman,” terangnya.
Roy memperkirakan, dengan kondisi saat ini proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah sekitar 4,5-5,5% tidak akan tercapai. Dia memprediksi, ekonomi kemungkinan hanya akan tumbuh di kisaran 2-3%. Sebagai perbandingan, pada tahun lalu, pertumbuhan sektor ritel sekitar 1,4%.
“Tahun ini, kemungkinan berada di kisaran 0,5% sampai -1%,”ucapnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, saat ini tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan saat ini memang mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan lalu. Tapi, kata dia, hal itu wajar karena biasanya setelah Idulfitri pusat perbelanjaan memasuki low season.
“Jadi sekarang ini belum bisa disimpulkan bahwa penurunan tingkat kunjungan adalah akibat terjadinya peningkatan jumlah kasus positif Covid-19,” katanya.
Pihaknya berharap pemerintah dapat memastikan protokol kesehatan diberlakukan secara ketat, disiplin dan konsisten agar supaya jumlah kasus positif Covid- 19 terkendali. Sehingga dapat menghindari adanya tambahan pemberlakuan pembatasan yang berpotensi mengganggu perekonomian kembali.
Alphonzus mengatakan, kalangan pelaku usaha sama sekali tidak mengharapkan adanya tambahan pembatasan. Jika diberlakukan kembali pembatasan, kata dia, tentu akan sangat bepengaruh pada jumlah kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan.
“Oleh karenanya diharapkan pemerintah dapat segera memastikan dan menegakkan pemberlakuan protokol kesehatan secara ketat, disiplin dan konsisten agar supaya peningkatan jumlah kasus positif Covid- 19 dapat terkendali,” tukasnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, situasi pemberlakukan PPKM Mikro terkait erat dengan sentimen kepada konsuman karena khawatir penularan Covid-19.
Padahal, tutur dia, indikator kepercayaan konsumen mulai pulih yang terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia (BI) per Mei 2021 sebesar 104,4 atau berada diatas level 100.
"Sementara indeks penjualan riil per April 2021 juga menunjukkan perbaikan karena naik 17,3% dibanding bulan sebelumnya," ujar Bhima kepada KORAN SINDO, di Jakarta, Senin (21/6) sore.
Dia membeberkan, data mobilitas Google pun mengindikasikan pulihnya mobilitas masyarakat ke pusat perbelanjaan retail dan rekreasi karena hanya turun menjadi -3% pada periode 17 Juni 2021 dibanding baseline. Akan tetapi, ujar dia, jika ada lonjakan kasus dan kembali diberlakukan pengetatan mobilitas masyarakat dikhawatirkan sektor ritel belum siap mengantisipasi.
“Khawatir ritel yang mulai bergeliat terpaksa harus lakukan efisiensi lagi. Tidak menutup kemungkinan menutup gerai yang merugi, PHK karyawan hingga mengajukan penundaan pembayaran utang," ungkapnya.
Bhima berpandangan, guna menghadapi gelombang kedua pandemi dan PPKM Mikro yang kesekian kali maka yang harus dilakukan sektor ritel sebaiknya segera mengantisipasi dengan pindah core business ke ritel bidang kesehatan dan kosmetik. Penjualan obat misalnya diperkirakan kembali naik dan kosmetik adalah subsektor ritel yang penjualannya tetap positif meski ada pandemi. Karenanya, pengusaha harus pintar-pintar putar core business dari grocery ke segmen lain.
"Model penjualan O2O (offline to online) juga jadi pilihan yakni menambah pemasaran secara online, atau pengantaran langsung ke konsumen. Segmen menengah atas paling peka soal isu kesehatan, jadi selama PSBB ketat mereka akan beli barang lewat kurir delivery," tegasnya.
Dia menggariskan, Celios memperkirakan proyeksi indeks penjualan riil pada bulan Juni diperkirakan kembali melambat dengan pertumbuhan rendah yakni 5-7% dibanding bulan sebelumnya. Pasalnya, masyarakat antisipasi pembelian barang di toko rietl fisik. Pada Juli, ujar Bhima, apabila terdapat kebijakan lockdown maka bisa kembali negatif -10% sampai -15% dibanding bulan sebelum terjadinya lockdown.
"Pengusaha harus bersiap hadapi kontraksi seperti periode Januari 2021 dimana kasus positif menembus 14.000 saat itu," bebernya.
Bhima melanjutkan, kampanye dan kegiatan hari belanja online nasional (harbolnas) bisa diperbanyak frekuensinya untuk menarik minat beli masyarakat di masa pandemi agar sektor ritel tetap berkibar. Harbolnas itu disertai dengan berbagai macam promo sehingga masyarakat masih bisa mengandalkan belanja retail online. Berikutnya, model retail harus diperkecil dari grocery store yang biaya operasionalnya mahal di mal menjadi minimarket yang dekat dari pemukiman penduduk.
"Model bisnis minimarket diperkirakan akan bertahan bahkan ekspansi karena barang yang dijual relatif sama dengan pasar swalayan di mal, sementara konsumen diuntungkan dengan jarak yang dekat serta biaya parkir yang lebih murah misalnya. Jarak akan jadi faktor kunci perubahan prilaku konsumen terhadap pembelian barang di toko ritel," ucap Bhima.
Peneliti Indef Agus Herta Sumarto menuturkan, melonjaknya kasus Covid-19 saat ini menjadi bukti bahwa pandemi Covid-19 masih jauh dari kata selesai. Kasus di India, Thailand, dan Malaysia telah memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita bagaimana pelonggaran protokol kesehatan demi menggenjot kinerja ekonomi malah berdampak sangat buruk dan mengakibatkan lonjakan kasus Covid-19 yang sangat tinggi dan di luar kendali.
“Pengendalian aktivitas masyarakat dan pelaksanaan protokol kesehatan yang sangat ketat diperlukan untuk meminimalisasi penyebaran virus Covid-19. Namun pengendalian aktivitas masyarakat dan pelaksanaan prokes yang ketat ini harus diusahakan tidak menimbulkan efek negatif ekonomi yang terlampau besar khususnya bagi para pelaku ekonomi dan industri terutama para pelaku ritel dan UMKM,” katanya.
Ditegaskannya, pemerintah harus fair bahwa yang dibatasi secara ketat atau bahkan di-lockdown adalah wilayah-wilayah yang telah menjadi kluster penyebaran virus Covid-19. Bagi wilayah yang masih hijau atau orange area maka masih diberikan izin terbatas.
“Jika perlu, pemerintah menerbitkan semacam kartu akses kesehatan elektronik (electronic health card) yang sifatnya lokal yang menjadi semacam izin/garansi bagi masyarakat yang mau masuk ke pusat-pusat perbelanjaan, restoran, atau bahkan minimarket,” katanya.
Jadi, kata dia, hanya orang yang benar-benar sehat dan telah melakukan vaksin yang bisa melakukan aktivitas ekonomi secara terbatas. Di sisi lain, para pelaku usaha juga harus mengerti dan memahami bahwa saat ini yang terpenting adalah usaha mereka bisa bertahan di masa pandemi sehingga bisa melewati masa pandemi dengan baik.
Dengan kata lain, tujuan utama para pelaku usaha saat ini yang terpenting adalah bisa menutupi biaya variabel usahanya serta kewajiban jangka pendeknya yang sudah jatuh tempo.
Dalam situasi yang tidak pasti dan berkepanjangan ini, Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) memastikan bahwa industri ritel akan tetap mempertahankan bisnisnya. Namun, potensi penutupan gerai ritel tetap ada apabila pelaku usaha merasa tidak kuat lagi menanggung beban operasional.
“Menutup toko akan memberi dampak kepada UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) yang punya barang, juga PHK (pemutusan hubungan kerja). Dampak lain akan hilang juga pajak-pajak. Itu multiplier effect-nya,” ujar Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey di Jakarta kemarin.
Dia mengakui, lonjakan kasus positif Covid-19 dan pengetatan PPKM Mikro, semakin menekan sektor ritel. Hal itu berdampak pada gerai-gerai ritel karena menekan penjualan akibat dibatasinya jumlah pengunjung ke pusat perbelanjaan.
Di sisi lain, masyarakat mengurangi kegiatan di luar rumah karena khawatir terjadi penularan yang kian hari semakin banyak Data terkini yang dirilis Satgas Penanganan Covid-19 menyebutkan, penambahan kasus harian per Senin (21/06) mencapai 14.536 kasus. Adapun total yang terinfeksi kini tembus 2.004.445 orang.
Berdasarkan kondisi di atas, Aprindo ingin pemerintah pusat dan daerah (pemda) memainkan “gas dan rem” secara bijak. Gas atau pembukaan dengan prokes ketat dilakukan pada sektor esensial, seperti ritel dan rumah sakit. Begitu pun ritel dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Adapun rem, dimaksudkan untuk mengatur pembatasan aktivitas masyarakat.
“Tinggal pengelola mengatur dan menghindari kerumunan pengunjung agar tidak menjadi klaster penyebaran virus korona. Jangan sampai itu ditutup. Bukan hanya ekonomi, tetapi masyarakat (nanti) enggak bisa memenuhi kebutuhan pokok dan sehari-harinya. Jadi harus digas. Artinya, diberikan keluwesan saja untuk membuka jam operasional normal (selama) 12 jam supaya masyarakat tidak ramai-ramai (datang),” tuturnya.
Aprindo tidak keberatan jika kapasitas pengunjung dikurangi sampai 50% asal tetap bisa beroperasi. Selain mengandalkan gerai, peritel ini terus meningkatkan pelayanan daring dan delivery.
“Kita akan maksimalkan pengiriman. Kalau tokonya tutup bagaimana melakukan pengiriman,” terangnya.
Roy memperkirakan, dengan kondisi saat ini proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah sekitar 4,5-5,5% tidak akan tercapai. Dia memprediksi, ekonomi kemungkinan hanya akan tumbuh di kisaran 2-3%. Sebagai perbandingan, pada tahun lalu, pertumbuhan sektor ritel sekitar 1,4%.
“Tahun ini, kemungkinan berada di kisaran 0,5% sampai -1%,”ucapnya.
Baca Juga
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, saat ini tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan saat ini memang mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan lalu. Tapi, kata dia, hal itu wajar karena biasanya setelah Idulfitri pusat perbelanjaan memasuki low season.
“Jadi sekarang ini belum bisa disimpulkan bahwa penurunan tingkat kunjungan adalah akibat terjadinya peningkatan jumlah kasus positif Covid-19,” katanya.
Pihaknya berharap pemerintah dapat memastikan protokol kesehatan diberlakukan secara ketat, disiplin dan konsisten agar supaya jumlah kasus positif Covid- 19 terkendali. Sehingga dapat menghindari adanya tambahan pemberlakuan pembatasan yang berpotensi mengganggu perekonomian kembali.
Alphonzus mengatakan, kalangan pelaku usaha sama sekali tidak mengharapkan adanya tambahan pembatasan. Jika diberlakukan kembali pembatasan, kata dia, tentu akan sangat bepengaruh pada jumlah kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan.
“Oleh karenanya diharapkan pemerintah dapat segera memastikan dan menegakkan pemberlakuan protokol kesehatan secara ketat, disiplin dan konsisten agar supaya peningkatan jumlah kasus positif Covid- 19 dapat terkendali,” tukasnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, situasi pemberlakukan PPKM Mikro terkait erat dengan sentimen kepada konsuman karena khawatir penularan Covid-19.
Padahal, tutur dia, indikator kepercayaan konsumen mulai pulih yang terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia (BI) per Mei 2021 sebesar 104,4 atau berada diatas level 100.
"Sementara indeks penjualan riil per April 2021 juga menunjukkan perbaikan karena naik 17,3% dibanding bulan sebelumnya," ujar Bhima kepada KORAN SINDO, di Jakarta, Senin (21/6) sore.
Dia membeberkan, data mobilitas Google pun mengindikasikan pulihnya mobilitas masyarakat ke pusat perbelanjaan retail dan rekreasi karena hanya turun menjadi -3% pada periode 17 Juni 2021 dibanding baseline. Akan tetapi, ujar dia, jika ada lonjakan kasus dan kembali diberlakukan pengetatan mobilitas masyarakat dikhawatirkan sektor ritel belum siap mengantisipasi.
“Khawatir ritel yang mulai bergeliat terpaksa harus lakukan efisiensi lagi. Tidak menutup kemungkinan menutup gerai yang merugi, PHK karyawan hingga mengajukan penundaan pembayaran utang," ungkapnya.
Bhima berpandangan, guna menghadapi gelombang kedua pandemi dan PPKM Mikro yang kesekian kali maka yang harus dilakukan sektor ritel sebaiknya segera mengantisipasi dengan pindah core business ke ritel bidang kesehatan dan kosmetik. Penjualan obat misalnya diperkirakan kembali naik dan kosmetik adalah subsektor ritel yang penjualannya tetap positif meski ada pandemi. Karenanya, pengusaha harus pintar-pintar putar core business dari grocery ke segmen lain.
"Model penjualan O2O (offline to online) juga jadi pilihan yakni menambah pemasaran secara online, atau pengantaran langsung ke konsumen. Segmen menengah atas paling peka soal isu kesehatan, jadi selama PSBB ketat mereka akan beli barang lewat kurir delivery," tegasnya.
Dia menggariskan, Celios memperkirakan proyeksi indeks penjualan riil pada bulan Juni diperkirakan kembali melambat dengan pertumbuhan rendah yakni 5-7% dibanding bulan sebelumnya. Pasalnya, masyarakat antisipasi pembelian barang di toko rietl fisik. Pada Juli, ujar Bhima, apabila terdapat kebijakan lockdown maka bisa kembali negatif -10% sampai -15% dibanding bulan sebelum terjadinya lockdown.
"Pengusaha harus bersiap hadapi kontraksi seperti periode Januari 2021 dimana kasus positif menembus 14.000 saat itu," bebernya.
Bhima melanjutkan, kampanye dan kegiatan hari belanja online nasional (harbolnas) bisa diperbanyak frekuensinya untuk menarik minat beli masyarakat di masa pandemi agar sektor ritel tetap berkibar. Harbolnas itu disertai dengan berbagai macam promo sehingga masyarakat masih bisa mengandalkan belanja retail online. Berikutnya, model retail harus diperkecil dari grocery store yang biaya operasionalnya mahal di mal menjadi minimarket yang dekat dari pemukiman penduduk.
"Model bisnis minimarket diperkirakan akan bertahan bahkan ekspansi karena barang yang dijual relatif sama dengan pasar swalayan di mal, sementara konsumen diuntungkan dengan jarak yang dekat serta biaya parkir yang lebih murah misalnya. Jarak akan jadi faktor kunci perubahan prilaku konsumen terhadap pembelian barang di toko ritel," ucap Bhima.
Peneliti Indef Agus Herta Sumarto menuturkan, melonjaknya kasus Covid-19 saat ini menjadi bukti bahwa pandemi Covid-19 masih jauh dari kata selesai. Kasus di India, Thailand, dan Malaysia telah memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita bagaimana pelonggaran protokol kesehatan demi menggenjot kinerja ekonomi malah berdampak sangat buruk dan mengakibatkan lonjakan kasus Covid-19 yang sangat tinggi dan di luar kendali.
“Pengendalian aktivitas masyarakat dan pelaksanaan protokol kesehatan yang sangat ketat diperlukan untuk meminimalisasi penyebaran virus Covid-19. Namun pengendalian aktivitas masyarakat dan pelaksanaan prokes yang ketat ini harus diusahakan tidak menimbulkan efek negatif ekonomi yang terlampau besar khususnya bagi para pelaku ekonomi dan industri terutama para pelaku ritel dan UMKM,” katanya.
Ditegaskannya, pemerintah harus fair bahwa yang dibatasi secara ketat atau bahkan di-lockdown adalah wilayah-wilayah yang telah menjadi kluster penyebaran virus Covid-19. Bagi wilayah yang masih hijau atau orange area maka masih diberikan izin terbatas.
“Jika perlu, pemerintah menerbitkan semacam kartu akses kesehatan elektronik (electronic health card) yang sifatnya lokal yang menjadi semacam izin/garansi bagi masyarakat yang mau masuk ke pusat-pusat perbelanjaan, restoran, atau bahkan minimarket,” katanya.
Jadi, kata dia, hanya orang yang benar-benar sehat dan telah melakukan vaksin yang bisa melakukan aktivitas ekonomi secara terbatas. Di sisi lain, para pelaku usaha juga harus mengerti dan memahami bahwa saat ini yang terpenting adalah usaha mereka bisa bertahan di masa pandemi sehingga bisa melewati masa pandemi dengan baik.
Dengan kata lain, tujuan utama para pelaku usaha saat ini yang terpenting adalah bisa menutupi biaya variabel usahanya serta kewajiban jangka pendeknya yang sudah jatuh tempo.
(ynt)